Dari serenceng kasus pidana yang menanti Joko Tjandra, agenda prioritas adalah penyogokan kepada aparat negara yang selalu dan setia memuluskan segala rencana jahatnya: pengambilan KTP, paspor, dan mobilitasnya.
Oleh
Hamid Awaludin
·4 menit baca
Sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu jatuh juga. Sejauh-jauh Joko Tjandra berkelit, sekali waktu tertangkap juga. Dan, itulah yang terjadi sehari menjelang hari raya Idul Adha di Indonesia: terpidana kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali itu tertangkap oleh aparat hukum. Polisi menjemputnya di Malaysia.
Mengenakan rompi oranye dengan celana pendek hitam, tangan terborgol, Joko Tjandra tiba di Pangkalan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma dengan pengawalan ketat. Jelas sekali, Joko Tjandra sama sekali tidak menyangka bila ia disergap hari itu di Malaysia. Dua jempol buat polisi kita.
Dengan demikian, berakhir sudah drama pelarian sang buron selama 11 tahun. Ia memang sempat muncul dan melenggang di depan para pejabat dan aparat penegak hukum pada Juni 2020, dan kembali kabur saat keberadaannya mulai terendus.
Kali ini, dia menghilang dengan meninggalkan sejumlah korban, yakni orang-orang yang ia temui dan membantu mengurus kasusnya: ada jenderal polisi yang dicopot dari jabatannya, jaksa yang tengah diperiksa oleh institusinya, dan pengacara yang kini jadi tersangka.
Kali ini, Joko Tjandra tak lagi berpelindung. Telanjur menjadi pusat perhatian, khalayak tentu menanti-nanti, ”nyanyian” apa gerangan yang akan disenandungkan Joko Tjandra saat sudah tertangkap sebelum menjalani hukuman yang tertunda nanti?
Akankah ia akan menyebut nama-nama besar yang melindunginya selama pelarian? Lalu, pelanggaran apa saja gerangan yang akan ditambahkan pada perkara sang buron karena kebandelannya itu?
Saya memercayai, sebagai keturunan Tionghoa, Joko Tjandra tak akan bernyanyi sebab ia memegang teguh prinsip kuno China: ”Jika Anda bermasalah, janganlah Anda membuat orang lain ikut bermasalah.” Kalau mau mendapatkan informasi lebih jauh, aparat harus menggalinya dari sumber lain, misalnya, dari pengacara Joko Tjandra.
Arti penangkapan Joko
Dalam kasus pelarian Joko Tjandra, banyak aparat negara terlibat dan memuluskan segala rencananya. Tentu kasus-kasus serupa memiliki modus yang sama. Sebaiknya negara beranjak dari kasus ini, menelisik lebih jauh kasus lain mengenai keterlibatan aparat negara yang korup dan membuat orang-orang memecundangi hukum, lalu hidup tenang di negeri orang.
Pelajaran berikut, ketika negara tegas dan memang mau, para buronan ternyata terbukti bisa dibawa kembali ke Tanah Air untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kalau Joko Tjandra dan Maria Pauline Lumowa bisa dipulangkan, mengapa yang lain tak bisa? Ini soal kemauan, tekad yang membaja, dan perhitungan yang matang. Semua bisa saja dilakukan negara.
Kasus Maria P Lumowa adalah preseden terbaik yang bisa dilanjutkan ke kasus lain. Hambatan tak adanya perjanjian ekstradisi ternyata bisa diterobos dengan pendekatan diplomatis. Dengan kecanggihan teknologi komunikasi serta rapinya kerja sama antarnegara di bidang hukum dan keamanan, dunia kian mengecil, tempat berlalu lalangnya para buronan tersebut.
Langkah berikut
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan untuk Joko Tjandra? Polisi segera bekerja sama dengan kejaksaan untuk mengeksekusi keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum dirinya dua tahun. Ia harus segera dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan.
Masalahnya, pokok perkara yang membuatnya diuber adalah lari dari putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap. Joko Tjandra harus dieksekusi dulu untuk urusan ini. Untuk keperluan penyidikan dalam kasus yang lain, polisi dapat meminta kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia agar Joko Tjandra dipinjam.
Proses ini memang terkesan birokratis, tetapi itulah mekanisme bakunya menurut hukum. Bila tidak dilalui, bisa jadi Joko Tjandra akan menemukan celah lagi untuk berkelit dari hukum. Ia bisa dengan gampang berdalih pelanggaran hak asasi manusia, demi melindungi diri. Dengan enteng ia bisa mengaitkan dirinya sebagai keturunan Tionghoa yang didiskriminasi.
Kepolisian negara sebaiknya jeli dan detail mengenai penanganan kasus Joko Tjandra ini. Kita pernah dapat pelajaran berharga dari kasus Hendra Raharja beberapa tahun silam. Pemerintah ingin mengekstradisinya dari Australia, tetapi Hendra berdalih bahwa ia didiskriminasi di Indonesia karena dirinya keturunan Tionghoa. Hukum tak memberi keadilan bagi warga keturunan Tionghoa. Hingga ajal menjemput, Hendra tak pernah berhasil diekstradisi.
Harap diingat, saat ini Joko Tjandra bukan lagi warga negara Indonesia, tetapi warga negara Papua Niugini. Statusnya sebagai warga negara asing juga bisa dieksploitasi sebagai isu politik untuk berkelit dari rentetan tuntutan pidana yang bakal ditimpakan kepadanya.
Di antara serenceng kasus pidana yang menanti Joko Tjandra, agenda prioritas adalah agenda penyogokan kepada aparat negara yang selalu dan setia memuluskan segala rencana jahatnya: pengambilan KTP, paspor, bolak-balik keluar masuk Indonesia tanpa melalui prosedur keimigrasian, dan seterusnya.
Di antara rentetan tuntutan pidana yang sudah menantinya, statusnya sebagai warga negara asing yang hendak mengelabui lagi negara, seolah ia warga negara Indonesia dengan cara memperoleh dokumen identitas diri, adalah kesalahan yang sangat asasi.
Joko Tjandra sungguh-sungguh melecehkan negara dan harus dihukum seberat mungkin.
Hamid Awaludin, Mantan Menteri Hukum dan HAM, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.