Bisa jadi gelombang identitas agama akan tetap menerpa negeri ini selama sepuluh atau dua puluh tahun lagi.
Oleh
Jean Couteau
·4 menit baca
Sampai kira-kira dua minggu lalu, saya pusing mempertanyakan diri bagaimana melalui tulisan Udar Rasa ini saya dapat merayakan ulang tahun ke-75 Republik Indonesia. Tidak semudah itu. Saya orang bule. Jadi, tulisan saya hendaknya berkaitan dengan konsep universal lintas bangsa: kebebasan politik untuk kita semua.
Lalu, ”keajaiban” terjadi. Saya berteman sejak lama dengan seorang pejuang yang kini bukan hanya pelukis tersohor, tetapi yang pernah juga membuat baliho-baliho perjuangan pada tahun 1947 untuk Pemerintah RI: Srihadi Soedarsono. Kami kerap ber-Whatsapp-ria. Tahu-tahu, beberapa minggu lalu, ketika saya sedang ngutak-atik pesan di ponsel, apa yang saya lihat? Sebuah foto mirip poster.
Baru melihatnya, saya kaget: poster itu mengangkat secara visual lagu kebangsaan negara asing! Untuk apa? Untuk menyokong kemerdekaan Indonesia. Aneh nan luar biasa, kan!
Apalagi, negara itu adalah negara asal saya, Perancis. Tema ilustrasi itu adalah ”La Marseillaise”, lagu yang mengiringi perjuangan Revolusi Perancis 1789 ke arah liberté, egalité, fraternité (kebebasan, persamaan sosial, persaudaraan). Isi lagu diterjemahkan di bagian bawah ilustrasi. Terlihat juga Menara Eiffel.
Anda mungkin bertanya, ngapaian lagu kebangsaan asing ada pada baliho di tengah perjuangan kemerdekaan Indonesia di pengujung tahun 1947. Mengapa juga saya membawakannya sekarang ini, berselang beberapa hari saja dengan HUT Ke-75 RI?
Pada waktu itu, Srihadi, yang baru 16 tahun umurnya, dan seniornya, Soerono, diminta membuat baliho yang sangat khusus itu atas pesan dari Pemerintah RI. Pada waktu itu, Pemerintah RI tengah terlibat dalam perundingan dengan Belanda di Renville, atas prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa yang baru dibentuk masa itu.
Seusai dibuat, sesuai konsep Srihadi, baliho besar itu lalu dipajang di Jalan Malioboro, Yogyakarta, tepat di samping Gedung Agung, Istana Negara waktu itu, agar dapat dilihat baik oleh rakyat maupun oleh wakil-wakil negara asing yang mengambil bagian pada perundingan Belanda-Indonesia.
Ilustrasi ini juga luar biasa karena di dalam paradoksnya—rujukan pada lagu kebangsaan asing ini—tersirat inti jiwa bangsa Indonesia yang sesungguhnya, yakni jiwa persaudaraan. Di dalam tradisi Nusantara yang sebenarnya, ”keliyanan” tidak pernah ditekankan.
Di dalam tradisi Nusantara yang sebenarnya, ’keliyanan’ tidak pernah ditekankan.
Orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke lebih mengutamakan kebersamaan daripada perbedaan. Misalnya, tidak jarang kita mendengar orang mengatakan bahwa ”agama-agama itu seperti sungai, yang semua berasal dari gunung dan semua pula bermuara di laut”.
Sikap terbuka sejenis ini tampil di dalam pernyataan-pernyataan rakyat sebagai sesuatu yang hadir dengan begitu saja, tanpa perlu dirumuskan secara intelektual.
Poster perjuangan di atas memperlihatkan bagaimana humanisme spontan ini hadir, bahkan di tengah kemelut fisik. Sang pejuang di poster, dengan tangan terkepalnya, tidak segan-segan menyanyikan lagu asing, ”La Marseillais”", untuk menuntut kemerdekaan Indonesia.
Sebagaimana perintis revolusi Perancis tahun 1989 memperjuangkan kebebasan dari cengkraman kaum feodal, demikian pula pelaku revolusi Indonesia memperjuangkan kemerdekaan, yaitu pembebasan dari cengkraman penguasa asing.
Artinya Soekarno, Hatta, dan para pejuang melihat gerakan pembebasan/kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai bagian dari proses yang lebih luas, yaitu proses emansipasi manusia. Bagi mereka, kemerdekaan dan kemanusiaan pada galibnya adalah dua sisi dari sifat pembebasan yang tunggal.
Jadi, bukan kebetulan apabila hal ini diangkat menjadi sila Pancasila.
Pada saat kita merayakan tiga perempat abad kemerdekaan Indonesia, hal-hal di atas ini amat penting. Bukankah kondisi Indonesia kini relatif lebih baik daripada hampir semua bangsa multietnis lainnya?
Mengapa? Karena Indonesia kini tetap setia pada warisan kultural-politik para pendirinya di atas. Di dalam negeri, para pendiri bangsa ini lebih mengedepankan kebersamaan (suku/agama) daripada perbedaan. Di luar negeri, merka menerapkan ragam nasionalisme yang diilhami kemanusiaan. Ini dilengkapi perangkat ideologis/institusional yang memperkokoh kedua hal di atas.
Bisa jadi gelombang identitas agama akan tetap menerpa negeri ini selama sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Bisa juga pula bahwa neonasionalisme keras yang gejalanya kini terlihat dari Barat sampai ke Timur akan mengganggu ketenangan lautannya.
Namun, selama Indonesia berpegang teguh pada prinsip-prinsip di atas, dan selama perhatian lebih besar diberikan pada persoalan lingkungan dan keadilan sosial, kami yakin bahwa negeri kepulauan ini akan semakin aman sentosa.