75 Tahun Negara Hukum Indonesia
Sejatinya, yang diperlukan, mengejawantahkan negara hukum Indonesia sehingga memberi faedah bagi semua penghuni rumah besar Indonesia. Harapannya, semua komponen bangsa memiliki komitmen sama.
Setelah perubahan UUD 1945, negara hukum Indonesia tak lagi dalam fase pencarian. Komitmen bersama membumikannya akan memberi faedah bagi semua orang yang menghuni rumah besar bernama Indonesia.
Menjelang peringatan kemerdekaan ke-58, mendiang Satjipto Rahardjo memulai artikelnya dengan pernyataan, ”Pada tanggal 17 Agustus 1945 Negara Indonesia lahir sebagai negara baru di tengah-tengah masyarakat negara-negara di dunia. Kecuali pengumuman tentang bentuk negara, Indonesia juga menyatakan diri sebagai negara berdasar hukum (negara hukum)” (Kompas, 11/8/2003).
Dalam suasana peringatan tiga perempat abad kemerdekaan RI, pernyataan itu dapat dilanjutkan dengan pertanyaan: adakah ide ”negara hukum” menjadi pokok bahasan dan pergumulan mendalam para penyusun konstitusi Indonesia merdeka? Bagaimana potret negara hukum setelah 75 tahun Indonesia merdeka?
Kedua pertanyaan ”sederhana” ini menarik dijelaskan dengan melacak gagasan dan perkembangan kekuasaan kehakiman dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia. Bagaimanapun, dalam batas-batas tertentu, perjalanan melelahkan membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka sekaligus dapat dijadikan teropong dalam menelusuri negara hukum Indonesia.
Setelah perubahan UUD 1945, negara hukum Indonesia tak lagi dalam fase pencarian.
Perdebatan pendiri bangsa ketika merumuskan UUD 1945 di ujung kekuasaan Jepang, baik di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) maupun di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dapat dikatakan sebagai upaya konkret proses pencarian dan perumusan awal negara Indonesia modern. Selain dasar negara, desain struktur ketatanegaraan Indonesia merdeka termasuk kekuasaan kehakiman jadi isu sentral pembahasan.
Merujuk risalah pembahasan UUD 1945 yang ditulis RM AB Kusuma (2009: 364), penyebutan ”negara hukum” pertama kali, ketika Soepomo menyampaikan kesimpulan sistem pemerintahan dalam rancangan UUD, pada Rapat Besar BPUPK 15 Juli 1945. Soepomo mengemukakan, ”Rancangan UUD menghendaki supremasi hukum. Artinya menghendaki satu negara yang berdasar atas hukum, menghendaki satu rechtsstaat, bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat)”.
Menegaskan kehendak dimaksud, Soepomo menambahkan, ”Sistem pemerintahan konstitusional. Artinya pemerintah yang berdasarkan atas konstitusi (hukum dasar), bukan pemerintah yang bersifat absolutisme (kekuasaan yang tak terbatas)”.
Baca juga : “Mission Sacre” Kekuasaan
Meski sempat muncul saat pembahasan, negara hukum tak pernah menjadi rumusan norma dalam rancangan UUD 1945 yang dihasilkan BPUPK. Bahkan, ketika tugas BPUPK berakhir dan pembahasan rancangan UUD dilanjutkan PPKI, perihal negara hukum tak disentuh anggota PPKI.
Perkembangan selanjutnya, rumusan negara hukum baru menjadi bagian hukum dasar ketika UUD 1945 dan Penjelasannya dimuat dalam Berita RI Tahun II No 7, 15 Februari 1946. Terlepas dari perdebatan tentang dan sekitar Penjelasan UUD 1945, di antara substansinya adalah pernyataan ihwal ”Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)”.
Penegasan ”Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum” dalam Penjelasan UUD 1945 jauh dari cukup untuk melacak tipe negara hukum Indonesia. Misalnya, saat Soepomo menyampaikan negara hukum yang dipadankan dengan rechtsstaat, apakah tipe negara hukum yang hendak diwujudkan adalah tipe rechtsstaat atau tipe rule of law. Keduanya memiliki perbedaan, baik secara konsep maupun latar belakang.
Keduanya memiliki perbedaan, baik secara konsep maupun latar belakang.
Secara doktriner, rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental (civil law) yang mengutamakan hukum tertulis dan berkembang secara revolusioner. Sementara rule of law ditopang sistem hukum common law yang bertumpu pada yurisprudensi dan tumbuh secara evolusi.
Boleh jadi, karena di masa prakemerdekaan hukum Indonesia lebih banyak dipengaruhi tradisi civil law dan istilah yang digunakan pun berasal dari negara-negara penganut civil law, anggapan umum, konstitusi karya pendiri bangsa menghasilkan negara hukum bertipe rechtsstaat. Namun, hasil pelacakan risalah tak ditemukan maksud dan pendapat perumus UUD 1945 (original intent) yang eksplisit menyatakan tipe negara hukum Indonesia rechtsstaat.
Sekalipun tak ditemukan original intent tersebut, pendiri negara telah memberikan pijakan penting dalam membangun negara hukum. Setidaknya, kehadiran Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 telah memaktubkan salah satu prinsip mendasar negara hukum, yaitu pengakuan atas kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Pengakuan pentingnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman pula yang jadi fondasi The Spirit of Laws karya Montesquieu. Bagi Montesquieu apabila kekuasaan peradilan disatukan dengan kekuasaan legislatif, akan lahir peraturan sewenang-wenang sebab hakim merangkap sebagai pembuat hukum. Begitu pula jika digabungkan dengan eksekutif, hakim dapat menjelma jadi penindas.
Baca juga : Ketua MA Minta Hakim Tidak Alergi dengan Pengawasan
Intervensi eksekutif
Dibandingkan dengan UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950 menyebut secara eksplisit negara hukum. Dimaktubkan dalam frasa Pasal 1 Ayat (1) kedua konstitusi ini yang menyatakan, ”Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum”.
Tak berbeda dengan UUD 1945, perihal relasi antarcabang kekuasaan negara, Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950 tak membuat desain hubungan pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi (Mahkamah Agung/MA) dengan kekuasaan negara lain. Muaranya, kemerdekaan kekuasaan kehakiman jadi kabur sehingga mudah ditarik-tarik menjadi penopang kekuasaan lain, terutama kekuasaan eksekutif.
Praktik di bawah UUD Sementara 1950, MA merupakan subordinasi pemerintah. Bahkan, dalam banyak agenda kenegaraan, ketua MA diberi status setara dengan anggota parlemen.
Setelah kembali ke UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pemosisian ketua MA sebagai bagian dari eksekutif berlanjut. Ketika pembentukan Kabinet Dwikora, semua lembaga negara diposisikan sebagai alat revolusi, termasuk MA.
Dibandingkan dengan UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950 menyebut secara eksplisit negara hukum.
Merujuk catatan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP, 2016), puncak intervensi terhadap kekuasaan kehakiman ketika ketua MA menjadi Menteri Koordinator untuk Kompartimen Hukum dan Dalam Negeri pada masa Kabinet Dwikora. Bahkan, jauh sebelum itu, merujuk hasil penelusuran LeIP, dalam sidang MPRS 1960, mulai muncul penegasan untuk mengakhiri doktrin pemisahan kekuasaan.
Secara hukum, intervensi nyata atas kekuasaan kehakiman merdeka dilegitimasi UU No 19/1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. UU ini menegaskan pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat revolusi yang berdasarkan Pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia.
Tak hanya itu, dengan alasan demi kepentingan revolusi, presiden dapat turut campur dalam soal-soal pengadilan. Setelah UU No 19/1964, kekuasaan kehakiman ditempatkan sebagai kekuasaan yang merdeka di dalam UU No 14/1970. Namun, kemerdekaan dimaksud hanya sebatas pelaksanaan teknis peradilan.
Baca juga : Bangun Kredibilitas Hakim
Masalah lain yang tak kalah mendasarnya dalam desain kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah wewenang di bidang organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan tak diselenggarakan MA, tetapi tetap berada di bawah eksekutif, in casu setiap departemen. Karena itu, Sebastian Pompe dalam The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse (2005) menyatakan, selama Orde Baru, terutama 1970-1985, terjadi kooptasi politik luar biasa atas kekuasaan kehakiman.
Jika dikaitkan dengan pendapat Montesquieu, dalam batas penalaran yang wajar, bentangan empirik di atas menjadi tindakan nyata menarik kekuasaan kehakiman masuk ke dalam ranah eksekutif. Sebagaimana dibenarkan Tap MPR No X/MPR/1998, pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif memberi peluang bagi penguasa mengintervensi proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktik negatif pada proses peradilan.
Karena itu, harus dipisahkan secara tegas antara fungsi yudisial dan fungsi eksekutif. Tidak hanya dari eksekutif, menjadi keniscayaan memisahkan kekuasaan kehakiman dari semua cabang kekuasaan yang ada.
Spirit memisahkan kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari strategi membangun negara hukum yang dimaktubkan Tap MPR No X/MPR/1998 dituangkan dalam UU No 35/1999. Sebagai revisi UU No 14/1970, substansi UU No 35/1999 intinya menegaskan urusan organisasi, finansial, dan administratif dari pengadilan harus berada di bawah MA. Namun, pengaturan di tingkat UU masih jauh dari cukup.
Karena itu, harus dipisahkan secara tegas antara fungsi yudisial dan fungsi eksekutif.
Karena itu, sejalan dengan reformasi konstitusi, pilihan menegaskan kekuasaan kehakiman merdeka dalam konstitusi jadi jalan terbaik. Penataan kekuasaan kehakiman jadi jalan strategis meneguhkan dasar konstitusional negara hukum Indonesia.
Reformasi konstitusi
Melacak kembali risalah, dari semua substansi perubahan UUD 1945, pembahasan perihal negara hukum jadi salah satu isu krusial. Pembahasan kian strategis karena terkait upaya menata ulang kekuasaan kehakiman dalam struktur kekuasaan negara.
Terlebih lagi, ketika MPR sepakat menghapus Penjelasan UUD 1945 dan memindahkan hal-hal normatif dalam penjelasan menjadi norma konstitusi. Salah satu substansi penjelasan yang diangkat jadi norma konstitusi: ”Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)”.
Disebabkan tak ada ketergesa-gesaan, sebagaimana penyusunan UUD oleh pendiri bangsa, pembahasan perihal negara hukum telah dimulai sejak perubahan pertama (1999) dan selesai pada perubahan ketiga (2001). Dalam rentang waktu itu, pengubah UUD 1945 membahas segala sisi yang terkait negara hukum.
Baca juga : Memaknai Hukum di Tengah Residu Kontestasi
Sekalipun akhirnya dinormakan dengan ”Negara Indonesia adalah negara hukum”, untuk sampai pada norma ini, pengubah UUD 1945 telah menjelaskan beberapa masalah yang dapat dijadikan sebagai original intent dalam meneropong negara hukum Indonesia.
Pertama, pengubah UUD tak membedakan tipe negara hukum atas rechtsstaat dan rule of law. Artinya, yang dimaksudkan adalah negara hukum Indonesia yang melingkupi rechtsstaat dan rule of law. Karena melingkupi rechtsstaat dan rule of law, karakteristik negara hukum Indonesia lebih luas.
Di antara karakteristik yang hampir selalu ditegaskan oleh pengubah UUD adalah adanya jaminan dan penghargaan terhadap HAM; kekuasaan kehakiman yang merdeka; dan pembatasan kekuasaan negara sehingga mampu menopang bangunan demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democratic state).
Karena melingkupi rechtsstaat dan rule of law, karakteristik negara hukum Indonesia lebih luas.
Kedua, Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Apabila dibaca secara saksama risalah perubahan UUD 1945, in casu pembahasan negara hukum dalam masa Perubahan Ketiga, sebagian anggota Panitia Ad Hoc (PAH) MPR memberikan penekanan khusus ihwal ”negara hukum yang demokratis”.
Beranjak dari pengalaman, sebelum reformasi, negara hukum telah dapat pengakuan, tetapi tak dibangun dan dilaksanakan dengan cara-cara demokratis. Begitu penting makna kata demokratis, sebagiannya menghendaki agar norma dalam konstitusi secara eksplisit mencantumkan ”negara hukum yang demokratis”. Walau akhirnya tidak dicantumkan, ketentuan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan tidak boleh mengabaikan makna ”negara hukum yang demokratis”.
Ketiga, berpegang pada prinsip supremasi hukum dan sistem konstitusional yang bermuara pada sistem demokrasi konstitusional. Secara lebih sederhana, demokrasi konstitusional adalah pemerintahan yang kekuasaan politik dibatasi begitu rupa oleh konstitusi/UUD.
Pandangan ini sejalan dengan tujuan dibentuknya konstitusi sebagai instrumen untuk batasi kekuasaan. Sejak awal diyakini pengubah UUD, kekuasaan zonder pembatasan cenderung disalahgunakan.
Secara lebih sederhana, demokrasi konstitusional adalah pemerintahan yang kekuasaan politik dibatasi begitu rupa oleh konstitusi/UUD.
Membumikan negara hukum
Di antara tujuan perubahan UUD 1945 adalah menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan HAM sesuai perkembangan paham HAM dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan UUD 1945.
Untuk mencapainya, Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sulit dibantah, pengaturan itu tak terlepas dari makna hakiki kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagai fondasi menegakkan negara hukum.
Begitu penting memastikan kemandirian kekuasaan kehakiman, UUD 1945 berupaya maksimal mendesain agar kekuasaan di luar yudisial tak mudah menerobos garis pertahanan peradilan. Proses pengisian hakim agung dan hakim konstitusi ditata sedemikian rupa.
Perihal jaminan dan penghargaan terhadap HAM, hasil perubahan UUD 1945 mengatur jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan substansi semua konstitusi yang pernah berlaku termasuk UUD 1945 sebelum perubahan. Dengan begitu, pelaku kekuasaan kehakiman (MA dan MK) harus memastikan tindakan yang mengabaikan HAM akan dikoreksi peradilan dengan wibawa kekuasaan kehakiman yang mandiri.
Sulit dibantah, pengaturan itu tak terlepas dari makna hakiki kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagai fondasi menegakkan negara hukum.
Meskipun secara substansi UUD 1945 hasil perubahan masih memiliki kelemahan, apabila diletakkan dalam desain negara hukum, tak tepat lagi menggunakan alasan karut-marut negara hukum Indonesia disebabkan konstitusi tak mengatur dan menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan HAM. Secara substansial, UUD 945 telah lebih dari cukup menjawab dan mengatur kedua ciri utama negara hukum dimaksud.
Kini, setelah perubahan UUD 1945, negara hukum Indonesia tak lagi berada dalam fase pencarian, ia telah ditemukan. Negara hukum Indonesia pun tak lagi berada dalam fase perumusan, normanya telah selesai.
Sejatinya, yang diperlukan, mengejawantahkan negara hukum Indonesia sehingga memberi faedah bagi semua penghuni rumah besar Indonesia. Jika semua komponen bangsa memiliki komitmen sama, hari-hari menuju Indonesia Emas 2045 akan jadi perjalanan menuai buah manis negara hukum.
Saldi Isra, Hakim Konstitusi RI;
Profesor Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas.