Lampu Kuning Kemiskinan
Kemiskinan adalah masalah bersama karena kemiskinan dapat memunculkan deretan masalah lain bersamanya. Dibutuhkan sinergi dari semua komponen bangsa untuk bahu-membahu keluar dari masalah ini.
Maret 2018, untuk pertama kali angka kemiskinan di Indonesia menyentuh angka satu digit.
Pada saat itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ”tinggal” 9,82 persen. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada September 2019 angka kemiskinan turun lagi menjadi 9,22 persen. Apakah tren yang menggembirakan itu bisa dipertahankan di masa pandemi Covid-19 ini?
Pandemi Covid-19 sangat memukul perekonomian global. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan terkontrakasi hingga minus 7,6 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga telah merevisi target pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini. Jika sebelumnya masih optimistis bisa tumbuh maksimal 2,3 persen, saat ini pertumbuhan diprediksi maksimal 1 persen.
Penurunan daya beli
Salah satu pemicu terhambatnya pertumbuhan ekonomi nasional adalah penurunan daya beli masyarakat. Indikasinya terlihat jelas dari kontraksi komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam pendapatan domestik bruto (PDB) nasional. Jika pada kuartal akhir 2019 komponen ini masih bisa tumbuh 5,04 persen, pada kuartal awal 2020 hanya tumbuh 2,84 persen.
Salah satu pemicu terhambatnya pertumbuhan ekonomi nasional adalah penurunan daya beli masyarakat.
Penurunan daya beli masyarakat adalah lampu kuning angka kemiskinan. Pengukuran angka kemiskinan selama ini menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sangat bergantung pada daya belinya dan daya beli masyarakat sangat bergantung pada pendapatan mereka.
Jadi, jalan untuk terus mengurangi kemiskinan adalah dengan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Sayangnya, indikator pendapatan masyarakat menunjukkan perkembangan mengkhawatirkan beberapa bulan terakhir. Pekerja informal yang selama ini mengandalkan pendapatan harian mengalami penurunan pendapatan yang drastis.
Indikator pertama adalah perkembangan upah riil buruh tani dan buruh bangunan yang sejak Januari hingga Maret tahun ini terus mengalami penurunan. Upah riil adalah perbandingan antara nominal upah yang diterima dan indeks konsumsi atau indeks harga yang harus mereka bayarkan untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi, jika upah riil para buruh ini terus mengalami penurunan, itu menunjukkan kemampuan mereka memenuhi kebutuhannya juga menurun.
Baca juga: Mencegah Memburuknya Kemiskinan
Indikator berikutnya dapat dilihat di sektor pertanian. Nilai tukar petani (NTP) sejak Januari hingga Maret terus mengalami penurunan. Hal ini akibat turunnya indeks harga yang diterima petani yang disebabkan oleh penurunan hampir semua harga komoditas pertanian di tingkat petani. Lebih mengkhawatirkan lagi, pada Mei dan Juni, NTP berada di bawah angka 100 yang berarti bahwa petani cenderung merugi.
Indikator-indikator di atas, ditambah dengan faktor pandemi Covid-19 yang belum diketahui kapan berakhirnya, membuat kenaikan angka kemiskinan sepertinya tidak bisa terhindarkan. Meski demikian, tetap harus dilakukan upaya-upaya yang sistematis agar kenaikan angka kemiskinan tidak terlalu parah.
Upaya pemerintah dengan menyalurkan bantuan kepada masyarakat, baik tunai maupun non tunai, patut diapresiasi. Namun, harus disadari bahwa hal tersebut hanyalah bantalan sosial. Penahan sementara dan tidak akan menjadi solusi yang dapat diandalkan jika pandemi Covid-19 ini berkepanjangan.
Nilai tukar petani sejak Januari hingga Maret terus mengalami penurunan.
Jika kita cermati lebih dalam, bantuan langsung tunai (BLT), misalnya, jumlah Rp 600.000 per bulan per keluarga masih sangat kurang jika dibandingkan dengan rata-rata garis kemiskinan rumah tangga. Berdasarkan hasil Susenas yang dilaksanakan oleh BPS pada September 2019, rata-rata garis kemiskinan rumah tangga secara nasional adalah Rp 2,017 juta.
Oleh karena itu, upaya-upaya lain mutlak untuk dilakukan. Misalnya, upaya untuk kembali meningkatkan pendapatan para petani. Bantuan-bantuan berupa benih dan pupuk harus tetap dioptimalkan, apalagi menghadapi musim tanam baru.
Baca juga: Merosotnya Nilai Tukar Petani Ancam Produksi dan Stok Pangan
Paling tidak, upaya tersebut akan mengurangi biaya produksi sehingga keuntungan yang mereka terima bisa lebih maksimal. Tentu saja dengan tidak melupakan kestabilan harga komoditas-komoditas pertanian dan kelancaran jalur niaganya.
”New normal”
Tak kalah penting adalah memastikan roda perekonomian kembali bergulir. Pemberlakuan kebijakan new normal (kenormalan baru) masih berjalan setengah-setengah. Masyarakat masih ragu beraktivitas, sementara di sisi lain para pelaku usaha, terutama usaha mikro dan kecil, masih kesulitan untuk beradaptasi dalam kenormalan baru ini. Dibutuhkan regulasi yang jelas serta pembinaan dan bantuan terhadap usaha-usaha mikro dan kecil ini.
Baca juga: Pandemi dan Momentum Digitalisasi UMKM
Regulasi yang jelas tentang kebijakan new normal sangat dibutuhkan agar masyarakat dapat melakukan aktivitas keseharian tanpa ragu. Kenapa? Sebab, penurunan konsumsi rumah tangga, selain disebabkan oleh turunnya daya beli masyarakat bawah, juga ada indikasi bahwa masyarakat menengah atas menahan diri untuk berbelanja. Ibarat satu roda gigi dalam mesin perekonomian yang macet, menyebabkan keseluruhan mesin tidak dapat bekerja dengan baik.
Faktanya, pengeluaran penduduk Indonesia didominasi kelompok penduduk 40 persen menengah dan kelompok penduduk 20 persen teratas. Kedua kelompok ini masing-masing menyumbang 36,93 persen dan 45,36 persen total pengeluaran penduduk Indonesia. Kelompok 40 persen terbawah hanya menyumbang 17,71 persen total pengeluaran penduduk Indonesia. Karena itu, ketika kelompok menengah atas menahan belanjanya, maka akan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah momentum bonus demografi. Sungguh menjadi ujian berat ketika bonus demografi dihadapkan pada pandemi Covid-19. Ketika struktur demografi didominasi penduduk usia produktif yang membutuhkan banyak lapangan kerja, kita justru dihadapkan pada pandemi yang membuat banyak orang kehilangan pekerjaannya. Jika hal ini tak ditemukan solusinya, akan menimbulkan masalah-masalah sosial termasuk kemiskinan.
Karena itu, ketika kelompok menengah atas menahan belanjanya, maka akan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Pada akhirnya, kita tak dapat membebankan semua masalah ini pada pemerintah. Kemiskinan adalah masalah bersama karena kemiskinan dapat memunculkan deretan masalah lain bersamanya. Dibutuhkan sinergi dari semua komponen bangsa untuk bahu-membahu keluar dari masalah ini.
Anwar Abbas,StatistisiAhli di Badan Pusat Statistik Kota Palu