Susastra terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah bagian yang sah dari susastra Indonesia, sebagaimana Kakawin Bhāratayuddha yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada abad ke-12, sahih sebagai susastra Jawa Kuna
Oleh
SENO GUMIRA AJIDARMA
·4 menit baca
Susastra terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah bagian yang sah dari susastra Indonesia, sebagaimana Kakawin Bhāratayuddha yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada abad ke-12, sahih sebagai susastra Jawa Kuna, dan bukan susastra Sanskerta. Dalam khazanah susastra terjemahan Indonesia, terdapat setidaknya dua kali alih bahasa dari buku yang sama, yakni kumpulan cerita pendek Lu Xun (1881-1936) berjudul Teriak (Ha Na).
Terjemahan pertama dilakukan Shannu dari bahasa Mandarin berjudul Pilihan Tjerpen (Yayasan Kebudayaan Sadar, 1963). Terjemahan kedua oleh Nur Rachmi dan Rasti Suryandani, kemudian disunting Sapardi Djoko Damono dari terjemahan bahasa Inggris berjudul Catatan Harian Seorang Gila (Yayasan Obor Indonesia, 1989). Bukan satu-satunya, tetapi bukan tanpa sebab jika dalam 26 tahun teks yang sama diterjemahkan dua kali.
Peradaban kanibal
Cerita pertama dalam Teriak ini, ”Catatan Harian Seorang Gila”, selesai ditulis pada April 1918, bermakna penting tidak hanya karena merupakan cerita pertama yang ditulis Lu Xun, tetapi juga menjadi prosa modern pertama dalam susastra Tiongkok modern. Sebagai perintisnya, konteks Lu Xun tentu menggugat dunia lama, yakni feodalisme, dan bersama itu susastra klasik Tiongkok dengan standar moral dan bentuknya yang mapan.
Tampak seperti satire, Lu Xun tidak menghindar agar maknanya sampai seperti yang dimaksud dengan ”fakta”: ”Tempat orang sering makan orang selama 4.000 tahun, baru sekarang kumaklumi. Dan aku sendiri telah bercampur gaul di dalamnya selama 20 tahun”.
Orang makan orang. Apakah ini hiperbolis untuk menunjukkan khalayak Tiongkok masa itu yang korup? Namun, selanjutnya: ”Baru saja abangku memegang urusan rumah tangga, adikku kebetulan mati. Tak mustahil, jika dagingnya dicampurkannya ke dalam lauk-pauk dan diam-diam diberikan kepada kami”.
Sarkasme? Dari kedua buku itu, terlacak Lu Xun secara tak langsung menunjuk fakta sejarah: (1) Buku resep Li Shizen (1518-1593), Tentang Ramuan (Ben-coa-gang-mu), yang mencantumkan bahwa daging manusia dapat digoreng dan dimakan; (2) Kutipan kitab kuna Zo Zhuan bahwa penjahat bukan saja pantas dibunuh, bahkan semestinya ”dagingnya dimakan dan kulitnya dibikin seprai”; (3) Juru masak ulung Yi Ya menjerang anak laki-lakinya sendiri, memberikannya kepada Huan dari Chi yang berkuasa pada 685-643 SM (Lu Xun keliru menyebut tiran lain) karena rajanya itu ingin tahu rasa daging bayi; (4) Xu Xilin, tokoh pembangkang masa Dinasti Qing (1644-1911) yang dihukum mati pada 1907, jantung dan hatinya dimakan; (5) Ada kepercayaan, darah manusia bisa menyembuhkan TBC, seusai hukuman mati algojo menjual roti kukus yang dicelupkan darah terhukum (Lu, 1989: 16-7; Lu, 1963: 28, 32).
Orang gila dalam cerita ini berpikir paling jernih karena memang sudah sembuh. Namun, segenap ingatannya merekam bagaimana sikap khalayak: ”Sebagai pemakan manusia mereka mampu melakukan apa saja. Jika mereka memakanku, mereka juga akan memakanmu; setiap anggota dalam satu kelompok dapat saling memangsa. Namun, jika kau segera mengubah sikapmu, maka semua orang akan mendapat kedamaian”.
Dalam kalimat itu, peradaban kanibal dapat diubah, tetapi bagaimana dengan kalimat berikut? ”Ada yang menganggap sudah selayaknya makan orang. Sebagian lagi sebenarnya tidak ingin memakan daging manusia, tetapi mereka berusaha memakannya: karena mereka takut jika orang-orang mengetahui rahasia mereka….”
Paradoks ini menjelaskan mengapa korupsi, ketika menjadi sistemik, sulit dihapuskan, karena korupsi juga dilakukan orang yang tidak ingin korupsi, agar sikap itu tetap menjadi rahasia. Adakah yang bisa lebih absurd dari ini? Lu Xun mulai menulis susastra modern seiring dengan pasang naik nasionalisme di Tiongkok. Tidak mengherankan jika sarkasme orang makan orang tertuju kepada situasi sosial dalam pembusukan feodalisme, yang memang belum berakhir dengan tamatnya Dinasti Qing pada 1912.
Namun, sebagai terjemahan, yang juga berarti adaptasi, gagasan ”orang makan orang” ini, dalam bahasa sasaran mengalami reartikulasi, yakni sebagai gugatan kepada situasi tempat bahasa sasaran ini digunakan. Artinya, di Indonesia, yang menjadi tergugat adalah situasi sosial politik pada tahun penerbitan setiap buku itu. Oleh karena itu, bukanlah sekadar gaya susastra Lu Xun yang menjadi catatan, melainkan juga situasi sosial politik Indonesia tahun 1963 dan 1989.
Konteks Indonesia
Dalam konteks Indonesia, angka tahun itu menunjuk keberadaannya dalam dua periode sejarah kontemporer, yakni pra-Orde Baru dan Orde Baru.
Apakah maknanya? Pertama, sepakati dulu bahwa makna terkonstruksi artikulasi, yang terekspresikan dalam konteks, momen historis, dan wacana tertentu (Volosinov, 1973). Kedua, karena ekspresi terkondisikan konteks, artikulasi ”orang makan orang” yang ditulis Lu Xun tahun 1918, dalam terjemahan 1963 dan 1989 mengalami reartikulasi dengan konteks pra-Orde Baru dan Orde Baru.
Dengan begitu maknanya adalah: meskipun secara ideologis bertentangan, kedua periodisasi politik ini menghasilkan ekses fenomenal yang sama, yakni situasi ”orang makan orang”. Catatan ini sendiri, sebagai artikulasi tahun 2020 semasa pasca-Reformasi, celakanya masih bisa terhubungkan dengan fenomena sejenis. Memang bukan kanibal, melainkan tetap kanibalisme!