Masalah Transportasi di Masa Pandemi
Operator transportasi dan penumpang sebaiknya tidak perlu terburu-buru melakukan pelonggaran tanpa jarak sehat di sektor transportasi umum.
Secara umum, belum terlihat Indonesia mencapai puncak kasus penularan Covid-19. Meskipun jumlah penderita Covid-19 fluktuatif, secara grafis terus bertambah per 12 Agustus 2020. Hal ini sangat memprihatinkan.
Secara psikologis, tidak mudah juga bagi masyarakat untuk melakukan kebiasaan baru (new normal) dengan mengikuti protokol kesehatan di saat harus tetap bekerja memenuhi kebutuhan hidup dan menggerakkan perekonomian. Bahkan, ada pula kekhawatiran, ketika semakin banyak yang bekerja, semakin banyak pula sebaran Covid-19.
Selama empat bulan lebih, masyarakat memang telah mengikuti kebijakan pemerintah yang melakukan pembatasan sosial sebagai upaya menekan penyebaran Covid-19. Namun, hingga kini, angka penderita Covid-19 terus bertambah. Sementara masyarakat merindukan kehidupan normal untuk mengais rezeki dalam berbagai macam lingkup pekerjaan.
Negara juga tetap butuh pemasukan dari pajak supaya tetap bertahan. Ketahanan ekonomi Indonesia sesuai APBN juga mengandalkan pendapatan pajak dari masyarakat yang porsinya mencapai 82 persen (RAPBN 2019).
Demi mendukung perekonomian, pemerintah pun telah menerapkan kondisi normal baru sesuai protokol kesehatan. Masalahnya, sektor transportasi menjadi dimensi hilir yang selalu menjadi imbas teknis permasalahan sebaran Covid-19, khususnya angkutan umum massal sebagai ruang kluster baru sebaran virus.
Demi mendukung perekonomian, pemerintah pun telah menerapkan kondisi normal baru sesuai protokol kesehatan.
Kenyataan di lapangan
Kondisi di lapangan yang merupakan bagian hilir selama ini juga terlihat kacau oleh karena tidak ada pengaturan yang baik di bagian hulu. Hal itu dikarenakan pasokan tidak sebanding dengan permintaan oleh karena kapasitas transportasi dibatasi 50 persen untuk physical distancing. Permasalahan yang timbul di lapangan ini disebabkan urusan transportasi kerap diabaikan dalam perencanaan.
Ketika pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilakukan di DKI Jakarta pada pertengahan Maret 2020, antrean panjang calon penumpang di beberapa halte bus Transjakarta pun langsung terjadi. Antrean tersebut karena kapasitas bus dibatasi maksimal 50 persen dan operasi bus dikurangi dengan headway 20 menit, sementara normalnya 5-10 menit. Sungguhkah urusan transportasi umum ini tidak direncanakan dengan matang?
Kondisi serupa terjadi pula pada angkutan kereta rel listrik (KRL), yang jadwal operasinya sempat dibatasi dari pukul 04.00 sampai pukul 18.00. Penumpukan pun terjadi. Sebelumnya, operasional KRL dijalankan dari pukul 04.00 sampai pukul 23.30, tetapi tiba-tiba dibatasi ketika permintaan dari penumpang belum berkurang.
Penumpukan penumpang komuter ini tetap sering terjadi setiap Senin pagi di Stasiun Bogor, Citayam, dan Bojonggede, yang kemudian mendapatkan solusi berupa bantuan angkutan bus dari Pemprov DKI, JR Connection (BPTJ), dan Damri. Solusi yang sebenarnya datang terlambat.
Demikian pula, sempat terjadi blunder ketika dilakukan relaksasi bagi angkutan umum antarkota di Bandara Soekarno-Hatta, Banten, Kamis 14 Mei 2020. Terjadi pelanggaran jaga jarak di Terminal 2. Pagi hari itu, mulai dari pukul 06.30 hingga 08.00 (1,5 jam), terdapat 10 penerbangan (peak time) yang sayangnya tidak memperhatikan aturan PSBB untuk mencegah penyebaran virus penyebab Covid-19.
Penumpang pesawat berjubel tanpa jarak saat antre verifikasi dokumen-dokumen izin melakukan perjalanan (saat itu sesuai Surat Edaran Gugus Tugas Nomor 4 Tahun 2020). Saat itu pula, dokumen kesehatan bebas Covid-19 dan surat perjalanan dinas (SPD) terpantau diperjualbelikan di pasar daring.
Saat itu pula, dokumen kesehatan bebas Covid-19, dan surat perjalanan dinas (SPD) terpantau diperjualbelikan di pasar daring.
Masalah itu kembali terjadi pada 15 Agustus 2020. Sebuah kondisi yang mengingatkan kita kembali pada masa ketika ada banyak calo tiket di stasiun-stasiun kereta. Hanya saja, yang kini muncul adalah calo tes cepat. Apabila tidak segera ditindak, percaloan tes cepat terus berlangsung. Meski akun transaksi surat kesehatan secara daring sudah banyak ditutup dan pelakunya ditangkap, kini para calo ternyata beralih berjualan secara luring.
Persoalannya, kita tidak tahu pasti keaslian dokumen-dokumen prasyarat yang dibawa calo. Apa benar itu dari rumah sakit? Apabila dokumen itu palsu, penumpang yang boleh jadi orang tanpa gejala (OTG) berisiko menjadikan penumpang lain dalam radius 2 meter darinya menjadi kelompok orang dalam pengawasan (ODP). Potensi risiko jelas tetap terbuka.
Pada Jumat (26/6/2020) dari tes cepat secara random kepada 857 penumpang KRL di Stasiun Bogor dan Bojong Gede, misalnya, diketahui 15 penumpang di antaranya reaktif covid-19. Jika dilakukan tes usap dengan metode PCR, boleh jadi ada yang positif atau negatif Covid-19. Namun, dapat diasumsikan, paling tidak 1,75 persen pengguna angkutan umum berpotensi reaktif Covid-19.
Di luar angkutan kereta, yang juga belum terpantau adalah perilaku penumpang angkutan bus. Apakah mereka sungguh telah mematuhi protokol kesehatan?
Dari contoh-contoh kasus yang telah diungkapkan, dapat dikata ada persoalan sebaran Covid-19 di sektor transportasi publik. Operator dan penumpang transportasi umum pun boleh dikata menjadi ”korban” akibat kurang tepatnya kebijakan. Operator transportasi kiranya akan menyalahkan penumpang apabila tidak disiplin, sementara penumpang juga akan menyalahkan operator ketika tidak siap beroperasi sesuai protokol kesehatan.
Lingkaran persoalan selalu akan terjadi karena belum ada protokol kesehatan dalam standar pelayanan minimal (SPM) transportasi umum. Sementara kini, aturan yang berlaku hanyalah sebatas surat edaran dari Satuan Gugus Tugas Pengendalian Covid-19 dan Kementerian Perhubungan yang kedudukannya kurang kuat dalam peraturan perundang-undangan.
Lingkaran persoalan selalu akan terjadi karena belum ada protokol kesehatan dalam standar pelayanan minimal transportasi umum.
Ketika kondisi belum kembali normal, ketika virus korona tipe baru belum lenyap, pada 3 Agustus 2020, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun kembali memberlakukan kebijakan ganjil genap. Akibatnya, sebagian publik beralih naik angkutan umum. Stasiun-stasiun KRL kembali dipadati penumpang pada hari pertama pelaksanaan kebijakan ganjil genap.
Selanjutnya, Jumat (7/8) dan Senin (10/8), di Stasiun Tanah Abang terjadi ”kericuhan” penumpang dangan petugas stasiun di pintu samping stasiun di lantai bawah. Kericuhan tersebut sebagai akibat penumpang tidak sabar menunggu antrean masuk stasiun karena ada kebijakan pembatasan kapasitas di peron KRL.
Sayangnya, tatkala memasuki stasiun, penumpang yang tadinya tertib jaga jarak langsung saling mendahului memasuki peron stasiun. Akibatnya, pengondisian normal baru dengan saling menjaga jarak fisik dapat dikatakan gagal.
Akar persoalannya, tentu saja karena sektor transportasi belum diposisikan semestinya. Kelembagaan pun hadir silih berganti sejalan dengan regulasi baru. Kini, bahkan telah terbit Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Begitu dibaca, sektor transportasi ternyata kembali ditinggalkan.
Sektor transportasi hanya dianggap kementerian teknis yang hanya berurusan secara mikro. Akhirnya, transportasi menjadi hanya urusan hilir, sementara penyebaran Covid-19 juga berpotensi terjadi di kluster-kluster transportasi.
Upaya membendung sebaran
Menghindari kerumunan di angkutan umum idealnya dilakukan sejak di hulu. Hal itu dapat dilakukan dengan pembatasan jam atau hari kerja bagi para pegawai perkantoran dan pabrik. Aktor yang berperan tentu saja pemerintah daerah dan kementerian terkait, seperti Kemendagri, Kemenaker, dan Kementerian BUMN.
Jangan sampai pemerintah tidak berhasil menetapkan pembatasan atau pergiliran waktu kerja, tetapi menetapkan solusi, misalnya, dengan rekayasa nomor polisi ganjil genap. Pasalnya, yang terjadi adalah kericuhan di angkutan umum. Perilaku bertransportasi ini ibaratnya sebuah balon. Apabila salah satu sisi balon itu diremas, udaranya akan bergeser ke sisi lain sehingga menggelembung.
Pasalnya, yang terjadi adalah kericuhan di angkutan umum.
Ketika kompetensi utama dari operator adalah soal pelayanan ke penumpang, sulit juga bagi mereka untuk membedakan keaslian surat sehat Covid-19. Solusinya mungkin dapat dengan menggelar tes cepat di bandara, terminal, atau stasiun secara langsung, bukan mempercayakan tes cepat di tempat lain.
Apabila operator transportasi kekurangan tenaga medis, dapat saja bekerja sama dangan unit kesehatan TNI/Polri atau universitas-universitas yang mempunyai fakultas kedokteran. Waktu dan proses keberangkatan sebelum berpergian tentu menjadi lama, tetapi inilah salah satu cara untuk membendung sebaran Covid-19 di transportasi publik.
Kita telah sepakat kalau normal baru akan menggairahkan perekonomian tanpa harus meninggalkan protokol kesehatan Covid-19. Namun, protokol kesehatan hanya dapat dipenuhi apabila yang diatur adalah pergerakan warga, di antaranya melalui pengaturan waktu kerja. Ingat, filosofi dasar transportasi adalah mengatur pergerakan manusia, bukan mengatur kendaraan. Pengaturan ganjil genap tentu saja tidak sesuai dengan filosofi ini.
Persoalan Covid-19 juga harus dipahami 100 persen menyangkut urusan kesehatan. Dengan demikian, seluruh pemangku kepentingan harus patuh dan tunduk pada regulasi kesehatan. Merelaksasi kapasitas transportasi menjadi di atas 50 persen tentu saja ibarat berjudi terhadap protokol kesehatan itu sendiri.
Apalagi, di Indonesia, belum terlihat angka penurunan penderita infeksi korona yang signifikan. Relaksasi kapasitas angkutan umum hanya boleh dilakukan melalui kajian terlebih dahulu. Operator transportasi dan penumpang sebaiknya tidak perlu terburu-buru melakukan pelonggaran tanpa jarak sehat di sektor transportasi umum.
(DEDDY HERLAMBANG, Pemerhati Transportasi publik/Direktur Eksekutif INSTRAN)