Sejarah peran pesantren dalam membangun rasa dan sikap kebangsaan perlu dibaca secara utuh oleh segenap elemen bangsa. Pemerintah, umpamanya, jangan sampai salah membaca tentang sumbangsih pesantren.
Oleh
Abd A'la
·5 menit baca
Sejarah mencatat, pondok pesantren (selanjutnya disebut pesantren) merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua yang bukan hanya bertahan dari terpaan zaman, tapi terus berkembang hingga saat ini. Dari saat ke saat lembaga yang menurut sejarawan ada sejak abad keenam belas Masehi itu terus hadir menyantuni masyarakat Nusantara (dan nantinya disebut Indonesia) dengan memberikan layanan pendidikan yang berciri khas.
Ciri khas pendidikan yang diabdikan kepada masyarakat itu menjadikan pesantren memiliki sumbangsih signifikan bukan hanya dalam dunia pendidikan di Indonesia, namun lebih dari itu pula dalam pengembangan rasa kebangsaan. Pesantren hadir untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan, khususnya keilmuan agama Islam, dan sekaligus kontekstualisasinya ke dalam alam Nusantara atau dan keindonesiaan.
Pesantren dan Islam Indonesia
Awalnya, kurikulum atau mata pelajaran yang diajarkan di pesantren tampak sederhana sekali. Bahkan sebagaimana Steenbrink menyebutkan (1986), J.A. van der Chijs ketika tahun 1865 diangkat sebagai Inspektur Pendidikan Pribumi oleh Kolonial Belanda menganggap metode pendidikan pesantren merupakan metode yang sangat jelek. Sebagai misal, metode membaca teks Arab yang dihafal tanpa pengertian.
Pesantren hadir untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan, khususnya keilmuan agama Islam, dan sekaligus kontekstualisasinya ke dalam alam Nusantara atau dan keindonesiaan.
Selain tulis baca Al-Quran, kandungan intelektual Islam pesantren (tradisional) seputar paham akidah (teologi) Asy’ari, aliran mazhab fiqih (hukum Islam) Syafiiyah dan ajaran akhlak-tasawuf (etika-moral) alGhazali. Di samping itu, ilmu lainnya adalah gramatika Arab dan hal-hal berkaitan dengan itu.
Kemudian sejalan dengan perjalanan masa, tepatnya sejak awal abad kedua puluh, ilmu-ilmu yang tidak berhubungan langsung dengan keilmuan dasar Islam juga dikenal-kembangkan pada sistem pendidikannya. Hal itu terjadi saat pesantren mengadopsi sistem pendidikan klasikal, seperti madrasah dan sejenisnya.
Kendati keilmuan pesantren terus berkembang dari saat ke saat, ada benang merah yang menjalin kuat keilmuan yang dikembangkan. Dalam bahasa Abdurrahman Wahid (1984), pesantren tidak bisa dilepaskan dari orientasi keilmuan dengan karakter fiqih sufistik. Melalui topangan keilmuan ini, ibadah dan segala sikap perilaku keagamaan yang bersifat vertikal dan horizontal, dari ibadah ritual, pendidikan, sosial hingga politik diejawantahkan dalam kerangka dan berbasis al-akhlaq ul-karimah, etika-moralitas luhur.
Melalui orientasi bernuansa (bahkan telah menjadi paradigma) fiqh-sufistik itu, Islam dalam dunia pesantren dikembangkan dan dielaborasi secara transformatif humanistik. Islam dikontekstualisasikan menjadi Islam menyejarah yang selalu merespon persoalan dan tantangan temporal dan lokalitas umat manusia.
Semua itu terjadi dengan tetap menjaga orisinalitas substansi nilai dan ajaran Islam, sekaligus dengan wajah Nusantara atau Indonesia. Salah satu bentuk konkretnya adalah –meminjam istilah Gus Dur –pribumisasi Islam yang dihadirkan seutuhnya sebagai rahmatan lil alamin; menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Pada tataran itu, peran dan sumbangsih pesantren dalam menumbuh-kembangkan nilai dan rasa kebangsaan pada masyarakat pesantren dan Indonesia demikian besarnya untuk negeri ini. Hal ini dapat dilacak, misalnya, dari keteguhan pesantren untuk melindungi tanah dan bumi di mana masyarakat pesantren lahir dan hidup.
Saat kerajaan-kerajaan di Nusantara tidak berdaulat lagi karena berada dalam cengkeraman penjajah, masyarakat kalangan pesantren berada di garis depan untuk melakukan perlawanan. Dalam hal ini perlawanan Pangeran Diponegoro, santri dan pengikut tarekat Qadiriyah dan Syatariyah dengan para pengikutnya merupakan salah satu contoh yang sama sekali tidak bisa diabaikan.
Pada tataran itu, peran dan sumbangsih pesantren dalam menumbuh-kembangkan nilai dan rasa kebangsaan pada masyarakat pesantren dan Indonesia demikian besarnya untuk negeri ini.
Memasuki abad kedua puluh, saat konsep negara-bangsa menjadi diskursus yang berkembang kuat di Nusantara, pesantren melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang dibentuknya (dalam penelitian Z M Bizawie, 2016) memutuskan tidak akan mendirikan negara Islam. Keputusan ini dinyatakan pada Muktamar NU ke-9 tahun 1935 di Banjarmasin.
Kiprah pesantren dalam menyemai dan meneguhkan rasa kebangsaan kian berkibar saat KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar Pengurus Besar NU pada 22 Oktober 1945 di Surabaya mengeluarkan Resolusi Jihad. Ditegaskan, berjuang untuk kemerdekaan Indonesia termasuk jihad wajib.
Peran kebangsaan pesantren dalam mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila bertubuh demikian nyata saat Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Pesantren melalui NU menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi.
Pancasila niscaya diterima sebagai asas organisasi dan dasar negara karena nilai-nilai Pancasila memiliki signifikansi untuk mewujudkan nilai-nilai luhur Islam, terutama keberadaannya sebagai rahmatan lil alamin. Pandangan dan sikap semacam itu yang terus dipegang teguh hingga saat ini.
Bersama Pesantren, Membangun Indonesia
Sejarah peran pesantren dalam membangun rasa dan sikap kebangsaan perlu dibaca secara utuh oleh segenap elemen bangsa. Pemerintah, umpamanya, jangan sampai salah membaca tentang sumbangsih pesantren. Steenbrink menyebutkan, di zaman penjajahan dulu, Belanda menganggap sepele keberadaan pesantren dan pendidikannya dianggap tidak begitu penting.
Kalau penjajah salah membaca pesantren, maka menguntungkan bagi negeri ini dan masyarakatnya. Namun jika pemerintah dan elemen bangsa yang salah membaca pesantren, tentu akan merugikan bangsa dan kita semua.
Terjadinya kekeliruan membaca pesantren salah satunya berpulang pada keterkecohan orang luar pesantren dalam melihat pesantren yang kental dengan nuansa kesederhanaan dalam berbagai dimensinya, dari keseharian hidup santri dan kiai hingga metode yang dikembangkan. Padahal melalui kesederhanaan itu, pesantren membangun tradisi luhur keilmuan yang menjadikan kecerdasan intelektual, spiritual-emosional dan motorik kaum santri berkembang sejalan dan seirama.
Steenbrink menyebutkan, di zaman penjajahan dulu, Belanda menganggap sepele keberadaan pesantren dan pendidikannya dianggap tidak begitu penting.
Sejarah memperlihatkan, pesantren dengan pribumisasi Islamnya mampu mengembangkan humanisme transendental yang nyaris selalu merespon dengan tepat tantangan zamannya. Islam yang dikembangkan pesantren selalu berlabuh dalam kehidupan nyata, yang demikian peduli dengan persoalan umat dan bangsa.
Karena itu, seluruh unsur bangsa, terutama pemerintah niscaya menjadikan pesantren sebagai mitra strategis dalam membangun Indonesia ke depan. Bersama pesantren, agama akan hadir untuk kemaslahatan bangsa dan sesama, dan kebahagiaan mereka di dunia ini dan di alam eskatologis.
(Abd A’la Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya; Khadim Pesantren Annuqayah Latee Sumenep)