Sebagian besar dari mereka yang ditangkap, diadili, dan dihukum, karena melakukan rasuah, merupakan pejabat negara, seperti kepala daerah, anggota DPR/DPRD/DPD, hakim, jaksa, polisi, duta besar, atau pejabat kementerian.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Dalam pembukaan Aksi Nasional Pencegahan Korupsi di Jakarta, Rabu (26/8/2020), Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya konsistensi penindakan korupsi.
Presiden mengajak pemangku kepentingan konsisten merumuskan dan menjalankan upaya pemberantasan korupsi. Pencegahan korupsi juga harus diikuti dengan penindakan tegas terhadap koruptor (Kompas, 27/8/2020). Konsistensi dalam pencegahan, penindakan, dan pemberantasan korupsi itu mendapatkan ujian dalam penanggulangan pandemi Covid-19 saat ini, yang menyerap nyaris seluruh sumberdaya bangsa.
Dalam menangani dampak pandemi Covid-19, pemerintah menganggarkan dana Rp 695,2 triliun. Dari dana itu, alokasi untuk kesehatan Rp 87,55 triliun dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp 607,65 triliun. Dalam program PEN, anggaran terbesar ditujukan untuk perlindungan sosial Rp 203,9 triliun dan dukungan usaha ultramikro, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Rp 123,46 triliun.Pemerintah juga menyiapkan subsidi kuota internet untuk pembelajaran dalam jaringan (daring) Rp 7,2 triliun (Kompas, 24-28/8/2020).
Meski dana yang disiapkan pemerintah pusat, belum termasuk pemerintah daerah dan dana publik, amat besar, tetapi Presiden dalam berbagai kesempatan menyoroti masih rendahnya serapan dana itu sesuai program yang dicanangkan. Masyarakat pun mengeluhkan upaya penanggulangan pandemi terasa lambat. Di sisi lain, ada kekhawatiran juga terjadi korupsi dalam penanganan pandemi kali ini.
Dalam laporannya, tahun 2012, Anti-Corruptions Resources Centre Transperancy International menuliskan, korupsi terus merusak perekonomian, distribusi sumberdaya, dan administrasi publik di Indonesia. Dari data yang ada dan laporan negara menunjukkan, korupsi tersebar luas, menembus semua tingkatan masyarakat. Kondisi itu diakui hingga kini masih terjadi. Korupsi masih menjadi musuh utama bangsa ini.
Dalam hal konsistensi melawan korupsi, dan menjadikan sebagai musuh bersama, pemimpin negeri ini sesungguhnya sudah menunjukkan sejak lama. Bahkan, sebelum Republik Indonesia merdeka. Sejak Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, hingga Presiden Jokowi saat ini selalu ada narasi yang dibuat, untuk mengajak masyarakat melawan korupsi. Berbagai lembaga antikorupsi, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Satuan Tugas Antipungutan Liar, dibuat. Namun, korupsi tetap menjadi musuh utama negeri ini.
Memang selama sebelas tahun terakhir nilai indeks persepsi korupsi Indonesia terus membaik, dari 28 pada 2009, menjadi 34 tahun 2014, 37 (2016), dan tahun 2019 menjadi 40. Namun, pengadilan cenderung "konsisten" menghukum ringan pelaku korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, pidana terhadap pelaku korupsi di Indonesia belum memberikan efek jera. Sepanjang tahun 2019 rata-rata hukuman terhadap pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Ada 54 terdakwa korupsi yang diputuskan bebas oleh pengadilan pula.
Sepanjang tahun 2019 rata-rata hukuman terhadap pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara.
Sebagian pelaku korupsi yang dihukum itu, adalah penyelenggara negara. Bahkan, mereka yang ditangkap, diadili, dan dihukum, karena terbukti melakukan rasuah, menurut data KPK semenjak tahun 2004 – 2018, sebagian besar merupakan pejabat negara, seperti kepala daerah, anggota DPR/DPRD/DPD, hakim, jaksa, polisi, duta besar, atau pejabat kementerian/lembaga negara. Dari 998 pelaku korupsi yang ditangani KPK, hanya 363 orang yang bekerja sebagai pengacara, swasta, korporasi, dan lainnya, yang bisa dikategorikan bukan penyelenggara negara.
Pemberantasan korupsi memerlukan integritas dari lembaga negara, termasuk pejabatnya. Proklamator Mohammad Hatta mengajarkan, pemimpin harus satu kata dan perbuatan. Jujur, sederhana, bertanggungjawab. Pemberantasan korupsi memerlukan pula keteladanan dari pemimpin negeri ini.