Politik Lebanon yang dibangun lewat pembagian kekuasaan berdasarkan kelompok dinilai sudah tidak relevan. Muncul tuntutan agar dilakukan perubahan terhadap politik negara itu.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Keputusan pengadilan khusus pembunuhan Hariri di Leidschendam, Belanda, mengecewakan warga Lebanon karena tak mengungkap auktor intelektualisnya.
Seorang pria Lebanon yang dihukum dalam pembunuhan mantan Perdana Menteri Lebanon Rafiq Hariri pada 2005 disebut sebagai anggota regu pembunuh khusus. Ia setidaknya melakukan empat pembunuhan lain atas perintah kelompok militan Hezbollah. Tim ini dikenal sebagai Unit 121, dikendalikan oleh pemimpin tertinggi Hezbollah.
Salim Jamil Ayyash, agen Hezbollah berusia 56 tahun, dituduh sebagai rekan konspirator dalam pembunuhan Hariri. Namun, panel tak menemukan bukti konklusif yang mengaitkan kepemimpinan Hezbollah dengan pembunuhan Hariri.
Justru tiga dari empat terdakwa, yakni Hussein Hassan Oneissi, Assad Hassan Sabra, dan Hassan Habib Merhi, dinyatakan bebas oleh majelis hakim karena kurangnya bukti. Seorang yang sempat didakwa dan diduga menjadi otak rencana pembunuhan Hariri, Mustafa Bedredine, seorang pemimpin militer Hezbollah, tewas pada 2016.
Pengamat Hezbollah asal Amerika Serikat, Matthew Levitt, menyatakan, Hezbollah mendedikasikan beberapa unit khusus untuk tugas tertentu. Beberapa di antara unit itu bahkan punya batas waktu. ”Unit pembunuhan politik Hezbollah hanya salah satu contohnya,” ujar Levitt.
Majelis hakim yang dipimpin David Re menyatakan, pengadilan tidak mempunyai cukup bukti bahwa Hezbollah terlibat dalam pembunuhan itu meski memiliki motif cukup jelas. Putra Rafiq Hariri, Saad Hariri, yang hadir dalam pembacaan vonis, menerima putusan itu (Kompas.id, 25/8/2020).
Lebanon seolah tidak putus dirundung malang. Baru saja dilanda ledakan hebat yang menyebabkan sedikitnya 170 orang meninggal dan membuat PM Hassan Diab mengundurkan diri, lalu disusul demonstrasi yang menuntut perubahan sistem politik. Di tengah upaya mencari dalang pembunuhan Hariri, ekonomi Lebanon seolah tak lepas dari krisis hingga harga kebutuhan pokok terus meningkat.
Majelis hakim yang dipimpin David Re menyatakan, pengadilan tidak mempunyai cukup bukti bahwa Hezbollah terlibat dalam pembunuhan.
Sistem politik Lebanon didasarkan pada pembagian kekuasaan sesuai kelompok. Jabatan presiden selalu diberikan kepada kelompok Kristen Maronit, perdana menteri merupakan jatah Muslim Sunni, dan ketua parlemen merupakan hak kelompok Islam Syiah. Sistem ini sudah terbukti tidak kondusif bagi upaya perbaikan ekonomi dan sosial di Lebanon.
Dengan sistem ini, sirkulasi elite penguasa berjalan lambat, bahkan bisa dimonopoli demi keuntungan ekonomi kelompok. Bahkan, seperti tergambar dalam kasus pembunuhan Hariri, perlindungan dari kelompok dapat memutus mata rantai hingga ke pucuk pemimpin kelompok itu.
Wajar jika warga Lebanon terus berunjuk rasa menuntut perubahan sistem politik yang hanya akan melanggengkan kekuasaan segelintir elite. Tanpa perubahan sistem, akses warga terhadap sumber ekonomi, politik, dan kekuasaan hanya akan menciptakan ketimpangan relatif permanen.