Semua pengampu kepentingan food estate di Kalteng perlu samakan persepsi, buang jauh egosektoral, cerdas ambil pelajaran dari banyak kegagalan serupa, dan bergotong royong mewujudkan ketahanan pangan berkesinambungan.
Oleh
Suwidi Tono
·6 menit baca
Presiden Jokowi (9/7/2020) mencanangkan pembukaan sentra lumbung pangan (food estate) nasional di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, dan Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Langkah ini ditempuh untuk mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19 dan ketidakpastian musim. Luas lahan yang digarap tahun 2020 mencapai 30.000 hektar dari target 148.0000 hektar sampai 2022.
Program ini beroleh catatan kritis dari para ahli menyangkut kelayakan teknis, sosial, dan ekonomi dengan mengambil pelajaran kegagalan proyek pencetakan sawah sejuta hektar tahun 1995 di lokasi berdekatan. Juga proyek Merauke Integrated Rice Estate sejak 2006 dengan target ambisius 2,5 juta hektar di Papua. Lewat studi, pendampingan, dan analisis mikro, saya pernah menguraikan kisah pilu yang melingkupi warga desa eks transmigrasi 1983 di Pulang Pisau itu dalam berinteraksi dengan sistem pertanian modern.
Kelayakan teknis
Keputusan pemerintah mengembangkan sentra produksi pertanian ke lahan suboptimal (rawa pasang surut dan nonpasang surut, lahan gambut, tadah hujan, dan lahan kering) memiliki alasan kuat. Argumentasinya cukup rasional: alih fungsi lahan pertanian terus meningkat, terutama di Jawa, biaya input untuk meningkatkan produktivitas semakin tinggi (leveling-off) akibat intensifikasi kencang beberapa dekade yang berakibat merosotnya kesuburan tanah, dan konsolidasi lahan untuk optimalisasi produksi sukar berjalan karena skala pemilikan per rumah tangga petani tak mendukung.
Langkah ini ditempuh untuk mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19 dan ketidakpastian musim.
Pilihan keluar Jawa ini agaknya erat kaitannya dengan kegagalan reforma agraria dari rezim ke rezim, ketidaktepatan skema kebijakan untuk membantu dan memberdayakan 70 persen petani kecil berlahan sempit yang menyokong ketahanan pangan nasional, dan ketidaksiapan teknologi dan SDM mengolah ekstensifikasi secara masif. Pembangunan lumbung pangan skala besar boleh jadi akan mendorong produksi pangan, tetapi belum menjawab problem pokok pertanian, yakni kecenderungan kuat guremisasi dan marjinalisasi petani.
Menggarap lahan pertanian suboptimal di luar Jawa tentu perlu mempertimbangkan secara cermat kelayakan teknis dan ekonomis karena berisiko tinggi. Aspek kelayakan teknis mencakup enam variabel penting.
Pertama, saluran irigasi primer; sekunder; tersier; dan tata air mikro beserta distribusinya, yakni pintu air pembagi, harus didesain sesuai kebutuhan agar memenuhi beberapa tujuan, seperti untuk pencucian kandungan aluminium sulfat dan penggenangan untuk perbaikan kualitas tanah dengan memanfaatkan limbah organik sebagai bahan baku pembugar tanah.
Kedua, metode peningkatan produksi pada lahan suboptimal perlu tata kelola khusus untuk meminimalkan risiko keracunan setelah musim kemarau panjang atau akibat kebakaran lahan dan hutan. Ketiga, perlu introduksi benih unggul inbrida yang adaptif dan tahan kondisi lahan sulfat masam.
Kalteng memiliki kekayaan plasma nutfah luar biasa dan dengan sentuhan tepat dapat dikembangkan dalam skala besar. Injeksi varietas hibrida berlebihan akan menggusur genus lokal dan mengundang risiko baru penyebaran hama dan penyakit tanaman.
Keempat, pendekatan bantuan sarana produksi (saprodi), alat, dan mesin pertanian (alsintan) diubah dari sekadar bantuan program menjadi investasi model bisnis pertanian. Fakta di banyak daerah menunjukkan, bantuan mesin tanam (rice transplanter), pengering padi (dryer), mesin panen (combine harvester), dan traktor susut jauh masa pakai dan nilai ekonominya karena tata kelola tidak memadai.
Kelima, pertanian presisi (precision farming) sangat memungkinkan diterapkan di hamparan luas, terkonsolidasi baik lahan maupun pelakunya. Aplikasi sensor dengan output multimanfaat dan cermat untuk kebutuhan budidaya dan aklimatisasi akan sangat membantu pilihan varietas, deteksi dini kekurangan asupan nutrisi tanaman, pencegahan hama dan penyakit, pengenalan keragaman sifat tanah, dan penyinaran optimal.
Kalteng memiliki kekayaan plasma nutfah luar biasa dan dengan sentuhan tepat dapat dikembangkan dalam skala besar.
Keenam, indeks pertanaman dan pergiliran pola tanam perlu mempertimbangkan integrasi usaha tani terpadu yang akan dibangun. Diversifikasi berupa gabungan padi-hortikultura-ternak menuntut penyiapan daya dukung lahan dan tata kelola yang mendorong ekosistem produksi tumbuh berkelanjutan, saling menguatkan, dan membawa dampak positif zero waste semua output usaha tani.
Introduksi model bisnis pertanian seperti apa pun harus menempatkan dan membuat petani sebagai subyek perubahan. Telah banyak bukti pelaksanaan pola inti-plasma yang awalnya diidealkan untuk memastikan kegiatan produksi dan perolehan nilai tambah terbesar di tangan petani justru menuai praktik berkebalikan. Secara perlahan, konsentrasi aset dan pembentukan harga berada di tangan segelintir pemain sehingga menyorong petani jadi obyek dalam siklus produksi dan mekanisme pasar.
Model bisnis pertanian yang tidak menjamin perbaikan kualitas dan kuantitas produksi serta pelibatan kelompok sebagai jantung perubahan tata kelola, hanya akan terus mengorbankan petani dan pada akhirnya mengancam kelangsungan produksi.
Aneka subsidi ke petani sudah waktunya dialokasikan dan dipusatkan ke hilir berupa harga jual yang menutup ongkos produksi dan memastikan petani dapat margin keuntungan dan nilai tambah memadai. Subsidi di hulu berupa saprodi dan alsintan terbukti tak cukup berguna menjaga stabilitas produksi dan perbaiki kesejahteraan petani.
Singkatnya, kesinambungan produksi, pembelajaran berlanjut, dan pertumbuhan signifikan sistem manajerial usaha tani hanya dapat tercapai manakala model bisnis pangan menjamin kesejahteraan petani dan membuatnya memiliki posisi tawar wajar dalam tata niaga.
Sebaliknya, apabila hanya menjadikan petani bagian atau subsistem produksi dalam ekosistem korporasi, kemungkinan besar kelak memanen kehancuran dan bencana.
Belajar dari begitu banyak kegagalan diseminasi dan aplikasi usaha tani skala besar yang melibatkan ribuan petani, faktor yang sering kali diabaikan adalah pendampingan secara persisten dan tangguh untuk mengatasi berbagai risiko budidaya dan tantangan manajerial. Ketidakcukupan bekal mengenali aneka risiko budidaya polikultur dan kelemahan mengonsolidasikan kekuatan kelompok tani bakal mengendurkan semangat dan kembali lagi terjebak ke pola pertanian subsisten.
Subsidi di hulu berupa saprodi dan alsintan terbukti tak cukup berguna menjaga stabilitas produksi dan perbaiki kesejahteraan petani.
Korporasi petani
Pendekatan untuk menumbuhkan dan menguatkan kelembagaan petani selama ini mengandung cacat konsep serius sehingga semua bentuk afirmasi guna mewujudkannya jadi kehilangan pijakan teori dan praksis. Alih-alih mengintegrasikan on farm dan off farm dalam satu entitas pengelolaan, berbagai jenis fasilitas justru mendorong fragmentasi kegiatan yang menyebabkan sistem produksi dan pemasaran tidak mangkus dan sangkil.
Penyaluran kredit usaha rakyat yang berbasis kelayakan individual jadi tak kompatibel dengan sistem resi gudang yang menghendaki konsolidasi aset hasil produksi dalam volume dan nilai besar.
Koperasi—yang seharusnya dibangun agar jadi tumpuan untuk menggalang kekuatan kelompok tani baik sebagai penampung sementara hasil produksi (off taker), penjamin (avalis) kredit, maupun penghimpunan premi asuransi secara kolektif—kurang berperan mengemban fungsi intermediasi karena kebijakan yang tidak terintegrasi.
Demikian pula peluang bekerja sama dengan swasta atau BUMN untuk pembagian kegiatan dan risiko, terutama dalam pengolahan pasca-panen dan pemasaran hasil skala besar, sering kali terbentur ketidakcukupan syarat teknis dan ekonomis. Realisasi korporasi petani harus mampu mendekonstruksi ekosistem yang tidak bergerak sinergis ini.
Perubahan menuju sintesis kebijakan yang menautkan berbagai kepentingan agar hasil akhirnya positive sum game merupakan keniscayaan jika gagasan korporasi petani tak hanya dikenal gagah dan canggih hanya pada slogan, tapi lemah dalam detail dan praksis.
Semua pengampu kepentingan lumbung pangan di Kalteng perlu menyamakan persepsi, buang jauh egosektoral, cerdas mengambil pelajaran dari banyak kegagalan serupa, dan bergotong royong mewujudkan ketahanan pangan berkesinambungan.
Suwidi Tono,Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”;