Filsuf Peter Sloterdijk merekomendasikan ko-imunisme, suatu imun, pertahanan bersama dan komprehensif melawan ancaman. Kita butuh solidaritas antarpribadi, keluarga, regional, nasional dan global demi kelangsungan hidup
Oleh
Fidelis Regi Waton
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 mulanya dilihat sekadar sebagai blackout singkat dalam rutinitas hidup. Ternyata korona memperlihatkan fragilitas semua segmen sivilisasi. Fondasi koeksistensi sosial dan ekonomi diguncang. Segala sumber daya dan kapasitas dimobilisasi memerangi wabah korona, risiko eskalasi, serta akibat lanjutnya.
Korona membuat panik dan melumpuhkan. Diversitas krisis bermunculan. Krisis mulanya mencemaskan dan menakutkan. Bagi Antonio Gramsci, krisis terjadi karena yang lama mati dan yang baru belum lahir. Inilah yang sedang kita rasakan di tengah gemuruh wacana normalitas baru yang bombastis.
Krisis merupakan awal masa depan dan peluang emas munculnya pola hidup baru. Krisis tidak selamanya tragis. Ia mengandung potensi mobilisasi perubahan. Tak ada jalan kembali ke dunia sebelum korona. Langkah nostalgis itu salah kaprah. Yang berlaku let it go. Biarkanlah dunia pra-korona berlalu.
Krisis merupakan awal masa depan dan peluang emas munculnya pola hidup baru.
Manajemen krisis korona tak boleh terbatas pada langkah defensif dan tentatif. Kita mesti mengonstruksi bangunan hidup pasca-korona yang lebih tangguh dari sebelumnya demi mengantisipasi krisis berikutnya. Kita perlu cakrawala luas dalam merancang perspektif masa depan yang inovatif dan berkesinambungan. Rekonstruksi harus jadi transformasi, bukan sekadar merenovasi pola lama.
Pandemi korona adalah masa perubahan radikal. Perubahan karena bencana (change by disaster) mesti mengubah desain (to change by design) tanpa mengorbankan orientasi, tujuan, dan kualitas hidup. Mobilitas darat, laut, dan udara yang tinggi dengan risiko polusi dan emisi CO2 ternyata bisa ditengarai digitalisasi pengajaran, home-office, dan konferensi video. Social distancing tidak melahirkan isolasi sosial. Inilah jawaban bernas atas pandemi korona.
Psikologi mulai dari Jack Block dan Emmy Werner mengenal konsep resiliensi sebagai antonim kerentanan. Resiliensi memaksudkan kompetensi seseorang untuk merespons situasi sulit secara positif dan produktif.
Di tengah kesulitan, pribadi yang resiliens akan teguh, luwes, dan sanggup beradaptasi. Ia kreatif meregulasi stres dan tak kehilangan akal keluar dari kemelut. Ia bukan saja bersikap reaktif, melainkan proaktif mengatasi persoalan yang signifikan. Kendali hidup tak dilepaskannya di tengah tagihan transformasi. Wabah korona merangsang cara berpikir baru dan keberanian mengeksperimen gaya hidup lain.
Resiliensi bukan sekadar urusan privat, melainkan juga kolektif. Virus korona bukanlah sembarang infeksi, melainkan pandemi virologis. Istilah Yunani kuno pandemie berarti seluruh rakyat. Korona menyerang semua orang, terinfeksi dan tak terinfeksi. Semua terkena lockdown, shutdown, dan social distancing. Di sinilah buktinya bahwa kita semua terhubung ikatan tak kelihatan, yakni kemanusiaan kita. Tak seorang pun yang meloloskan diri dari ancaman korona tak mengenal koridor waktu dan ruang.
Virus korona tak kenal batas dan mengguncang tatanan hidup bersama. Kita semua duduk dalam perahu sama. Kita wajib tampil bersama untuk mereparasi dan membangun sistem yang antisipasif dan berdaya lentur tinggi untuk masa depan.
Filsuf Peter Sloterdijk merekomendasikan bukannya komunisme, tapi ko-imunisme, suatu imun, pertahanan bersama dan komprehensif melawan ancaman. Kita butuh solidaritas antarpribadi, keluarga, regional, nasional, dan global. Solidaritas adalah satu modal sosial yang strategis demi keberlangsungan hidup bersama.
Koimunisme masih urgen di tengah virus yang masih menagih pembatasan ruang gerak. Untuk itu, kita perlu memvaksin diri melawan racun mental egois dan mempolarisasi kemanusiaan yang satu dan sama. Koimunisme hanya terjadi dengan munculnya kesadaran etis dan bertindak secara tanggung. Apakah kita masih menghormati jarak ketika berbelanja? Apakah kita rela hanya bepergian jika urgen? Apakah kita bertanggung jawab atas kesehatan orang lain?
Virus korona tak kenal batas dan mengguncang tatanan hidup bersama.
Kebebasan individu mengandaikan kebebasan umum. Kesadaran ini sangat berharga. Ekspansi virus korona hanya diredakan oleh solidaritas dan tanggung jawab sosial. Jika setiap orang egois dan berbuat semaunya, kerugian akan lebih besar dan malapetaka berlangsung lama. Inilah salah kaprah dalam memahami kebebasan.
Pandemi virologis merupakan ujian bagi solidaritas dan komitmen kemanusiaan. Kita butuh pandemi filosofis. Entah sehat atau sakit, maju dan kolot, beragama dan ateis, kita semua sangat rentan. Kita saling membutuhkan konstelasi kohesi humanis.
Resiliensi dan koimunisme dimulai dengan sikap fair dan realistis. Sehoror apa pun pandemi, ia mesti diterima dalam alur hidup alamiah. Virus korona mengingatkan, terlepas dari teknologi modern, kualitas higienis, dan lingkungan steril, kita tetap bagian esensial dunia organik.
Kita bukan hanya hidup dengan virus dan bakteri, kita juga bertahan hidup melalui mereka. Lazimnya dalam evolusi, demi survival of the fittest (kelanggengan hidup), kita ditagih beradaptasi. Korona menantang kompetensi intelek dan teknologi agar kita tetap eksis.
Resiliensi berarti tumbuh dalam krisis. Sama seperti sistem kekebalan tubuh hanya berkembang ketika berhadapan dengan virus, bakteri, dan kotoran, koimunisme dan solidaritas juga membutuhkan gangguan untuk berkembang.
Fidelis Regi Waton, Pengajar Filsafat di Sankt Augustin, Jerman.