Memperluas Pemahaman Viktimisasi Anak
Riset di bidang biologi dan neurologi terkait kekerasan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pengalaman traumatik pada masa kanak-kanak punya dampak serius dan jangka panjang karena mampu mengubah arsitektur otak dan DNA.
Selama bertahun-tahun, kita berkutat dengan angka kekerasan terhadap anak yang diambil dari angka kejadian kekerasan antara anak dan pengasuhnya, yaitu orangtua dan orang dewasa di sekitar anak sesuai definisi Child Abuse dari laporan WHO (Child Abuse Prevention, 1999).
Disebutkan di situ, ”Child abuse or maltreatment constitutes all forms of physical and/or emotional ill-treatment, sexual abuse, neglect or negligent treatment or commercial or other exploitation, resulting in actual or potential harm to the child to the child’s health, survival, development or dignity, in the context of a relationship of responsibility, trust or power”.
Definisi di atas mengandung konteks hubungan dengan orang dewasa yang bertanggung jawab, dipercaya, atau, mempunyai kekuasaan dalam struktur masyarakat. Definisi ini diadopsi sebagian atau seluruhnya oleh sejumlah negara yang mempunyai undang-undang (UU) perlindungan anak.
Indonesia tidak mempunyai definisi yang spesifik, kecuali pasal-pasal yang menghukum berbagai tindakan yang merugikan anak.
Di Filipina dan AS, definisinya ditambah dengan kriminalisasi terhadap ”kegagalan bertindak” atau ”failure to act” ketika ada kondisi yang diketahui mengancam kesejahteraan dan hidup anak. Indonesia tidak mempunyai definisi yang spesifik, kecuali pasal-pasal yang menghukum berbagai tindakan yang merugikan anak.
Riset di bidang biologi dan neurologi terkait kekerasan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pengalaman traumatik pada masa kanak-kanak mempunyai dampak serius dan jangka panjang karena mampu mengubah arsitektur otak dan memengaruhi perubahan genetik DNA (Danese, McEwen (2012) dan berasosiasi dengan penyebab kematian orang dewasa (Hills, Mercy, Amobi& Kress, 2016).
Baca juga : Jaga Anak-anak Indonesia
Karena itu, komunitas global menentukan pengakhiran dari berbagai bentuk kekerasan, salah perlakuan, dan penelantaran anak sebagai Target 16.2 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang harus dicapai pada 2030.
Cita-cita ini tidak akan tercapai jika definisi kekerasan, perlakuan salah, dan penelantaran anak dilandaskan atas apa yang telah ada dalam dokumen PBB ataupun dalam kepustakaan ilmiah.
Baca juga : Lindungi Anak-anak Kita
Salah satu kendala dari definisi yang ada adalah masuknya unsur norma yang mengakibatkan tindakan itu dapat diterima oleh komunitas dan oleh karena itu dianggap tidak bermasalah bagi anak karena menjadi bagian dari tumbuh kembangnya (Finkelhor, 2007).
Banyak sekali tradisi masyarakat yang menghalalkan pemukulan dan hukuman yang berbahaya bagi anak. Sunatan perempuan dan mutilasi genital, pengorbanan anak dalam ritual keagamaan, pengasuhan alternatif yang berujung pada eksploitasi, dan lain-lain ditemukan di berbagai komunitas di dunia dan terbebas dari hukum.
Dalam kancah politik Indonesia, anak-anak kita sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik sempit yang membahayakan kesehatan fisik dan mental, serta kesejahteraan mereka tanpa ada yang tersentuh hukum.
Di samping itu, aktor-aktor nonmanusia, seperti institusi adat, partai politik, dan negara sering tidak diperhitungkan. Padahal, anak yang menjadi korban UU Pengadilan Anak No 3 Tahun 1997, yang menetapkan usia tanggung jawab kriminal delapan tahun, entah telah berapa ribu anak. Ini pun masih diteruskan dengan UU Sistem Peradilan Anak No 11 Tahun 2012 yang saat ini berlaku dan dapat memberikan sanksi pidana ada anak usia 12-18 tahun (Pasal 1 Ayat 3).
Di samping itu, aktor-aktor nonmanusia, seperti institusi adat, partai politik, dan negara, sering tidak diperhitungkan.
Demikian juga anak perempuan yang menjadi korban UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang telah berlangsung selama 45 tahun. Di banyak negara juga terdapat bukti bahwa anak direkrut sebagai kombatan dalam konflik bersenjata tanpa konsekuensi hukum yang berlaku.
Pembangunan manusia
Argumen yang diadopsi oleh pendukung SDGs 2015-2030 bukan lagi persoalan hukum dan implementasinya, melainkan persoalan hukum, keadilan sosial, kesehatan, dan kesejahteraan manusia yang menjadi pilar-pilar pembangunan kualitas sumber daya manusia. Indikatornya adalah bukti-bukti ilmiah empirik yang dapat diukur dan direplikasi.
Berdasarkan rasional ini, Hills dan kawan-kawan (2016) melakukan kajian meta analisis dengan memperluas definisi mengenai kekerasan. Selain definisi yang telah ada, mereka juga menambahkan definisi berbagai bentuk viktimisasi pada individu di masa kanak-kanak yang dilakukan oleh sesama manusia atau oleh entitas institusi. Dari ribuan penelitian yang dianalisis dan data dari 96 negara, akhirnya ditemukan 38 artikel yang sesuai dengan kriteria inklusinya dalam mendefinisikan kekerasan.
Baca juga : Pandemi Ancam Kesehatan Ibu dan Anak
Hasilnya, yang dilaporkan dalam artikel ”Global prevalence of past-year violence against children: A systematic review and Minimum Estimates” (Pediatrics, Vol 1137(3), cukup mengejutkan. Prevalensi minimum kekerasan di tahun lalu pada anak usia 2-14 tahun terjadi pada 60 persen anak (Amerika Utara 60 persen, Amerika Latin 60 persen, Eropa 70 persen, Asia 80 persen, dan Afrika 80 persen).
Secara global diperkirakan lebih dari 1 miliar anak menjadi korban berbagai bentuk viktimisasi dan kekerasan. Laporan WHO (2020), merefleksikan penelitian tersebut, menyatakan sebagai berikut.
Secara global, satu di antara dua anak usia 2-17 tahun mengalami pengalaman buruk karena perlakuan salah dan kekerasan. Sekitar 300 juta anak usia 2-4 tahun mengalami cara pendisiplinan yang mengandung kekerasan. Sepertiga anak usia 11-15 tahun mengalami perundungan dari teman-teman sebayanya sebulan yang lalu. Lebih dari 120 juta anak perempuan menderita karena kontak seksual yang dipaksakan sebelum berusia 20 tahun.
Satu dari tiga anak di dunia mengalami kekerasan emosional, satu dari empat anak hidup dengan ibu yang menjadi korban kekerasan dalam hubungan intim. Tidak kurang dari 40.150 anak merupakan korban pembunuhan di tahun 2017. Angka pembunuhan anak usia 0-17 tahun di dunia saat ini adalah 1,7 per 100.000 penduduk (anak laki-laki 2,4 dan perempuan 1,1). Semua ini diperburuk oleh dampak Covid-19 (sumber: WHO, Global Status Report on Preventing Violence Against Children 2020)
Satu dari tiga anak di dunia mengalami kekerasan emosional, satu dari empat anak hidup dengan ibu yang menjadi korban kekerasan dalam hubungan intim.
Implikasi pada kebijakan
Kebijakan nasional kita saat ini banyak dilandaskan pada perjanjian internasional yang telah diratifikasi, seperti The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), The Committee on the Rights of the Child (CRC), dan COT.
Meskipun demikian, kebijakan publik kita masih mengalami blind-spot ketika aktor-aktor institusional (termasuk lembaga adat) dan negara menjadi pelaku utamanya. Bahkan, dalam upaya pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ada upaya untuk menginkorporasi norma-norma masyarakat yang hidup sebagai bagian dari UU ini.
Baca juga :Memastikan Perkembangan Anak di Tengah Pandemi
Jika itu terjadi, berapa banyak anak yang akan menjadi korban pendisiplinan, praktik kultural yang merugikan anak, dan berbagai viktimisasi anak atas nama adat dan agama? Jika kita berkomitmen pada Target 16.2 SDGs 2030, kita perlu melihat pada tataran akibat atau dampak, bukan sekadar tataran konteks.
Jika pemerintah dan masyarakat percaya bahwa setiap anak Indonesia dapat menjadi anak terbaik di dunia, menjadi pemimpin, juara, dan game changer dunia, kita juga harus sepakat untuk menghentikan semua perlakuan buruk dan segala bentuk viktimisasi terhadap anak Indonesia. Bermimpikah kita dan anak-anak kita? Atau, kita benar-benar yakin dapat mencapai target itu seperti yang diharapkan oleh anak-anak kita.
Saya yakin kita mampu mencapai sasaran pembangunan tersebut dengan bekerja keras dan bekerja sama dan mementingkan kepentingan terbaik anak-anak kita.
Irwanto, Guru Besar Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.