KPK ”Kenormalan Baru”
Akankah KPK kembali normal? Rasanya memang layak diperjuangkan ke arah itu. Berharap ke MK sembari memikirkan cara baru pemberantasan korupsi tanpa memasukkan KPK sebagai variabel penting, saya memilih posisi itu.
Jika dibayangkan, kenormalan bagi sebuah lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK sesungguhnya adalah itikad kuat yang dibarengi kiprah penegakan hukum dan jalinan dukungan kerja sama, serta apresiasi kuat dengan masyarakat.
Hal itu yang membuat keniscayaan kenormalan bagi KPK dalam dua rumusan sederhana, kepercayaan yang besar dan kinerja yang kuat. Namun, tidaklah demikian saat ini. KPK berubah seiring pergantian komisioner dan UU baru. KPK saat ini terlihat tak memiliki basis dukungan kuat seiring memudarnya kepercayaan dan kinerja.
Analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan jauh menurunnya kiprah dan kinerja KPK. Mungkin terlalu pagi, tetapi amat beralasan karena KPK sepertinya ”adem-ayem” saja dengan seliweran praktik korupsi dan penyakit koruptif lain di negeri ini. KPK lebih sibuk menangkis serangan buruk atas pimpinan yang dipertanyakan kredibilitasnya, hingga kepegawaian yang ditundukkan penuh ke birokrasi sipil yang belum kunjung signifikan membaik.
Sebenarnya sinyal ini sudah disampaikan William Liddle (Kompas, 19/10/ 2019) beberapa saat setelah revisi UU KPK, ”kesimpulan sementara saya, kekuatan antikorupsi perlu mencari strategi baru tanpa mengharapkan peran KPK ke depan atau bantuan berarti pemerintahan Jokowi”. Saya membenarkan tulisan ini. Tak lagi jadi kesimpulan sementara, kelihatannya, ia sudah jadi dalil yang harus didedahkan lebih lanjut.
Baca juga : Pelestarian Demokrasi
Sederhananya, saat ini, KPK memasuki fase ”new normal ”. Masa lalu yang seharusnya normal dan diharapkan publik kelihatannya sudah ditinggalkan KPK. KPK berderap ke arah baru yang menjauh dari filosofi pendiriannya. KPK kini bekerja dengan paradigma baru bahwa korupsi bukanlah kejahatan luar biasa, seperti didalilkan para pembentuk UU cum politisi ketika mendasari logika pengubahan UU KPK. Para komisioner aklamasi meneken dukungan terhadap perubahan UU KPK ”format baru” itu.
Analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan jauh menurunnya kiprah dan kinerja KPK.
Arah baru KPK
Sebenarnya, menurunnya kinerja di awal transisi memang sangat mungkin disebabkan faktor konstruksi kelembagaan dan komisioner KPK itu sendiri. Sejujurnya, KPK memang punya cacat bawaan yang secara hukum membuatnya sering gagap bekerja di transisi pergantian komisioner. KPK memang mempunyai problem yang tak mudah dalam setiap pergantian. Ciri lembaga negara independen yang dipakai di beberapa negara lainnya adalah sistem pergantian berjenjang (staggered system).
Sistem ini, menurut Funk dan Seamon (2001) ataupun Gordon dan Milakovich (2001), adalah tak melakukan pergantian komisioner secara keseluruhan, tetapi cuma sebagian dan dilakukan secara berjenjang. Tujuannya, selain untuk menjaga kesinambungan kerja lembaga negara independen, juga untuk menghindari kemungkinan dikuasai oleh kepentingan politik, terkhusus dominasi kepentingan politik di pemerintah dan parlemen.
Baca juga : Alarm untuk KPK
Namun, Indonesia tak menggunakan itu. Di kita, KPK selalu mendapatkan pergantian komisioner secara sekaligus. Hanya kebetulan kali ini ada satu yang tetap jadi komisioner di KPK. Itu pun bukan komisioner yang sedari awal meyakinkan atau dengan rekam jejak mentereng. Pada saat yang sama tak ada aturan spesifik untuk kesinambungan kerja.
Aturan pergantian berjenjang sebenarnya diperlukan guna meminimalkan kepentingan politik masuk ke lembaga seperti KPK. Akan tetapi, sekali lagi tak ada aturan memadai sehingga seolah wajar jika KPK tergagap di awal kepemimpinan karena masa penyesuaian.
Menariknya, kegagapan itu biasanya ditutup oleh kinerja internal pegawai dan penegak hukum di dalam KPK. Merekalah yang jadi penyambung proses transisi antar-kepemimpinan komisioner sepanjang mendapat dukungan komisioner. Kata-kata ”sepanjang mendapatkan dukungan komisioner” ini harus diberikan garis tebal karena kali ini kelihatannya ini juga tak ada.
Baca juga : Modal Sosial KPK Semakin Tergerus
Para pekerja di KPK mau bekerja terus melanjutkan, tetapi tidak mendapat dukungan memadai dari komisioner dan konstelasi baru UU KPK yang mengubah konstruksi pelaksanaan kerja utaupun pengawasan atas kinerja. Artinya, cacat bawaan KPK ini, diimbuhi faktor UU dan keseriusan kinerja komisioner, menjadi petaka kinerja.
Seserius apa pun KPK membantah hal ini, adalah hal yang mustahil dilupakan bahwa di republik ini ”dinding pun bertelinga”. Pola serius kepemimpinan KPK dalam pemberantasan korupsi bertiup keluar jauh dari gedung Kuningan. Sudah terlihat peta dukungan para komisioner yang benar-benar mempunyai indikasi serius dengan pemberantasan korupsi yang ala kadarnya, ataupun yang memang bagian dari masalah itu sendiri.
Kedua, penguasaan politik yang terlalu kencang dalam proses seleksi. Kita semua paham, kekuatan politik di presiden sebagai awalan, dan kekuatan politik di DPR di akhirnya pada fit and proper test. Riset yang saya lakukan (2012), ataupun bersama Iwan Satriawan dan Dwi Satya (2009), sedikit banyak menggambarkan hal ini. Proses intervensi politik melalui pemilihan amat sangat kencang. Namun, ada yang berbeda. Gejala politik ini saat itu tidaklah sebanal sekarang. Ada kekuatan luar biasa yang mendorongnya.
Proses intervensi politik melalui pemilihan amat sangat kencang.
Dulu, relatif bisa bertahan oleh karena dorongan politis penjinakan KPK itu sering berhadapan dengan pilihan rasional pembelaan oleh presiden. Tercatat, 10 tahun kepemimpinan Presiden SBY, cukup sering melakukan ”intervensi” penyelamatan dan memberikan ”napas buatan” kepada KPK agar bisa bertahan sehingga kesetimbangan politik dan dorongan publik masih terlihat dalam pilihan kerja-kerja bagi para komisioner, termasuk perlindungan untuk mereka.
Sekarang, hal itu tidaklah terjadi. Presiden bersama DPR kelihatannya malah bahu-membahu mendorong KPK menjadi ”new normal”. Logika awal bisa ditemukan misalnya dengan ”membiasakan” (ordinary) tindak pidana korupsi yang menjauh dari paradigma awal bahwa korupsi merupakan ”keluarbiasaan” (extra ordinary).
Logika itu mengalir searah dengan KPK yang menjadi lembaga pemerintah, tak lagi independen, serta dengan cepat dibuatkan peraturan untuk mendasarinya. Jika pun publik dihibur dengan bahasa, ”lembaga pemerintahan yang independen dalam menjalankan tugasnya”, tentu ini menjadi eufemisme di hadapan geliat intervensi yang mudah diduga mendera KPK melalui format baru KPK.
Baca juga : 56,9 Persen Responden Tak Puas atas Kinerja KPK, Musisi Penolak Revisi UU KPK Merasa Miris
Arus balik via uji materi
Faktor pengubah itu semuanya dimulai pada 2019. Arus balik itu mengubah segalanya. Makanya, memikirkan arus balik bagi KPK setidaknya mutlak berkaitan dengan UU KPK pascarevisi.
Saat ini, UU itu masih dalam pemeriksaan dalam proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Kita semua memang masih harus menunggu hasilnya. Namun, rasanya, mustahil sebenarnya MK tak menerima alasan permohonan yang begitu gamblang tentang cacat penyusunan UU KPK dan substansi yang berantakan serta implikasi yang secara nyata mendorong KPK ke kondisi ”new normal” karena begitu banyak pelanggaran formil ada di UU ini.
Pertama, UUD 1945 memberikan lima tahapan UU: pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, dan pengundangan. Pada pengajuan, tak ada partisipasi masyarakat, dilanjutkan di tahapan persetujuan dan pengesahan. Dan ini dilakukan bersama-sama dengan presiden.
Presiden langsung menandatangani surat presiden hanya dalam waktu tiga hari, padahal waktu yang diberikan 60 hari. Apakah karena begitu kerja presiden selama ini? Biasanya makan waktu cukup lama karena presiden membentuk daftar inventaris masalah (DIM) pemerintah dengan mengundang banyak pihak dan melibatkan ahli.
Kedua, keputusan diambil ketika kehadiran anggota DPR di ruangan hanya 80-100 orang. Secara formil, seharusnya ini pelanggaran berat penyusunan peraturan perundang-undangan. Kesepakatan itu perlu kehadiran fisik dan bukan hadir di presensi. Merujuk Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, hal serupa jelas saja merupakan pelanggaran formil.
Secara formil, seharusnya ini pelanggaran berat penyusunan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, pelanggaran atas kedaulatan rakyat sebagaimana dikehendaki UUD 1945. Pasal 1 Ayat (2) menyatakan hal tersebut. Implikasi dari konsep itu adalah kedaulatan rakyat, apa yang diinginkan rakyatlah yang seharusnya menjadi apa yang dikerjakan oleh presiden dan DPR.
Keempat, harus dilihat apakah ada pelanggaran secara formil politik hukum presiden dan menteri yang mewakili dalam sistem legislasi. Pasal 20 Ayat (2) jelas menyatakan hal itu adalah domain presiden dalam pembahasan bersama dengan DPR. Menteri sebagai pembantu hanya bersifat mewakili. Artinya, apa yang digariskan presiden harus menjadi substansi yang diperjuangkan menteri.
Presiden sendiri punya pandangan dan posisi yang harusnya diperjuangkan menteri yang ditugaskan. Presiden meminta poin-poin yang jadi keinginannya dibahas dan menjadi wajib bagi menteri untuk memperjuangkannya. Dapatkah menteri bergeser? Hanya dalam posisi persetujuan presiden untuk terjadi pergeseran. Menarik untuk mempertanyakan sejauh mana pergeseran itu terjadi.
Baca juga :KPK Tetap Menjadi Harapan Pemberantasan Korupsi
Jika bicara soal penyusunan perundang-undangan yang baik, harusnya dipisahkan tahapan pembahasan dan persetujuan. Pembahasan adalah proses di mana mungkin terjadi take and give, yang memungkinkan adanya pergeseran substansi UU sebagaimana digariskan presiden kepada menteri. Harusnya menteri yang ditugaskan melaporkan perkembangan itu ke presiden untuk jadi bahan bagi presiden dalam pertimbangan melakukan persetujuan. Namun, yang terjadi adalah pembahasan yang terjadi disatukan dengan persetujuan.
Benarkah presiden yang menyetujui ataukah hanya menteri? Apalagi, jika ini dikaitkan dengan tidak ditandatanganinya UU tersebut oleh presiden. Apa penyebab tidak ditandatangani harusnya dijelaskan langsung oleh presiden karena itu menunjukkan sikap yang berbeda dengan persetujuan yang dilakukan menteri. Benarkah presiden memang berbeda dengan menterinya akan membuktikan apakah tidak ditandatanganinya UU KPK oleh presiden sekadar sandiwara politik.
Benarkah presiden yang menyetujui ataukah hanya menteri?
Di tengah kegamblangan cacat hukum formal penyusunan UU KPK, bagaimana MK akan menyimpulkan menarik untuk ditunggu. MK akan menentukan mampukah terjadi arus balik pemberantasan korupsi via KPK ataukah MK melanjutkannya. Juga apa alasannya.
Akankah KPK kembali normal? Rasanya memang layak diperjuangkan ke arah itu. Berharap ke MK atau sembari menilai cara baru pemberantasan korupsi tanpa memasukkan KPK sebagai variabel penting, saat ini saya memilih cara itu. Berpikir untuk membangun pemberantasan korupsi tanpa berharap banyak kepada KPK sembari menunggu kesungguhan kepemimpinan nasional mendatang. Semoga semua bukan jadi lakon ”menunggu godot”.
Zainal Arifin Mochtar, Pengajar Ilmu Hukum dan Peneliti Pukat Korupsi FH Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.