Program kerja sama pengembangan pesawat tempur KFX/IFX merupakan program jangka panjang lintas generasi yang butuh komitmen dan dukungan seluruh pemangku kepentingan di Indonesia.
Oleh
Makarim Wibisono
·5 menit baca
Pengertian prinsip ”pacta sunt servanda” dalam hukum internasional adalah perjanjian dengan para pihak harus dipegang atau dihormati. Berkaitan dengan perjanjian internasional, menurut hukum internasional, setiap perjanjian yang sedang berlaku dan telah mengikat semua pihak dari perjanjian itu harus dilaksanakan oleh para pihak dengan good faith. Selain untuk menjaga kepastian hukum, prinsip hukum itu dimaksudkan untuk menjaga ketertiban hubungan antarbangsa.
Menarik mengamati kerja sama Pemerintah RI dan Korea Selatan (Korsel) mengenai pesawat tempur KFX/IFX yang berisi pengembangan bersama (joint development) pesawat tempur generasi 4.5. Ini program lengkap pengembangan pesawat tempur yang diawali oleh penentuan desain, pembuatan prototipe, testing dan produksi secara bersama Indonesia-Korsel. Ini berbeda dengan pengadaan alutsista yang umumnya terfokus pada serah terima pesawat dari negara pembuat ke negara pengguna.
Ini berbeda dengan pengadaan alutsista yang umumnya terfokus pada serah terima pesawat dari negara pembuat ke negara pengguna.
Kerangka hukum
Kerja sama bilateral pengembangan pesawat tempur KFX/IFX dimulai dengan penandatanganan nota kesepakatan pada 9 Maret 2009. Kemudian, 15 Juli 2010, Kementerian Pertahanan RI yang diwakili sekjennya dan Pemerintah Korsel yang diwakili Commissioner of Defence Acquisition Program Administration menandatangani nota kesepahaman (MOU) di Seoul, Korsel.
Untuk melaksanakan perjanjian ini, pada 17 Oktober 2014, pemerintah menerbitkan Perpres No 136/2014 tentang Program Pengembangan Pesawat Tempur. Kemudian, 11 Februari 2016, diterbitkan Permenhan No 6/2016 tentang Pelaksanaan Program Pengembangan Pesawat Tempur IFX.
Dalam kerja sama ini disepakati pembiayaan Indonesia 20 persen dan Korsel 80 persen dari total rencana biaya 8,13 triliun won atau setara 8,1 miliar dollar AS dari 2011 hingga 2026. Pihak Korsel menunjuk KAI, sedangkan Indonesia menunjuk PT Dirgantara Indonesia sebagai pelaksana kegiatan di bawah kendali kedua pemerintah.
Program dilaksanakan melalui tiga tahap: (1) pengembangan teknologi, (2) pengembangan engineering manufacturing, dan (3) produksi. Tahap pengembangan teknologi telah dilaksanakan 2011-2012. Dalam fase ini kegiatan yang telah dilaksanakan adalah melakukan identifikasi teknologi yang dibutuhkan dan spesifikasinya, membuat desain konfigurasi KFX/IFX, identifikasi teknologi inti pengembangan pesawat tempur, serta desain konfigurasi KFX/IFX.
Hasil dari tahap pengembangan teknologi adalah desain konfigurasi pesawat KFX/IFX yang mengakomodasi semaksimal mungkin kebutuhan operasi kedua angkatan udara, yaitu Indonesia dan Korsel.
Tahap pengembangan engineering manufacturing adalah penentuan desain dan pembuatan prototipe untuk dilaksanakan testing guna membuktikan performa pesawat. Diputuskan dalam tahap ini untuk membuat enam unit prototipe dan disepakati bahwa kedua belah pihak punya akses penuh pada background data dan program data dalam rangka pembuatan pesawat tempur. Tahap ini dilaksanakan 2014 hingga 2026.
Tahap produksi adalah memproduksi pesawat KFX/IFX sesuai permintaan negara masing-masing. Pada saat ini Korsel akan membutuhkan 240 unit dan Indonesia 48 unit. Dalam tahap ini juga dilakukan program pemasaran bersama dan pembagian beban produksi sehingga diharapkan negara-negara lain akan memesan pesawat tempur hasil pengembangan Korsel-Indonesia. Dari survei lembaga-lembaga survei penerbangan dunia (Jane’s International, TEAL, dan Sippri), diperkirakan industri ini akan mendapat pesanan 700-1.200 unit di masa mendatang.
Tahap produksi adalah memproduksi pesawat KFX/IFX sesuai permintaan negara masing-masing.
Program kerja sama pengembangan pesawat tempur KFX/IFX merupakan program jangka panjang lintas generasi yang butuh komitmen dan dukungan seluruh pemangku kepentingan di Indonesia. Oleh karena itu, konsistensi dari komitmen dan dukungan ini diperlukan sampai dengan program ini selesai secara tuntas.
Kepentingan nasional
Program ini awalnya berjalan dengan baik dari 2011 hingga 2016, tetapi kemudian timbul permasalahan yang belum disepakati di antara kedua negara dan perlu renegosiasi. Permasalahan tersebut adalah teknologi kunci pembuatan pesawat tempur, di mana tak semua pihak Indonesia dapat akses untuk memiliki atau menguasai.
Hal ini karena ada beberapa teknologi yang tak diberikan oleh pemilik teknologi sehingga Indonesia harus mengadakan riset dan pengembangan. Ada beberapa teknologi kunci yang direncanakan akan diberikan kepada Indonesia dengan persyaratan Indonesia harus mempunyai sistem Defence Technology Security dan sampai saat ini Indonesia belum memilikinya.
Berkaitan dengan hak kekayaan intelektual (HKI) juga belum ada kesepakatan walaupun saat tahap pengembangan teknologi disepakati bersama bahwa penemu teknologi dalam kerja sama ini akan mempunyai HKI. Dalam kerja sama ini, yang paling penting dalam pembuatan pesawat adalah akses dan kepemilikan program data dan telah disepakati bahwa kedua negara mempunyai akses seluas-luasnya terhadap program data. Oleh karena itu, perlu pendalaman dan pemahaman HKI guna menghadapi negosiasi tersebut.
Di samping itu, berkaitan dengan neraca perdagangan Indonesia-Korsel, pihak Indonesia perlu menuntut keseimbangan dalam perdagangan persenjataan. Indonesia mengharapkan Korsel mau membeli pesawat CN-235 buatan PT Dirgantara Indonesia.
Program pengembangan pesawat tempur perlu investasi awal yang masih belum dapat dirasakan manfaatnya oleh Pemerintah Indonesia, seperti halnya program pengembangan industri baru lainnya. Namun, prospek yang akan dimiliki Indonesia adalah membangun kemampuan industri pertahanan yang mandiri dan industri pertahanan dapat memenuhi kebutuhan angkatan udara. Selain itu, negara akan memiliki daya gentar di kawasan apabila mampu membangun industri pertahanan.
Untuk bisa menuntaskan permasalahan yang ada dengan segera, karena waktu terus berjalan dan berdampak pada ketertinggalan Indonesia dalam program, diperlukan perundingan dengan kemampuan yang baik sehingga dapat mencapai kepentingan nasional kita.
Pandemi Covid-19 dan dampak ekonominya yang destruktif bisa jadi alasan Indonesia sehingga belum dapat memenuhi kewajibannya. Prinsip hukum clausula rebus sic stantibus bisa diajukan karena adanya perubahan lingkungan yang mendesak. Kepentingan Indonesia jangka panjang untuk menjadikan industri pertahanannya mandiri perlu diselesaikan dengan baik di meja perundingan. Hasilnya tentu kesepakatan yang bisa diterima kedua pihak.