Jika revisi UU MK semata-mata hanya mengatur pensiun hakim, MK akan masuk perangkap oligarki kekuasaan. Sebagian hakim konstitusi akan berutang budi pada politisi DPR.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Warisan reformasi 1998 di antaranya tiga lembaga negara yang pernah meraih harapan publik. Ketiga lembaga itu ialah Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi. Pencapaian KPK luar biasa! Lembaga itu menggasak siapa saja penyelenggara negara yang korup, termasuk Ketua MK Akil Mochtar, hakim konstitusi Patrialis Akbar, dan Ketua DPR Setya Novanto.
Komisi Yudisial (KY), pada awalnya, mampu menjalankan fungsi checks and balances sistem kekuasaan kehakiman. Namun, langkah KY meredup. Kewenangan mengawasi hakim agung dipangkas demi dan untuk alasan kemandirian kekuasaan kehakiman. KY lalu menjadi semacam lembaga negara berdasar konstitusi yang tak sepenuhnya punya taji.
Satu simbol reformasi lain adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Pada masa awal MK, putusannya disegani. Putusan sembilan hakim konstitusi ibaratnya idu geni (ludah api). MK menjelma sebagai penjaga hak konstitusional warga negara. MK pada era Jimly Asshidiqie dan Mahfud MD menghasilkan putusan progresif. Ketua MK Mahfud, misalnya, pada tahun 2009, memerintahkan KPK memutar rekaman percakapan rahasia hasil sadapan KPK. MK melegalkan penggunaan KTP untuk memilih ketika daftar pemilih tak beres. Putusan MK progresif dan menjawab kebutuhan publik.
Namun, seiring berjalannya waktu, simbol reformasi luntur karena perilakunya sendiri. Ketua MK dan hakim konstitusi ditangkap KPK. Selain itu, melalui kerja-kerja politik, tampaknya ada upaya mendegradasi simbol reformasi. KPK dimandulkan. Komisi Yudisial dikurung dengan hanya menjalankan peran sebagai tukang seleksi hakim agung dengan pengawas tak bertaji pada perilaku hakim. Kini, MK coba ”ditundukkan” melalui revisi UU Mahkamah Konstitusi.
Di tengah pandemi Covid-19, DPR dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membahas revisi UU MK. Harian Kompas, 27 Agustus 2020, melaporkan, Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul menyatakan pembahasan Daftar Inventaris Masalah RUU MK berlangsung tertutup. ”Perkenankan kami membuka rapat Panja RUU MK pada hari ini dan rapat dinyatakan tertutup.”
Rapat tertutup mengandung kecurigaan. Menutup pintu aspirasi dan pengawasan masyarakat. Sebenarnya tiada urgensi merevisi UU MK kalau hanya merevisi usia pensiun hakim konstitusi menjadi 70 tahun dan menaikkan syarat usia minimal hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 55 tahun serta mengubah masa jabatan ketua MK dari 2,5 tahun menjadi lima tahun. Apa urgensinya bagi masyarakat? Tidak ada sama sekali!
Revisi UU MK adalah ”hadiah” untuk hakim konstitusi. DPR dan pemerintah pada 28 Agustus menyepakati usia pensiun hakim konstitusi 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun. Sejumlah hakim konstitusi, seperti Ketua MK Anwar Usman (64), akan habis masa jabatannya tahun 2021. Anwar sudah dua periode menjadi hakim MK, begitu juga dengan Arief Hidayat (64) pada tahun 2023, Aswanto (56) pada tahun 2024, dan Wahiduddin Adams (66) pada tahun 2024. Jika revisi gol, beberapa hakim akan aman melenggang hingga berusia 70 tahun.
Sebaliknya, hakim konstitusi Saldi Isra bisa terancam. Saldi hakim konstitusi termuda berusia 52 tahun dan diusulkan Presiden Jokowi, berakhir masa jabatannya tahun 2022. Pada tahun 2022, Saldi berusia 54 tahun dan menjadi tidak memenuhi syarat untuk menjadi hakim konstitusi yang dinaikkan menjadi 55 tahun. Menaikkan usia minimal hakim konstitusi pun lemah dari sisi argumen.
Terlalu banyak konflik kepentingan dalam revisi UU MK. Untuk siapa revisi UU MK? Fajar Laksono, ahli hukum yang bekerja di MK dalam kapasitasnya sebagai pribadi, menulis pandangannya di hukumonline.com, 13 April 2020. Tulisannya berjudul, ”Revisi UU MK: Hadiah, Pesanan, atau Kebutuhan?”.
Fajar menulis bisa diduga motif revisi semata-mata untuk menyenangkan hakim konstitusi yang sekarang menjabat. Buntalan hadiah bagi yang sudah berlaku menyenangkan. Aromanya tambah tak sedap. Rencana revisi itu diduga by request pihak tertentu. Makin tak karuan jika nantinya nalar publik mengarah dan mengiyakan kesimpulan: revisi itu atas ”pesanan” dari internal MK.
Fajar juga menulis, revisi ini berbahaya. Sebagai lembaga peradilan merdeka, lembaga yang sepanjang hayatnya butuh, bahkan bergantung pada kepercayaan publik. Ini tak boleh terjadi. Siapa pun merasa bahwa kemunculan draf RUU itu berpeluang meretakkan peradaban konstitusi. Ia akan menjadi awal dari mimpi buruk perjalanan sejarah.
Apakah revisi UU MK itu pesanan dari MK? Hanya para aktor yang tahu. Dalam panggung depan, inisiator RUU Revisi UU MK itu berasal dari DPR. Panggung belakang, publik tak tahu. Itulah lorong gelap politik, di mana kepentingan ditransaksikan. Namun yang pasti, akan banyak kepentingan berkelindan. Kepentingan yang apabila perlu ditransaksikan, seperti uji materi UU kontroversial, seperti UU Penanganan Covid-19, UU Minerba atau nantinya omnibus law UU Cipta Kerja, atau nanti UU Pemilu.
Jika revisi semata-mata hanya mengatur pensiun hakim, MK akan masuk perangkap oligarki kekuasaan. Sebagian hakim konstitusi akan berutang budi pada politisi DPR. Hasil penelitian Richard A Posner dalam buku How Judges Think, secara empiris banyak putusan yudisial sangat dipengaruhi preferensi politik sang hakim. Revisi seharusnya menyangkut standar seleksi hakim konstitusi, hukum acara MK, dan pengawasan hakim MK. Dua ”kecelakaan” di MK haruslah jadi pelajaran.