Mohammad Hatta, sosok negarawan yang bersih, sederhana, dan berintegritas, kini makin dirindukan di tengah kian langkanya pejabat publik yang mendahulukan kepentingan negara dibanding kepentingan pribadi dan kelompoknya
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Mumpung masih dalam semangat perayaan proklamasi di Agustus, saya ingin menulis sosok Mohammad Hatta. Kenapa? Suasana kebangsaan akhir-akhir ini rasanya tepat untuk mengingat kembali sosok dan karakter Hatta. Skandal ”dagang perkara” yang terjadi di Kejaksaan dan Polri mempermalukan republik. Ada jeritan keadilan sosial. Isu lama yang kembali digemakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Gagasan itu sentral disuarakan Hatta. Soekarno-Hatta adalah negarawan sejati yang membawa bangsa ini keluar dari kolonialisme Belanda. Hatta lahir 12 Agustus 1902, 118 tahun lalu. Ia meninggal 14 Maret 1980. Mengutip Roeslan Abdulgani di harian Kompas, 15 Maret 1980, Hatta adalah pengawal hati nurani bangsa (The Guardian of National Conscience).
Hatta adalah demokrat yang mendambakan keadilan sosial. Seorang negarawan yang bersih, sederhana, dan integritasnya pada negara tak diragukan.
Hatta adalah demokrat yang mendambakan keadilan sosial. Seorang negarawan yang bersih, sederhana, dan integritasnya pada negara tak diragukan. Nama Hatta diabadikan sebagai tokoh antikorupsi. Nama penghargaannya adalah Bung Hatta Anti Corruption Award. Wali Kota Solo Joko Widodo, kini Presiden, pernah menerima penghargaan Bung Hatta.
Sosok Hatta sebagai negarawan dirindukan bangsa. Di tengah konsentrasi bangsa berjibaku melawan pandemi Covid-19, bangsa ini merindukan negarawan, bukan semata-mata politisi, pemburu kekuasaan.
Hatta bukan hanya berkata. Dia berbuat. Dia bertindak. Ia sosok yang kata dan perbuatannya satu. Bukan standar ganda. Sosiolog Selo Sumardjan menyebut kesederhanaan Hatta kelewatan. ”Hatta adakah negarawan sejati,” tulis Selo dikutip dalam buku Keteladanan Bung Hatta, M Sayuti Dt Rajo Pangulu, 2020. Meski memangku jabatan wakil presiden, Hatta begitu sederhana. Hatta bahkan pernah tak mampu membayar tagihan listrik dengan uang pensiun. Hatta bersurat kepada Gubernur Jakarta Ali Sadikin. Ali Sadikin pun kaget dan mengambil kebijakan biaya listrik Hatta ditanggung pemerintah Jakarta.
Selo dikutip buku itu menyebutkan, ”Negarawan adalah tokoh yang tanpa pamrih membela rakyat dan rela berkorban untuk rakyat. Ia lebih mendahulukan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan pribadi. Ciri-ciri itu saat ini tidak dimiliki tokoh bangsa.” Selo kemudian menyebut, contoh negarawan sejati Indonesia adalah Hatta.
Negarawan adalah tokoh yang tanpa pamrih membela rakyat dan rela berkorban untuk rakyat. Ia lebih mendahulukan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan pribadi. Ciri-ciri itu saat ini tidak dimiliki tokoh bangsa (Selo Sumardjan)
Dalam buku Keteladanan Bung Hatta dikisahkan bagaimana Hatta ingin membeli sepatu Bally buatan Inggris. Hatta menabung. Saat uang terkumpul, tabungannya terpaksa diambil karena ada kebutuhan rumah tangga mendesak. Sampai Hatta meninggal, impiannya membeli sepatu Bally tak kesampaian.
Asketisme Hatta luar biasa. Niat menyalahgunakan jabatan jauh dari bayangan Hatta. Seperti pada saat kebijakan pemotongan uang rupiah, Hatta menyimpan rapat rahasia negara itu. Rahmi mengalami dampaknya. Uang yang ditabungkan sedikit demi sedikit untuk membeli mesin jahit jadi tak bernilai. Mesin jahit tak terbeli.
Rahmi mengeluh, ”Kenapa ayah tak memberi tahu akan ada kebijakan pemotongan uang. Uang tabungan kita tak ada nilainya.” Hatta merespons, ”Kepentingan negara tidak ada sangkut pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara tetap rahasia. Biarlah rugi sedikit demi kepentingan negara,” ucap Hatta.
Kisah antikorupsi Hatta dituturkan dalam buku itu. Seorang staf Hatta melaporkan adanya harta karun yang ditemukan masyarakat. Katanya, sebaiknya kita panggil dan diam-diam kita simpan. Hatta menanggapi, ”Harta karun itu milik Allah dan hak orang banyak. Oleh karena itu, tidak boleh diambil, sebaiknya disimpan oleh negara dan rakyat harus tahu.”
Harta karun boleh jadi adalah kekayaan alam. Kekayaan alam, misalnya pertambangan, bagi Hatta adalah milik rakyat. Negara seharusnya mengatur pertambangan untuk kemaslahatan orang banyak, melalui koperasi, bukan untuk korporasi yang disahkan dalam UU Minerba.
Asketisme Hatta lenyap dalam ingar bingar politik kekuasaan. Sikap Hatta yang membagi lugas antara negara dan keluarga semakin terpinggirkan dengan semangat aji mumpung. Mumpung sedang berkuasa. Gagasan ideologis antikorupsi Hatta juga belum sepenuhnya menurun ke penerima anugerah.
Saat Wali Kota Solo Jokowi dan Wali Kota Yogyakarta Herry Sudianto menerima penghargaan Bung Hatta, Sukardi Rinakit dalam artikelnya di Kompas, 2 November 2010, memberikan analisis. Sukardi menulis demikian. ”Kepemimpinan yang ditunjukkan oleh tokoh lokal itu, jika ditambah dengan loyalitas dan kesetiaan Mbah Maridjan dalam melaksanakan tugas, terciptalah keluhuran kepemimpinan. Namun, patut disayangkan, di tingkat nasional yang terjadi justru kehancuran karakter kepemimpinan. Sulit mencari sosok politisi, baik di eksekutif maupun legislatif, yang setia memanggul kebajikan. Semua cenderung bersetia pada pragmatisme,” tulis Sukardi.
Pada bagian lain, Sukardi menulis, ”Jika mengamati perilaku politik elite nasional saat ini, yang kekuasaannya cenderung dijaga oleh pencitraan daripada kerja keras, tidak ada lagi keluhuran kepemimpinan yang tersisa. Keluhuran Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan pendiri Republik yang lain telah dikikis pragmatisme politisi masa kini. Untung masih ada local geniuses yang secara sadar mau mengemban kebajikan kepemimpinan…”
Namun, pepatah Latin mengatakan, honores mutant mores, saat manusia mulai berkuasa, berubah pula tingkah lakunya. Atau bisa juga sebaliknya, saat orang sudah tidak berkuasa, berubah pula sikap politiknya. Entahlah....