Indeks demokrasi Indonesia terus menurun. Naiknya aksi intoleransi dan religio-kultural membuat demokrasi merosot. Perlu sikap aktif informed public untuk mengembalikan akal sehat dalam diskursus di ruang publik.
Oleh
Burhanudin Muhtadi
·5 menit baca
Kompas/Priyombodo
Mural bertema no hoax menghiasi tembok di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang, Banten, Selasa (5/5/2020). Hoax atau hoaks atau penyebaran informasi palsu di masyarakat melalui berbagai media terutama media sosial dan grup percakapan kian mengkhawatirkan.
Dunia sedang dilanda resesi demokrasi. Dalam laporan terbarunya, Freedom House (2020) mencatat, 25 dari 41 negara demokrasi yang telah mapan mengalami kemerosotan demokrasi selama 14 tahun berturut-turut. Indonesia tanpa terkecuali.
The Economist Intelligence Unit mencatat, indeks demokrasi Indonesia turun tiga tahun berturut-turut. Pada 2016, Indonesia masih menempati peringkat ke-48 dari 167 negara yang diteliti. Kini, peringkat demokrasi Indonesia terjerembap ke peringkat ke-64 dengan skor hanya 6,39. Artinya, kita berada di dasar paling bawah kategori flawed democracies (negara demokrasi yang cacat).
Menurut lembaga pemeringkat demokrasi terkemuka itu, rapor merah kita terletak pada kebebasan sipil dan kultur politik, terutama menguatnya intoleransi dan politik identitas.
Pertanyaannya, apakah regresi demokrasi di Indonesia semata-mata karena perilaku elite politik atau apakah ada faktor pendorong lain? Apakah publik punya kontribusi terhadap erosi demokrasi kita? Menunjuk elite sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas kemunduran demokrasi adalah perkara mudah. Studi telah menunjukkan aktor utama di balik kemunduran demokrasi di dunia adalah elite politik, seperti kasus Donald Trump di AS, Vladimir Putin di Rusia, atau Viktor Orban di Hongaria.
Kini, peringkat demokrasi Indonesia terjerembap ke peringkat ke-64 dengan skor hanya 6,39.
Namun, menganggap publik seperti makhluk suci yang tak berdosa juga sebentuk kenaifan tersendiri. Studi Aspinall, Fossati, Muhtadi, dan Warburton (2019) menemukan, resesi demokrasi yang kita alami juga disumbang sikap iliberal dan otoritarian di kalangan warga yang diukur melalui kurangnya dukungan pada checks and balances, pluralisme, dan lain-lain.
Studi Mietzner dan Muhtadi (2018) juga menunjukkan naiknya tren intoleransi politik dan religio-kultural di kalangan pemilih yang membuat indeks demokrasi kita merosot. Eurasia Group menambahkan, faktor politik identitas dan pasca-kebenaran (post-truth) yang turut meracuni publik sehingga pilihan elektoral mereka terkontaminasi virus jahat.
Jadi mengklaim bahwa publik kita adalah benteng demokrasi (democratic bulwark) tanpa mengakui adanya budaya politik yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi bisa menjebak kita pada romantisisme. Para ahli umumnya mendasarkan demokrasi terkonsolidasi semata-mata karena dukungan warga Indonesia terhadap demokrasi sebagai sistem (Diamond, 2010).
Para ahli umumnya mendasarkan demokrasi terkonsolidasi semata-mata karena dukungan warga Indonesia terhadap demokrasi sebagai sistem (Diamond, 2010).
Mereka lupa demokrasi bukan semata-mata preferensi terhadap rezim demokrasi, atau partisipasi elektoral lima tahunan, melainkan juga pengakuan terhadap nilai-nilai substansi demokrasi, seperti kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan toleransi.
Ironisnya, warga berpendidikan tinggi sekalipun tidak menjamin mereka bersikap lebih baik. Studi Nick Kuiper dan Mujani (2020) membuktikan, bahkan kelompok berpendidikan tinggi justru yang paling percaya disinformasi atau hoaks di Indonesia. Potret yang sama terjadi di arena elektoral.
Studi penulis dalam Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery (2019) juga menemukan tingkat pendidikan kita tidak berkorelasi dengan insiden politik uang. Seharusnya pendidikan mampu mengajarkan bahwa malapraktik elektoral, seperti politik uang, bertentangan dengan demokrasi dan karena itu haram dilakukan.
Daftar masalah demokrasi iliberal kita makin bertambah panjang seiring dengan menguatnya polarisasi yang membelah warga berdasarkan sikap partisan yang merusak akal sehat. Polarisasi antara kubu ”cebong” dan ”kampret” bahkan menjalar di luar isu-isu elektoral.
Masalah serius yang membutuhkan solusi teknokratik, seperti ketimpangan sosial (Muhtadi dan Warburton, 2020) atau pandemi (Soderborg dan Muhtadi, 2020), bahkan di-frame secara partisan. Akibatnya, kita kehilangan kesempatan berharga untuk menilai sesuatu secara obyektif. Apalagi pada saat yang sama politisi bukannya melakukan edukasi politik, melainkan justru memanfaatkan kondisi itu untuk kepentingan elektoral.
Singkatnya, publik turut bertanggung jawab atas dekonsolidasi demokrasi yang kita alami. Untuk itu, demokrasi harus dikembalikan pada rel akal sehat, akal budi, dan budi luhur. Michael Waldman dalam A Return to Common Sense (2008) mengatakan, agen utama dalam merevitalisasi demokrasi akal sehat adalah rakyat itu sendiri.
Agar demokrasi bisa berlandaskan akal budi, rakyat harus aktif dan terinformasi (informed public). Akal sehat bisa menjadi kata kunci imperatif jika publik berdaya dengan informasi yang memadai sehingga tidak dipermainkan oleh politisi.
Singkatnya, publik turut bertanggung jawab atas dekonsolidasi demokrasi yang kita alami.
Mengembalikan akal sehat
Studi telah lama menunjukkan, semakin terinformasi seorang warga dengan isu-isu publik, semakin baik kualitas pilihan dan sikap politiknya (Andersen et al, 2005). Ini karena informed public menjadikan informasi dan pengetahuan sebagai panglima. Karena itu, dua hal harus dilakukan dalam rangka mewujudkan demokrasi berakal budi.
Pertama, perlu sikap aktif publik agar menjadikan bukti dan pengetahuan sebagai dasar (ex-ante) dan bukan sebagai pembenaran (ex-post). Kedua, lembaga atau institusi yang mampu menjembatani dan mengadvokasi pentingnya pengetahuan, seperti media massa dan LSM, harus aktif memfasilitasi pengetahuan dan data kepada publik. Ruang publik akan lebih sehat jika media menjadi mediator yang memasok informasi yang berkualitas.
Membudayakan demokrasi berakal budi tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi di era digital seperti saat ini: pengaruh knowledge intermediaries konvensional, seperti media massa, makin berkurang karena gempuran media sosial.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Mural tentang ajakan menolak politik uang dan mengawasi pemilu yang adil menghiasi tembok rumah warga di Parigi, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/6/2020). KPU memutuskan untuk menggelar Pilkada serentak 2020 pada 9 Desember mendatang.
Sebaliknya, dalam banyak kasus, media sosial justru mempersulit agenda demokrasi berakal budi. Akal sehat sering dikebiri oleh polarisasi. Gejala echo-chamber menjebak warganet dalam ruang gema dan mendorong mereka selektif dalam memilih informasi.
Jika informasi yang masuk bertentangan dengan sikap politiknya, ia akan menolak terlepas dari betapa pun akurat. Namun, jika informasi datang dari kelompoknya atau sesuai dengan garis politiknya, informasi tersebut akan disebarluaskan meskipun palsu.
Justru karena itulah, perlu sikap aktif informed public untuk mengembalikan akal sehat dalam diskursus di ruang publik. Jika tidak, ruang publik kita makin keruh dan beracun, dan erosi demokrasi terus terjadi.
(Burhanuddin Muhtadi Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia)