Pada saat konser di Istana itu, saya melihat dengan ujung mata saya bahwa beliau tertidur! Saya bingung... Sementara para undangan lainnya tampaknya tidak menyukai musik klasik.
Oleh
Ananda Sukarlan
·5 menit baca
Seandainya masih diberi usia, tahun ini KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) akan berusia 80 tahun atau 10 windu. Sebuah perayaan yang patut dirayakan oleh semua orang yang menjunjung tinggi toleransi dan kemanusiaan. Kita semua mengenal Gus Dur sebagai seorang humanis, humoris, dan pluralis pecinta sastra, film, seni tradisi, serta musik klasik.
Dalam rangka memperingati ultah Gus Dur yang jatuh pada 7 September mendatang, Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menggelar konser daring “Diplomacy through The Art & Humor” bersama saya dan teman-teman pemusik yang antara lain dulu tergabung di Nusantara Symphony Orchestra.
Konser ini bukan sekadar penghormatan kepada Presiden RI ke-4 tersebut, melainkan juga penghormatan untuk banyak hal. Di antaranya, penghargaan untuk toleransi di tengah perbedaan, penghargaan untuk pemahaman agama yang inklusif, untuk kemanusiaan, untuk para guru dan pemimpin, untuk dunia pendidikan dan juga untuk dunia seni. Itu karena Gus Dur adalah tokoh penting di semua bidang tersebut.
Di mata saya Gus Dur bukan hanya seorang Presiden yang banyak melakukan pembaruan, tetapi juga seorang diplomat andal dan pecinta seni. Mencintai seni merupakan hal penting bagi seorang pemimpin, karena ia harus bisa mengerti dan merasakan, bukan hanya bisa membaca dan mengolah data, ahli dalam strategi politik serta pembangunan fisik. Yang dipimpin adalah manusia. Manusia lah yang mengatur ekonomi, politik, atau apapun. Manusia memiliki kecerdasan dan perasaan.
Untuk merayakannya tak bisa lebih tepat daripada menggunakan metode Gus Dur sendiri dalam berdiplomasi, yakni melalui seni dan juga humor.
Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan humor lewat musik, karena humor itu berlaku sama dalam semua bidang. Konser ini juga sebuah penghormatan (tribute) bagi humor itu sendiri, yang sekarang banyak dibungkam oleh kalangan intoleran dan ekstremis dengan dalih penistaan agama atau alasan lainnya.
Satu aspek humor dan persahabatan antarnegara atau budaya yang berbeda, antara lain ada pada karya saya "I wish Pavarotti had known Marzuki". Karya itu menggabungkan lagu "Melati di Tapal Batas"-nya Ismail Marzuki dengan "Nessun Dorma" dari opera G. Puccini.
Nah, "Nessun Dorma" itu artinya "Tak ada yang boleh tidur!" Ini karena saya mengenang kejadian saat Gus Dur mengundang saya ke Istana Negara pada tahun 2000. Saat itu adalah pertama kali saya kembali ke Indonesia setelah sejak usia 18 tahun kuliah dan kemudian berkarier di Eropa. Ini juga misi Gus Dur memanfaatkan musik klasik dan karya seni lainnya sebagai alat diplomasi.
Pada saat konser di Istana itu, saya melihat dengan ujung mata saya bahwa beliau tertidur! Saya bingung....
Pada saat konser di Istana itu, saya melihat dengan ujung mata saya bahwa beliau tertidur! Saya bingung... Sementara para undangan lainnya tampaknya tidak menyukai musik klasik.
Akan tetapi, usai konser di Istana Negara itu Gus Dur mengajak saya ngobrol dan mengulas permainan saya. Terbuktilah bahwa beliau lebih menyimak daripada mereka yang kelihatannya tidak tidur, karena ulasan dan komentar beliau sangat tepat.
Koleksi CD Beethoven Gus Dur itu 10 kali lipat dari koleksi milik saya. Dan Gus Dur tahu bedanya konten, gaya permainan, tempo dan nuansa tiap CD. "Si ini mainnya temponya lebih cepat, si ini klimaksnya kurang kena," dan lain-lain.
Nah, itu sebabnya di konser untuk Gus Dur ini saya ingin memainkan "I wish Pavarotti ..." Lagu itu saya tulis atas permintaan Yayasan Pavarotti saat jandanya, Nicoletta Pavarotti, berkunjung ke Indonesia. Permintaan mereka waktu itu adalah sebuah karya baru yang menggambarkan persahabatan budaya Indonesia dan Italia.
Kembali ke soal ke konser saya di Istana Negara, setelah selesai mengulas konser saya habis-habisan, saya dan Gus Dur melanjutkan berbincang. Gus Dur menjelaskan strateginya dalam diplomasi seni, seperti Jerman meng-\'eksploitasi\' Beethoven dan Bach. Gus Dur ingin menerapkan itu. Eh, namun setelah itu, beliau lengser...
Untuk konser daring ini kami mengambil gambar di Pojok Gus Dur, bekas ruang kerja Gus Dur sebelum dan setelah menjadi Presiden RI, di gedung PBNU. Ruangan yang memiliki nilai historis tersendiri: di tempat yang relatif sederhana dan penuh buku inilah Gus Dur menemui banyak warga yang mengadu, juga para sahabat dan koleganya.
Para musikus yang terlibat adalah Wirya Satya di oboe, Andika Candra di flute, Yunus di french horn, Nino Ario Wijaya di klarinet dan Stephanie Marcia di fagot. Kemudian ada dua pianis muda: Michael Anthony dan Randy Ryan.
Michael Anthony, seorang tunanetra dan autistik yang saat ini berusia 17 tahun, pernah tampil pada konser daring "Tribute to BJ Habibie" Juni lalu, juga produksi Ditjen Kebudayaan di kanal YouTube "Budaya Saya". Adapun Randy Ryan (25) adalah pianis Indonesia yang terpilih melalui seleksi ketat menjadi siswa dari pianis besar Leon Fleisher yang bulan lalu wafat pada usia 92 tahun.
Randy adalah lulusan fakultas musik prestisius Juilliard School of Music di New York City. Ia diterima kuliah di sana setelah memenangkan Ananda Sukarlan Award tahun 2012 pada usia 16 tahun; pemenang termuda pada kompetisi itu. Konser ini sekaligus sebagai penghormatan Randy terhadap almarhum sang dosen.
Randy berharap ia bisa meneruskan perjuangan dosennya, mengabdikan diri untuk pemajuan musik klasik Indonesia, seperti halnya dedikasi Fleisher untuk pemajuan musik klasik Amerika Serikat.
"Gus Dur: Diplomasi melalui Seni dan Humor" akan tayang di kanal YouTube Budaya Saya milik Ditjen Kebudayaan RI bertepatan dengan ulang tahun Gus Dur yang ke-80, Senin 7 September pukul 19.00 WIB.