Bagi saya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan untuk memaki kekuasaan dan para pelakunya tetapi justru ketika ia bisa bersahabat dengan kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter.
Oleh
Manuel Kaisiepo
·3 menit baca
In memoriam Prof Dr Cornelis Lay, MA
Awal tahun lalu, sebagai sahabat saya datang ke Yogyakarta memenuhi undangannya. Hari itu, 6 Februari 2019, memang adalah momen istimewa baginya yang telah memilih dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, memilih menjadi dosen, sebagai panggilan hidupnya. Hari itu, dia dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM): Profesor Doktor Cornelis Lay, MA.
Bersama ratusan tamu lainnya yang memenuhi Balairung UGM, saya yang duduk bersebelahan dengan Mas Trias Kuncahyono (mantan Wapemred Kompas) menyimak dengan serius pidato pengukuhan yang tengah disampaikan Bung Conny (panggilan akrab Cornelis Lay).
Pidato pengukuhan Guru Besar yang disampaikan putra Sabu Raijua, NTT, ini berjudul ”Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan”.
Menurut Conny, jalan ketiga mengharuskan kehadiran intelektual dalam praksis rutin kekuasaan. Jalan ketiga ini menekankan voluntarisme dalam politik.
”Bagi saya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan untuk memaki kekuasaan dan para pelakunya, tetapi justru ketika ia bisa bersahabat dengan kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual: berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan,” kata Bung Conny.
Hal itu dikemukakan karena, menurut Conny, banyak intelektual terjangkit sindrom superioritas yang secara keliru mengira dirinya unggul secara intelektual dan moral di hadapan kekuasaan.
Maka, jalan ketiga yang ditawarkan Conny adalah masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel, dengan menempatkan kemanusiaan sebagai motif pokoknya.
Tema pokok pidato pengukuhannya itulah yang kemudian digunakan teman dan para koleganya untuk menerbitkan sebuah buku untuk menghormatinya. Buku itu berjudul Intelektual Jalan Ketiga: Pemikiran Cornelis Lay tentang Demokrasi, Desentralisasi, Nasionalisme, dan Reformasi Keamanan (KPG, 2019).
Prolog buku ini ditulis oleh Prof Dr Pratikno (Mensesneg, mantan Rektor UGM dan koleganya di Fisipol UGM), sedangkan epilognya ditulis oleh Dr Daniel Dhakidae, seniornya yang juga alumnus Fisipol UGM.
Cornelis Lay kelahiran 6 September 1959, sejak menyelesaikan studi S1-nya tahun 1987, langsung mengajar di almamaternya, Departemen Pemerintahan Fisipol UGM.
Setelah selesai studi S-2 di Kanada, dia meraih gelar doktor di UGM pada 24 Oktober 2015, dengan disertasi berjudul ”Tautan Politik Organisasi Massa Sipil dan Parlemen di Indonesia: Studi Kasus Tautan Politik dalam Pembuatan UU Pornografi, UU Pemerintahan Aceh, dan UU Pertahanan Negara”.
Sejalan dengan sikap dan pandangan keilmuannya dalam pidato pengukuhannya tentang posisi intelektual dan kekuasaan, Cornelis Lay secara fleksibel masuk dan keluar kekuasaan sebagai penasihat politik dan pemerintahan pada era Presiden Megawati dan Presiden Jokowi.
Sayangnya, gangguan penyakit jantung yang sudah lama dideritanya membuat Bung Conny tidak bisa berperan aktif atau maksimal. Namun, dalam kondisi tubuh yang demikian, dia tetap setia menjalani panggilan hidupnya sebagai ilmuwan sekaligus dosen, menjadi guru bagi banyak generasi baru ilmuwan politik Indonesia.
Hari Rabu (5/8/2020) dini hari, Prof Dr Cornelis Lay berpulang, kembali ke haribaan Sang Maha Pencipta. Selamat jalan Bung Conny!