Covid-19 yang awalnya seperti penyakit kelas ”elite” karena menjangkiti warga yang berurusan dengan atau memiliki akses keluar negeri dan pergaulan urban kelas menengah atas kini telah menjadi penyakit yang ”merakyat”.
Oleh
Wihana Kirana Jaya
·5 menit baca
Perubahan sosial yang menyangkut norma/kebiasaan butuh waktu relatif lama atau bahkan jangka panjang. Hal ini sejalan dengan analisis 4 level institusional yang dikembangkan Profesor Williamson dari AS, co-recipient Nobel Ekonomi 2009 yang meninggal Mei lalu. Analisis Williamson ini pun sejalan dengan pemikiran Douglas C North, co-recipient Nobel Ekonomi 1993, dalam bukunya Institutional Change and Economic Performance (1990).
Implikasinya, pada tingkat komunitas, akulturasi new normal (adaptasi kebiasaan baru/AKB), memerlukan percepatan, pemantauan, sosialisasi, dan enforcement atau minimal persuasi secara terus-menerus. Pada tingkat korporasi, untuk penerbangan, misalnya, maskapai perlu mengembangkan manajemen proses bisnis berbasis protokol kesehatan untuk kualitas layanan yang nyaman, aman, dan meyakinkan bagi para penumpang, sesuai dengan Surat Edaran (SE) Dirjen Perhubungan Udara No 13/2020.
Proses bisnis ini melibatkan divisi-divisi perencanaan, marketing, operasi penerbangan, maintenance/engineering, dan lainnya. Demikian pula, operator commuter line, kereta api jarak jauh, MRT, busway, dan pelayaran perlu mengembangkan proses bisnis serupa.
Sektor transportasi memegang peran krusial baik dalam pengendalian pandemi maupun pertumbuhan (sosial) ekonomi. Di Selandia Baru, ketika lockdown nasional diberlakukan, transportasi publik (kereta, bus, feri) digratiskan, tapi terbatas untuk mereka yang bekerja di sektor esensial, untuk alasan medis, dan ke supermarket.
Sektor transportasi memegang peran krusial baik dalam pengendalian pandemi maupun pertumbuhan (sosial) ekonomi.
Di Indonesia, seperti di DKI, ketika diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), cukup banyak sektor yang masih diizinkan beroperasi, termasuk sektor non-esensial, seperti konstruksi, perhotelan, dan industri. Commuter line, MRT, LRT, busway, bus, dan angkot masih diizinkan dengan pembatasan maksimum 50 persen kapasitas. Ojol hanya boleh antar barang.
Korporatif vs rakyat
Bagi penumpang dan operator KRL, MRT, busway, kereta jarak jauh, pesawat, bus antarkota Damri, dan kapal Pelni atau ”transportasi korporatif”, aturan main AKB sudah jelas. Operator yang sebagian besar BUMN, punya sumber daya memadai, untuk mengeksekusi aturan maupun rule enforcement terhadap penumpang.
Namun, tak demikian dengan angkutan perkotaan yang jumlahnya ribuan di pinggiran Jabodetabek yang beroperasi lintas wilayah kabupaten/kota dengan penumpang beraneka ragam, seperti ibu rumah tangga, pedagang pasar, dan warga lainnya. Pemda mungkin tak memiliki sumber daya cukup untuk menegakkan protokol kesehatan terhadap pemilik, sopir, maupun penumpang.
Dari sisi masyarakat, ketakpatuhan pada protokol kesehatan sebagai budaya/tatanan baru disebabkan beberapa faktor. Pertama, perilaku/ budaya hidup kurang sehat (dilihat dari sudut pandang protokol kesehatan dan pola hidup bersih dan sehat/ PHBS), yang sudah tertanam turun-temurun sulit cepat berubah, apalagi jika tak ditunjang upaya sosialisasi dan enforcement memadai.
Kedua, keterbatasan akses terhadap masker, penyanitasi tangan, disinfektan, karena ketersediaannya tak merata di setiap kecamatan, khususnya di daerah pinggiran dan perdesaan. Ketiga, biaya penyediaan masker, penyanitasi tangan, dan disinfektan cukup memberatkan bagi sebagian warga, khususnya yang berpenghasilan rendah di daerah pinggiran/perdesaan, dan terlebih di masa pandemi, tingkat kemiskinan dan pengangguran naik drastis akibat PHK.
Keempat, keterbatasan akses terhadap air bersih. Masih banyak rumah tangga belum mengakses air bersih dari rumahnya sendiri untuk sering-sering cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, khususnya di daerah pinggiran dan perdesaan.
Juga masih cukup banyak komunitas yang percaya Covid-19 tak ada (di daerahnya), dan di komunitas dengan kohesi sosial kuat, pembatasan jarak fisik berbenturan dengan norma sosial lokal, sehingga sulit membudayakan protokol kesehatan, termasuk penggunaan masker (faktor altruisme).
Dari sisi masyarakat, ketakpatuhan pada protokol kesehatan sebagai budaya/tatanan baru disebabkan beberapa faktor.
Realitas sosial seperti itulah yang melatarbelakangi sebagian besar pengguna transportasi ”rakyat”, seperti angkutan perkotaan/perdesaan, bus ekonomi, dan ojek. Protokol kesehatan juga sangat sulit diterapkan di pasar-pasar tradisional. Hal ini senada dengan pengamatan Presiden Jokowi ketika berkunjung ke Jawa Timur 25 Juni bahwa 70 persen masyarakat tidak menggunakan masker.
Celakanya, Covid-19 yang awalnya seperti penyakit kelas ”elite” karena menjangkiti warga yang berurusan dengan atau memiliki akses keluar negeri dan pergaulan urban kelas menengah atas telah menjadi penyakit yang ”merakyat”, hingga menjangkiti para pedagang/pelanggan pasar tradisional dan warga permukiman kumuh yang juga merupakan pengguna ”transportasi rakyat”.
Fakta dualisme sosial-ekonomi ini mengingatkan pada pengembang awal konsep, Julius Herman Boeke, dari Belanda. Guru Besar Universitas Leiden ini menulis konsep dualisme dalam bukunya Dualistische Economie (1930) dan Economics and Economic Policy of Dual Societies, as Exemplified by Indonesia (1953).
Memilih strategi mitigasi moderat dalam pengendalian Covid-19 dapat berarti risiko atau celah eskalasi Covid-19 tetap terbuka ketika sense of crisis tak cukup signifikan, tingkat disiplin masyarakat relatif rendah, dan enforcement tak memadai. Hiruk-pikuk dibukanya kembali mal, bioskop, restoran, dan tempat hiburan menyongsong AKB diikuti munculnya kluster-kluster baru penyebaran Covid-19.
Presiden akhirnya memberi peringatan lampu merah dalam pengendalian Covid-19 baru-baru ini. Sebelumnya, Presiden menyentil sense of crisis dan kinerja kabinet karena angka serapan anggaran penanganan Covid-19 sedemikian kecil. Untuk meningkatkan koordinasi, pemerintah merombak kelembagaan dengan membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi berdasar Keppres No 9/2020.
Maka, pemerintah dan pemda perlu bekerja sama dalam (re)sosialisasi dan (re)-enforcement protokol kesehatan dan pembatasan sosial/fisik, bahwa pandemi belum usai, bahkan tak tertutup kemungkinan muncul gelombang kedua. Gerakan nasional memasifkan kembali disiplin protokol kesehatan dan memasifkan 3T (testing, tracing, treatment) yang dicanangkan Presiden, 13 Juli lalu amat tepat.
Mekanisme reward & punishment perlu diterapkan, misalnya pengenaan denda bagi yang tak memakai masker di ruang publik, termasuk angkutan umum. Mekanisme sama juga diterapkan pada operator (korporasi) transportasi yang melanggar aturan main AKB.
Wihana Kirana Jaya, Guru Besar FEB UGM dan Staf Khusus Menteri Perhubungan.