Presiden punya modal sosial-politik besar untuk membersihkan peradilan dari praktik jual beli perkara. Jika ada kemauan, skandal perdagangan perkara dalam kasus Joko Tjandra adalah momentum terbaik untuk bersih-bersih.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Penangkapan jaksa Pinangki Sirna Malasari merupakan kesempatan terbaik bagi Presiden Joko Widodo untuk membersihkan praktik mafia peradilan.
Presiden Jokowi tidak punya beban masa lalu. Presiden punya modal sosial dan modal politik begitu besar untuk membersihkan dunia peradilan dari praktik jual beli perkara. Seandainya ada kemauan, skandal perdagangan perkara dalam kasus Joko Tjandra adalah momentum terbaik. Pembersihan pedagang perkara di dunia peradilan rasanya sejalan dengan gagasan Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Jokowi pada periode pertama pemerintahannya.
Isu mafia peradilan bukanlah barang baru dalam dunia peradilan. Akronim sinikal bahwa KUHP (kasih uang hapus perkara) menandakan praktik itu tertanam begitu dalam dalam sistem hukum kita. Kini, fakta perilaku tercela itu begitu telanjang. Tiga unsur penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan advokat, telah ditahan. Sebagaimana diberitakan, Pinangki diduga dijanjikan menerima 10 juta dollar AS atau sekitar Rp 145 miliar untuk membereskan persoalan Joko Tjandra.
Pinangki diduga telah menerima 500.000 dollar AS. Pinangki bersama advokat Anita Kolopaking sempat bertemu dengan buron Joko Tjandra di Kuala Lumpur.
Fakta perbuatan pedagang perkara itu begitu terang benderang. Perilaku itu merusak sistem hukum Indonesia. Keadilan dipermainkan dan menjadi komoditas yang diperdagangkan. Jika perilaku ini dibiarkan, akan rusaklah bangunan negara hukum Indonesia. Padahal, konstitusi menegaskan, Indonesia adalah negara hukum. Namun, apa artinya jika hukum itu ternyata bisa dibeli dengan uang.
Bangsa ini telah begitu lama berjibaku dengan mafia peradilan. Pada era Orde Baru, Presiden Soeharto membentuk Operasi Penertiban yang dipimpin Laksamana Sudomo untuk membersihkan mafia peradilan terkait dengan dugaan suap dalam persidangan kasus korupsi Budiaji di Balikpapan. Dewan Pimpinan Pusat Peradin (Perhimpunan Advokat Indonesia) memberhentikan sementara advokat Sunarto Soerodibroto (Kompas, 17 Maret 1979). Kini, hal itu berulang lagi.
Fakta perbuatan pedagang perkara itu begitu terang benderang.
Kita hargai langkah Polri menahan Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo dan Anita Kolopaking serta langkah Kejaksaan menahan Pinangki. Bagi kedua institusi itu, ini momentum membersihkan jaringan mafia. Pertanyaannya, apa mungkin? Mungkin saja, mereka adalah pemain tunggal.
Jika Presiden Jokowi mau mengambil momentum bersih-bersih, bisa dibentuk tim terpadu di bawah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk membuka secara transparan kasus itu. Mahfud mempunyai keberanian untuk itu. Semakin ditutupi, semakin dibongkar, dan itu lebih memalukan. Siapa pun yang terlibat harus minggir. Akan lebih memberikan kontribusi pada bangsa ini seandainya Prasetijo, Anita, dan Pinangki membuka saja apa yang terjadi. Yang dibutuhkan sekarang adalah kemauan politik. Publik menantikan.