Undang-Undang 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dengan tegas menyebutkan dalam Pasal 3 bahwa penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional. Mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh
Yuliandre Darwis
·4 menit baca
Pada peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-75 sejenak kita merefleksikan kondisi penyiaran di daerah perbatasan. Ini penting, selain memiliki korelasi dengan momentum kemerdekaan yang tidak hanya dimaknai seremonial namun juga melihat realitas sosial yang terjadi di bangsa ini termasuk kondisi penyiaran di kawasan perbatasan setelah 75 tahun proklamasi kemerdekaan.
Masih kuat dalam ingatan publik beberapa tahun silam ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memimpin negeri ini mencanangkan gagasan Nawacita. Dalam konsep Nawacita Indonesia ingin dibangun menjadi negara lebih maju dan berkembang diantara bangsa-bangsa lain di dunia dengan potensi alam dan sumber daya manusia yang dimiliki.
Salah satu yang menarik dari gagasan Nawacita yakni ingin membangun Indonesia dari pinggiran. Menarik karena daerah pinggiran memiliki peran strategis dalam menopang kehidupan masyarakat Indonesia yang plural yang semestinya kawasan pinggiran dapat lebih diberdayakan secara optimal.
Salah satu yang menarik dari gagasan Nawacita yakni ingin membangun Indonesia dari pinggiran.
Memperkuat Indonesia dari pinggiran butuh aspek pendukung yang saling menguatkan dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia, kekuatan ekonomi, infrastruktur yang memadai, budaya, pendidikan, juga dukungan dari sektor penyiaran.
Indonesia memang negara yang kaya dengan potensi keragaman. Bayangkan negeri ini mempunyai tidak kurang 250 suku bangsa, memiliki 271 juta penduduk, 300 bahasa daerah, berbagai agama dan aliran kepercayaan, serta adat istiadat yang berbeda-beda di setiap komunitas.
Berbagai fakta sosial budaya keindonesiaan itu menjadi pijakan berpikir dan bertindak membangun tanah air. Pembangunan yang tidak saja bertumpu pada salah satu atau beberapa daerah saja, melainkan seluruh kawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tanpa terkecuali wilayah-wilayah pinggiran atau pelosok yang selama ini kurang mendapat perhatian. Padahal daerah-daerah pinggiran ini merupakan "pagar" kedaulatan bangsa dan negara.
Kondisi penyiaran perbatasan
Sektor penyiaran, suka atau tidak suka menjadi salah satu aspek penting dalam memperkuat keindonesiaan atau wawasan kebangsaan, terlebih bagi komunitas-komunitas di wilayah perbatasan atau pelosok nusantara. Aktivitas penyiaran memiliki pengaruh luar bisa di masyarakat karena menjangkau minimal 67 % penduduk Indonesia. Ini berarti lebih dari 130 juta warga sudah bisa mengakses program-program penyiaran.
Bisa dibayangkan betapa besar potensi pengaruh penyiaran terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat. Baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, seni budaya, pertahanan keamanan, politik, termasuk menggerakkan ekonomi masyarakat.
Penting untuk menyegarkan ingatan di sini tentang wilayah pinggiran yang juga memiliki korelasi dengan politik identitas dan simbol harga diri serta jati diri kita sebagai sebuah bangsa. Setidaknya ada 12 wilayah atau provinsi yang menjadi wilayah perbatasan NKRI yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Riau, Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, Aceh, Sulawesi Utara, Sumatera Utara.
Bisa dibayangkan betapa besar potensi pengaruh penyiaran terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Diakui atau tidak, di daerah perbatasan itu berbagai tantangan belum optimal teratasi hingga saat ini, seperti keterbatasan jangkauan siaran nasional atau lokal di daerah pinggiran. Terjadinya blank spot, melubernya konten siaran asing di daerah perbatasan yang tidak jarang tidak sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan. Yang berpotensi menjadi ancaman integrasi nasional.
Jika kurang mendapat perhatian maksimal maka komunitas-komunitas yang tinggal di daerah perbatasan dikhawatirkan akan merasa "lebih dekat" secara psikologis dengan negara-negara tetangga. Sebab masyarakat perbatasan lebih mudah mengakses informasi dari berbagai siaran yang terpancar dari negara tetangga daripada lembaga penyiaran negeri sendiri.
Semangat keindonesiaan di perbatasan menjadi rentan karena kuatnya pengaruh media massa asing dalam masyarakat perbatasan. Hal itu dijelaskan dalam teori Agenda Setting dimana media tidak bebas nilai dan memiliki agenda media yang sarat kepentingan.
Dalam berbagai studi pengaruh media, baik yang mengacu pada hypodermic needle theory atau cultivation theory (George Gerbner) terbukti bagaimana media mempengaruhi khalayaknya dalam kadar pengaruh yang bervariasi. Masyarakat atau khalayak media mengalami proses belajar tentang kultur dan lingkungannya (konstruksi sosial) melalui media yang mereka akses.
Maka untuk menangani masalah penyiaran di kawasan perbatasan dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak atau pemangku kepentingan penyiaran untuk melakukan berbagai terobosan dalam menyediakan akses informasi yang lebih luas dan kuat di kawasan perbatasan. Dibutuhkan political will dalam memperbaiki regulasi penyiaran, optimalisasi peran regulator seperti Kemkominfo dan Komisi Penyiaran Indonesia, komunitas-komunitas penyiaran lokal dan aktor-aktor lain.
Undang-Undang 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dengan tegas menyebutkan dalam Pasal 3 bahwa penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional. Hal itu diperkuat dengan pasal 5 huruf d UU Penyiaran bahwa penyiaran diarahkan untuk menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.
Masyarakat atau khalayak media mengalami proses belajar tentang kultur dan lingkungannya (konstruksi sosial) melalui media yang mereka akses.
Semoga di hari kemerdekaan Indonesia, penguatan dan makna kemerdekaan dapat terjadi seutuhnya termasuk dari aspek penyiaran khususnya di kawasan perbatasan yang lebih baik. Merdeka.
(Yuliandre Darwis Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat 2016-2019 ,Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat 2019 - 2022)