Hentikan Kekerasan tehadap Anak
Presiden Jokowi memberi perhatian pada kasus kekerasan terhadap anak yang terus meningkat. Maka perlu langkah ekstra dari banyak pihak dalam rangka mencegah, melindungi, dan merehabilitasi korban kekerasan pada anak.
Masa kanak-kanak adalah masa bermain, bersukacita, dan belajar. Masa pertumbuhan dan perkembangan. Akan tetapi, apakah benar kondisi ini dialami oleh anak-anak di Indonesia?
Pada rapat terbatas kabinet pada awal Januari, Presiden Joko Widodo memberi perhatian penanganan kasus kekerasan terhadap anak yang terus meningkat. Presiden meminta prioritas aksi pencegahan kekerasan terhadap anak, melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kekhawatiran Presiden beralasan. Belum lama ini, publik dikejutkan dengan eksploitasi seksual anak yang terjadi di sejumlah daerah. Di Lampung Timur, seorang oknum petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) malah menjadi pelaku pemerkosaan terhadap korban yang ia dampingi, bahkan terindikasi terjadi praktik perdagangan seksual anak.
Di Jakarta, seorang warga negara Perancis diduga melakukan pengambilan gambar vulgar terhadap 305 anak perempuan dan menyetubuhi para korbannya. Pelaku berakhir bunuh diri di tahanan polisi. Di Kutai Barat, Kalimantan Timur, oknum pegawai negeri sipil (PNS) guru terlibat perdagangan seksual anak.
Presiden meminta prioritas aksi pencegahan kekerasan terhadap anak, melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Perwakilan Unicef Indonesia pada 2004 mengungkapkan, setiap tahun sekitar 70.000 anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual. Berdasarkan catatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), setidaknya sejak 2016 hingga Juni 2020 ada 926 permohonan perlindungan terhadap anak masuk ke LPSK.
Asal permohonan tertinggi dari Jawa Barat, diikuti DKI Jakarta dan Sumatera Utara. Sebanyak 482 di antaranya korban kekerasan seksual, 133 korban perdagangan orang, dan sisanya dari berbagai kasus yang menempatkan anak menjadi korban, serta 106 korban eksploitasi perdagangan seksual.
Meluasnya industri seks di beberapa negara, termasuk Indonesia, mengakibatkan banyak anak dipaksa menjadi pekerja seks komersial. Pelacuran anak merupakan pelanggaran mendasar atas hak-hak anak, ilegal, eksploitatif, dan destruktif.
Dalam catatan LPSK, anak yang dilacurkan (ayla) banyak yang berdomisili di Jawa Barat, diikuti Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta. Sementara berdasarkan locus delicti (tempat terjadi peristiwa) ayla, DKI Jakarta di posisi teratas, diikuti Jatim dan Jabar. Sebagian besar ayla tak menyelesaikan pendidikan dasar 12 tahun, bahkan tak selesai SD.
Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (2019), jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah 4.586.332 anak dengan konsentrasi terbesar di Jabar, disusul Jateng dan Jatim.
Umumnya, faktor ketidakharmonisan keluarga, pola asuh orangtua yang salah, dan tekanan ekonomi membuat anak-anak ini memilih bekerja. Ayla ini kemudian mendapatkan informasi pekerjaan dari teman, media sosial (medsos), kerabat, dan agen/perekrut.
Berdasarkan data LPSK, sekitar 57,28 persen ayla terjerumus karena bujuk rayu dan tipu daya atau melihat kawan-kawannya sudah lebih dulu masuk dunia pelacuran. Ada juga yang awalnya dijanjikan kerja sebagai pramusaji kafe/restoran, pemandu lagu karaoke, penjaga toko, dan lain-lain dengan janji penghasilan yang memadai.
Berdasarkan data LPSK, sekitar 57,28 persen ayla terjerumus karena bujuk rayu dan tipu daya atau melihat kawan-kawannya sudah lebih dulu masuk dunia pelacuran.
Gaya hidup remaja perkotaan, seperti konsumtif, penggunaan narkoba, dan pengalaman seks dini, dapat mendorong anak memasuki dunia pelacuran. Saat menjadi ayla, mereka mengalami eksploitasi, dipekerjakan 10-16 jam per hari. Sehari bisa melayani 10 tamu, dijanjikan penghasilan Rp 1 juta-Rp 20 juta per bulan. Faktanya, ada yang tak dapat upah sama sekali. Mereka juga dipaksa mengonsumi obat kontrasepsi agar dapat dieksploitasi terus-menerus tanpa terhalang siklus menstruasi.
Ironisnya, apabila ayla ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya, jika ia berhenti dari pelacuran, tingkat ekonomi keluarga menjadi surut. Sebagian korban melakukan pekerjaan itu untuk membantu pembiayaan orangtuanya yang sakit.
Akibat eksploitasi seksual, beberapa ayla mengalami situasi medis, seperti gatal di sekitar kemaluan, robek selaput dara, keputihan, servisitis, gonore, herpes, dan kehamilan. Umumnya sulit bagi ayla keluar dan mencari pekerjaan lain karena di dunia pelacuran lebih mudah dan cepat dapat uang dalam jumlah besar, tak perlu pendidikan formal, selain tak ada pekerjaan alternatif yang sesuai pendidikan dan keterampilan.
Bekerja di industri seks berbahaya bagi anak. Praktik pelacuran anak juga mengakibatkan hilangnya generasi sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Ayla telah menjadi keprihatinan dunia internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut dunia prostitusi rawan bagi anak-anak sehingga mereka perlu perlindungan khusus.
Pada 1989, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB untuk Hak-hak Anak (pada peringatan 30 tahun Deklarasi Hak-hak Asasi Anak). Indonesia meratifikasi 1990.
Tahun 1996, Kongres Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak-anak di Stockholm, Swedia, menyatakan, pelacuran adalah bentuk kejahatan paling kejam pada anak. Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 1999 menelurkan Konvensi Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Indonesia meratifikasi tahun 2000, ditindaklanjuti dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Indonesia telah memiliki UU Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak. Bahkan, pada 2016, Presiden Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-
PBB menyebut dunia prostitusi rawan bagi anak-anak sehingga mereka perlu perlindungan khusus.
Situasi pandemi Covid-19 apabila berujung pada krisis ekonomi berkepanjangan akan membawa dampak krisis multidimensional, salah satunya penurunan status gizi anak dan meningkatnya angka siswa putus sekolah. Anak terpaksa bekerja membantu orangtua mencari nafkah. Sayangnya, perhatian Presiden belum diiringi dengan kecukupan anggaran bagi pelaksanaan perlindungan anak.
Kompetensi SDM yang menangani umumnya juga rendah. Perlu langkah ekstra dari banyak pihak dalam rangka mencegah, melindungi, dan merehabilitasi korbannya. Pemerintah perlu mengoptimalkan kampanye pencegahan kekerasan seksual terhadap anak, didukung alokasi anggaran memadai.
Dukungan bagi advokasi perlindungan anak dan perempuan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasia kemasyarakatan (ormas), dan akademisi dengan jaringan operasionalnya juga diperlukan. Patroli siber harus digalakkan untuk menghapus konten pornografi dan prostitusi daring. Negara harus menciptakan program yang lebih efektif guna memastikan tak ada toleransi atas perdagangan dan eksploitasi seksual komersial terhadap anak.
(Edwin Partogi Pasaribu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK))