Melalui bacaan, para penulis menerima pengaruh penulis lainnya. Itulah makna "influence" bagi mereka.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Andai saja tidak karena pengaruh bacaan saya membayangkan diri mungkin telah jadi proyeksionis bioskop, masinis kereta api, penjaga mercusuar, atau pekerjaan apa saja yang pasti bukan pekerjaan mutakhir bernama influencer yang saya tidak tahu caranya mendaftarkan diri. Saya tidak tahu persis jadi apa karena menyebut diri penulis pun tidak tepat. Menurut saya penulis bukanlah label melainkan aktivitas. Berkali-kali saya hendak berhenti menulis, tetapi melulu gagal.
Ada yang bertanya, siapa penulis paling berpengaruh terhadap diri saya. Sulit saya mengingat, sebab pada setiap periode ada sosok berbeda-beda. Semasa kecil saya suka membaca tulisan tentang Pramuka di sebuah majalah oleh penulis yang menyebut diri Kak Bondan. Baru kemudian saya tahu bahwa Kak Bondan adalah Bondan Winarno, kini telah almarhum, yang ketika remaja saya mengikuti cerita bersambungnya di majalah. Cerita bersambung tadi selanjutnya dibukukan menjadi novel dengan judul Haneda.
Selain penulis-penulis hebat dari negeri sendiri yang saya akrabi karyanya dan sebagian lalu kenal manusianya, saya juga merasa dekat dengan penulis-penulis dari negeri lain. Pernah saya sangat terpikat dengan penulis Polandia, Slawomir Mrozek. Seperti menunggu tulisan Remy Sylado di majalah Aktuil tahun 70an, semasa sekolah di Inggris saya menanti-nanti kolom Mrozek di koran European. Entah mengapa saya menyukai sejumlah penulis dari Eropa Timur, termasuk Stephen Vizinczey (susah mengeja namanya) dengan novelnya yang mengesankan, In Praise of Older Women.
Dunia soliter yang dihadirkan para penulis Eropa Timur serasa sama dekatnya dengan dunia saya sebagai orang desa dari Jawa yang sosiabilitas dan komunalitasnya kental, gayeng, serupa ibu-ibu dalam film pendek yang sedang ramai jadi perbincangan sekarang, Tilik. Dengan Milan Kundera, penulis dari Ceko yang menjadi eksil di Prancis, saya merasa kenal mendalam, mampu membayangkan bagaimana dia memahami cinta dari yang menimbulkan gejala vertigo sampai ke keentengan (lightness).
Influence, begitu Salman Rushdie menyebut dalam esai dengan judul sama, merupakan kata yang cair. Oleh penulis The Satanic Verses ini dunia imajinasi dilukiskannya bukan sebuah benua yang padat, melainkan samudera. Melintasi samudera, dia mendapati bagaimana penulis-penulis Amerika Latin sebegitu familiar dengan karya-karya Rabindranath Tagore dari Asia. Atau sebaliknya, William Falkner, nama besar pada zamannya di Amerika, menurut dia malah kurang pengaruhnya di Amerika tapi di Eropa.
Melintasi samudera seperti digambarkan Rushdie, saya harus menyebut Gabriel Garcia Marquez yang pernah berucap “jurnalis adalah pekerjaan terbaik di dunia”. Dengan imajinasinya yang kaya dia melahirkan tulisan-tulisan jurnalistik serupa produk sastra, bukan hanya menyajikan apa yang terlihat tapi juga yang tidak terlihat di mana kebenaran kadang bersembunyi.
Laporan jurnalistiknya mengenai pelaut yang selamat setelah terombang-ambing di laut Karibia selama sepuluh hari, dimuat secara bersambung di koran Bogota, El Espectador, pada tahun 1970 diterbitkan menjadi buku. Membaca buku berjudul The Story of Shipwrecked Sailor tadi rasanya seperti membaca novel, lengkap dengan personalitas si tokoh. Tentu karya Marquez paling dikenal luas adalah One Hundred Years of Solitude. Struktur karya itu, diakui Marquez, dipengaruhi oleh Ulysses karya penulis Irlandia, James Joyce.
Melalui bacaan, para penulis menerima pengaruh penulis lainnya. Kundera sering sekali menyebut pentingnya karya-karya Kafka, Hanif Kureishi merasa dipengaruhi Salinger dan Bukowski, Vargas Llosa membikin studi tentang Marquez sebelum menulis novel sendiri, Rendra menurut Subagio Sastrowardoyo adalah cerminan pribadi Lorca, dan seterusnya. Salman Rushdie ketika menulis memoar memakai nama Joseph Anton, merujuk dua penulis yang dikaguminya, Joseph Conrad dan Anton Chekhov. Itulah makna influence bagi dirinya.
Mungkin pembaca tulisan ini kecewa, dengan judul Influencer saya tak menyebut para artis dan selebritas yang menerima bayaran menjadi influencer. Sekarang ini bermunculan jenis pekerjaan baru termasuk buzzer, jenis pekerjaan yang secara moral mungkin setara dengan mata-mata atau agen agitasi/provokasi. Bagi saya mereka adalah produk zaman pasca-kebenaran, tugasnya jangan-jangan mengamplifikasi kebohongan, berbeda dari dunia sastra yang mengupayakan kasunyatan.