Bank Indonesia kemungkinan besar tetap menyesuaikan arah suku bunga acuan dengan kebutuhan perekonomian dalam negeri dan dinamika ekonomi global. Secara global, suku bunga rendah atau negatif menjadi tren.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Bank Indonesia memutuskan menahan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo di level 4,0 persen pada Rapat Dewan Gubernur BI.
Pertimbangan menjaga stabilitas perekonomian dan mendorong pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 menjadi alasan BI mempertahankan bunga acuan setelah dua bulan sebelumnya berturut-turut bunga acuan diturunkan masing-masing sebesar 25 basis poin (Kompas, 21/8/2020). BI juga mempertahankan suku bunga deposit facility sebesar 3,25 persen dan suku bunga lending facility 4,75 persen.
Langkah BI sudah mempertimbangkan dinamika ekonomi global dan situasi perekonomian domestik. Dengan tingkat inflasi yang rendah saat ini, memang masih terbuka ruang bagi BI untuk kembali menurunkan bunga acuan guna lebih mendorong ekonomi. Namun, kebutuhan menjaga stabilitas, terutama dihadapkan pada tekanan meningkatnya arus modal keluar, menjaga nilai tukar rupiah, dan juga daya tarik obligasi pemerintah, lebih menjadi pertimbangan.
Selain itu, kepentingan untuk mengelola beban yang harus ditanggung BI dalam kaitan skema burden-sharing dengan pemerintah dalam pembiayaan pemulihan ekonomi dari dampak pandemi kemungkinan juga menjadi pertimbangan lain.
Meningkatnya ketidakpastian akibat resesi global menyebabkan tekanan arus modal keluar tetap besar dan bisa kian menekan nilai tukar rupiah yang saat ini berada di level Rp 14.800 per dollar AS. Sepanjang tahun ini, rupiah telah terdepresiasi 6,48 persen. Tekanan aksi jual juga terjadi di bursa saham, menyebabkan turunnya indeks.
Resesi kemungkinan sulit dihindari di triwulan II-2020 setelah pertumbuhan minus 5,32 di triwulan II. Keberhasilan menghindari resesi tergantung dari upaya mencegah pertumbuhan negatif di triwulan III, terutama keberhasilan stimulus dalam mendorong konsumsi dan investasi, yang selama ini menyumbang sekitar 90 persen pertumbuhan.
Meningkatkan daya beli dan kepercayaan terhadap prospek perekonomian domestik menjadi kata kunci. BI melihat prospek pemulihan di semester II kian membaik. Defisit transaksi berjalan rendah, inflasi juga rendah dan terkendali, cadangan devisa membaik. Secara fundamental, rupiah undervalued sehingga berpotensi menguat. Daya tarik aset keuangan relatif tinggi dan tren premi risiko juga menurun.
BI melihat prospek pemulihan di semester II kian membaik.
Di tengah situasi global yang masih dibayangi ancaman gelombang kedua pandemi Covid-19, prospek membaiknya ekonomi domestik ini diharapkan mampu menahan arus keluar modal dan pelemahan rupiah. Jika prospek perbaikan bisa berjalan paralel dengan progres dalam pengendalian penyebaran korona, harapan Indonesia pulih di akhir semester II-2020 dan tumbuh 4,5-5,5 persen di tahun 2021 juga meningkat.
Ke depan, BI kemungkinan besar tetap menyesuaikan arah suku bunga acuan dengan kebutuhan perekonomian dalam negeri dan dinamika ekonomi global, terutama suku bunga AS dan situasi ekonomi dunia. Secara global, suku bunga rendah atau negatif menjadi tren di era new normal, di tengah prediksi resesi global yang jauh lebih buruk dari perkiraan. Bunga negatif terjadi di Jepang, Swiss, dan Denmark. Zona euro mempertahankan suku bunga nol persen. Di Amerika Serikat, Fed mengindikasikan bunga mendekati nol persen hingga 2022.