Parpol merupakan komponen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegera. Karena itu, kaderisasi menjadi penting guna memastikan kualitas partai.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Jika kaderisasi gagal, parpol akan dikuasai oleh pengurus yang bermental pekerja politik, yang menjadikan parpol tak lebih dari tempat bekerja mencari jabatan.
Lebih dari delapan tahun lalu, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (saat itu) Komaruddin Hidayat mengingatkan pentingnya kaderisasi di partai politik melalui tulisannya berjudul ”Kegagalan Kaderisasi Parpol” di harian ini (Kompas, 9/7/2012). Jabatan teras parpol mesti diisi politisi yang bermental negarawan untuk memajukan rakyat dan bangsa melalui instrumen partai. Namun, menjelang pemilu dan pilkada, kita merasakan parpol miskin kader yang berintegritas dan brilian untuk mengatur bangsa ini.
Bukan hanya Komaruddin, sejumlah cendekiawan politik di negeri ini menyoroti kegagalan partai melakukan kaderisasi pula. Padahal, seperti diingatkan Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Indonesia Miriam Budiardjo dalam buku Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai (Gramedia Pustaka Utama, 1981), salah satu dari enam fungsi parpol adalah perekrutan politik. Ilmuwan politik lain menyebut perekrutan politik sebagai kaderisasi, yakni partai mencari anggota baru atau mengajak orang lain berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik, termasuk dalam bidang pemerintahan.
Sebelumnya, Indonesia terdiri dari sejumlah kerajaan. Namun, sejak awal kemerdekaan, negeri ini dibangun dengan sistem dan kaidah demokrasi. Konsekuensinya, keberadaan parpol adalah keniscayaan. Tiada demokrasi tanpa parpol. Suka tak suka, partai menjadi salah satu sumber kepemimpinan publik dan pembuat kebijakan. Padahal, partai dibentuk tak lepas dari kepentingan politik pendirinya.
Hari Minggu (9/8/2020), harian ini menurunkan berita utama hasil Kongres Luar Biasa Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di Jakarta yang kembali memilih Prabowo Subianto. Kemunculan Prabowo lagi, yang adalah pendiri partai itu, kian melengkapi kondisi parpol di Indonesia yang tak bisa lepas dari bayang-bayang pendiri atau keluarga pendiri. Ada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, Partai Demokrat yang kini dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono, dan Partai Amanat Nasional yang kembali dipimpin Zulkifli Hasan. Partai baru atau partai lama tak juga beranjak dari ketergantungan pada orang-orang lama.
Partai melayani pendiri dan keluarganya atau pejabat, bukan masyarakat.
Tak ada yang salah jika partai mengandalkan figur pendiri atau keluarga pendiri untuk memimpin partai, atau mengisi jabatan publik. Namun, kelemahan kaderisasi ini terasa nyata, seperti diingatkan Komaruddin, saat menjelang pemilu atau pilkada seperti tahun ini. Calon yang tiba-tiba muncul, tetapi mempunyai kedekatan dengan pimpinan partai atau pimpinan nasional bisa menggeser kader yang merangkak dari bawah.
Kader ”jenggot” diutamakan, apalagi diikuti kalkulasi akan menang dalam pemilu atau pilkada. Partai melayani pendiri dan keluarganya atau pejabat, bukan masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan apatisme publik kepada partai dan demokrasi. Kaderisasi tak boleh berhenti atau jalan di tempat. Keberadaan partai memang dibutuhkan sepanjang usia negeri ini.