Perempuan kepala keluarga punya peran ganda, sebagai pencari nafkah dan pengelola rumah tangga. Namun, sebagian besar dari mereka malah terpinggirkan.
Oleh
Editor
·3 menit baca
Perempuan kepala keluarga punya peran ganda, sebagai pencari nafkah dan pengelola rumah tangga. Namun, sebagian besar dari mereka malah terpinggirkan.
Mereka miskin, berpendidikan rendah, bahkan tak terdata, sehingga tidak tersentuh program pemerintah. Jumlahnya terus meningkat, rata-rata 0,1 per tahun, sesuai Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, sebanyak 10,3 juta rumah tangga (15,17 persen). Sebagian besar di bawah garis kemiskinan, yang berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, tingkat keparahan kemiskinannya lebih buruk daripada rumah tangga dengan laki-laki kepala keluarga.
Sekitar 68 persen perempuan kepala keluarga (pekka) berpendidikan SD, bahkan tidak memiliki ijazah (42,57 persen). Dengan kondisi seperti ini, ditambah konstruksi sosial dan budaya di masyarakat yang masih patriarki, akses ekonomi untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga menjadi sangat terbatas.
Mereka seharusnya diprioritaskan dalam program bantuan sosial pemerintah, terutama di masa pandemi Covid-19. Namun, kenyataannya banyak yang terlewat. Sesuai survei Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas (SPKBK) Pekka pada 2012, akses mereka pada program perlindungan sosial dan pengentasan rakyat miskin masih terbatas.
Sistem pendataan berbasis rumah tangga seperti survei BPS memungkinkan ada keluarga yang tak terdata, biasanya keluarga di dalam rumah tangga, misalnya pekka yang tinggal bersama orangtuanya. Mereka menjadi kelompok miskin tersembunyi, yang lalu tak tersentuh program pengentasan rakyat miskin dari pemerintah. Menjangkau pekka akan lebih tepat sasaran jika sistem pendataannya berbasis keluarga. Sistem ini lebih sensitif jender, mudah dipadukan dengan basis data kependudukan di tingkat lokal, dan memungkinkan identifikasi keluarga-keluarga di dalam rumah tangga.
Terbukti, survei SPKBK-Pekka berbasis keluarga pada 2012 di 111 desa (17 provinsi) menunjukkan jumlah keluarga dengan perempuan kepala keluarga mencapai 25,1 persen. Angka ini lebih tinggi dari hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial pada 2011 di 109 desa yang sama (13,5 persen) dan survei BPS pada 2011 (14,3 persen), yang berbasis rumah tangga.
Ke depan, perlu ada pendataan berbasis keluarga yang menghasilkan data tunggal rumah tangga dengan perempuan sebagai kepala keluarga.
Permintaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi agar pemerintah desa mendata dan memastikan perempuan kepala keluarga menerima Bantuan Langsung Tunai Dana Desa memang bisa menjadi solusi pada masa pandemi ini. Ke depan, perlu ada pendataan berbasis keluarga yang menghasilkan data tunggal rumah tangga dengan perempuan sebagai kepala keluarga.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga perlu ditinjau. UU yang tecermin di seluruh sistem sosial, ekonomi, dan politik ini meminggirkan dan mendiskriminasi perempuan karena mereka tak diakui sebagai kepala keluarga. Keberpihakan dalam peraturan akan membantu memberdayakan pekka, baik secara ekonomi maupun sosial. Memberdayakan mereka juga berarti memberdayakan keluarganya.