Boikot Media Sosial dan Keseimbangan Baru
Kampanye ”Stop Hate for Profit” di Amerika Serikat merupakan momentum bagi media massa untuk kembali ke gelanggang persaingan dengan jati dirinya sendiri.
Konten buatan pengguna (user generated content) merupakan keunggulan komparatif media sosial.
Dengan konten buatan pengguna, siapa saja bisa menghasilkan konten, bebas berpendapat, dan jadi subyek yang berbicara. Di ruang media sosial (medsos), tak ada lagi gradasi ketat antara komunikator dan komunikan, pakar dan orang awam, kaum elite dan massa. Namun, pada akhirnya, keunggulan komparatif itu ternyata juga jadi titik lemah yang sulit ditanggulangi.
Tanpa moderasi dan penyuntingan semestinya, konten buatan pengguna itu jadi bumerang. Semua pihak, baik jahat maupun baik, bebas menyebarkan konten di medsos. Semua jenis konten, termasuk yang mengandung muatan ujaran kebencian, semangat rasialis, kecenderungan melanggar hukum, pornografi, dan paedofilia, mendapat tempat di sana.
Tanpa moderasi dan penyuntingan semestinya, konten buatan pengguna itu jadi bumerang.
Platform medsos sudah bekerja keras menanganinya. Namun, yang mereka lakukan bukanlah proses moderasi dan penyuntingan ”sebelum tayang”, melainkan ”menghapus setelah tayang” atau menempelkan label ”konten berbahaya” setelah tayang. Cuitan Trump yang rasial baru diblokir atau dilabeli ”tidak layak” setelah sempat tersebar di jagat medsos. Akibatnya, ruang medsos menjadi keruh oleh sikap acuh-tak acuh, ujaran kebencian, dan pesan rasial.
Meskipun sudah melakukan banyak perbaikan, platform medsos tetap disalahkan. Mereka dianggap mengambil ”kesempatan dalam kesempitan”, meraup keuntungan bisnis dari epidemi hoaks yang memecah belah masyarakat.
Dalam konteks inilah kampanye bertajuk ”Stop Hate for Profit” meluncur di AS pada 17 Juni 2020. Digerakkan organisasi, seperti Color of Change, NAACP, ADL, Sleeping Giants, Free Press, dan Common Sense Media, ”Stop Hate for Profit” mendesak para produsen besar berhenti beriklan di medsos, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube, karena alasan di atas.
Baca juga: Cara Publik Menghukum Platform Media Sosial
Gayung bersambut, jenama besar, seperti Unilever, Starbuck, The North Face, REI, Patagonia, Ben and Jerry’s, Upwork, Eddie Bauer, Arc’teryx, Magnolia Pictures, dan Honda Motor Co, telah menyatakan berhenti beriklan di platform medsos. Hingga 3 Juli 2020, dukungan atas ”Stop Hate for Profit” telah menembus angka 400 perusahaan besar.
Seperti ”Tom and Jerry”
Akan seberapa jauh kampanye ”Stop Hate for Profit” bergulir? Satu hal yang pasti, perusahaan platform medsos tak berdiam diri. Mereka memiliki teknologi, kemampuan finansial, dan SDM untuk terus memperbaiki diri.
Mereka terbiasa menghadapi kontroversi, sangat lihai membalikkan opini publik dan keluar dari situasi krisis dengan kerugian minimal. Jadi, tak realistis berpikir kampanye ”Stop Hate for Profit” akan serta-merta meruntuhkan dominasi mereka.
Namun, satu hal yang juga cukup pasti, gangguan terhadap kemapanan platform medsos akan terus terjadi. Para pelaku kejahatan digital akan terus berupaya menembus ”sistem pertahanan” mereka.
Baca juga: Ladang Baru Industri Digital di Bisnis Layanan #DiRumahAja
Para programmer komputer zombie, peternak botnet, dan pasukan troll akan terus bergerilya menjalankan misi-misinya. Para politisi juga akan terus menggunakan medsos sebagai arena propaganda komputasional berlandaskan hoaks dan ujaran kebencian.
Kejahatan digital dan upaya perusahaan platform untuk menanganinya ibarat kisah Tom and Jerry. Akan terus berbenturan dan saling mendahului sepanjang waktu.
Algoritma Youtube dengan sangat pintar mengenali penonton video itu adalah para pembeli potensial untuk produk dari perusahaan di atas. Bahwa sebagian penonton video eksekusi penggal kepala oleh ISIS adalah ibu-ibu yang berpotensi membeli bedak bayi Johnson & Johnson.
Bahwa penonton video antisemitisme adalah penduduk Asia yang gemar mobil Toyota. Bahwa penonton video porno adalah penggemar produk otomotif.
Algoritma Youtube dengan sangat pintar mengenali penonton video itu adalah para pembeli potensial untuk produk dari perusahaan di atas.
Analisis megadata (big data) memungkinkan identifikasi ini secara cepat. Pertanyaannya, mana ada pengiklan yang mau iklannya menempel di video-video berkonten kekerasan, keasusilaan, pornografi, atau rasialisme?
Mereka menarik iklan di Youtube meski hanya sementara. Youtube terus memperbaiki sistem algoritmanya, katakanlah dengan menambahkan fitur pemblokir konten ilegal. Namun, hingga 2019, fenomena misplacement masih terjadi.
Samuel C Woolley dan Philip N Howard dalam Computational Propaganda, Political Parties, Politicians, and Political Manipulation on Social Media (Oxford University Press, 2019) menjelaskan fenomena ini sebagai ”ketidakmampuan platform digital mengendalikan mesin yang mereka ciptakan sendiri”.
Kasus fenomenal lain adalah ketika platform medsos dimanfaatkan jaringan botnet dan pasukan troll berafiliasi ke Rusia untuk memecah belah masyarakat AS pada Pemilu 2016.
Medsos memberikan kebebasan dan egalitarianisme bagi semua orang untuk membuat konten, tetapi tak sepenuhnya bisa mengontrol ketika kebebasan itu dimanfaatkan untuk proyek propaganda komputasional yang berdampak buruk ke masyarakat. Di depan Senat AS, perusahaan platform berkilah mereka tak tahu proyek propaganda komputasional itu memanfaatkan platform yang mereka operasikan.
Pertanyaannya, jika perusahaan platform saja tak tahu bagaimana mengendalikan platform medsosnya, lalu siapa yang akan melindungi kepentingan publik dan pengiklan dari dampak buruk penyalahgunaan platform itu?
Di depan Senat AS, perusahaan platform berkilah mereka tak tahu proyek propaganda komputasional itu memanfaatkan platform yang mereka operasikan.
Keseimbangan baru
Kampanye ”Stop Hate for Profit” sekali lagi bukan akhir dari dominasi raksasa medsos global. Namun, paling tidak telah semakin meluas kesadaran tentang batas-batas medsos. Medsos memang memberikan skala pembaca yang sangat besar, tetapi kedodoran dalam menjamin kualitas konten dan kredibilitas sumber.
Medsos menawarkan kecepatan dan interaktivitas, tetapi sering gagal dalam memastikan produk yang baik berasosiasi dengan konten dan khalayak yang baik. Medsos menghadirkan demokrasi digital, tetapi kebingungan mengendalikan mesin-mesin demokratisasi digital ketika terjadi penyalahgunaan.
Pada titik ini, terbuka peluang untuk membicarakan keseimbangan baru. Kunci dari keseimbangan ini adalah pemahaman masyarakat dan pengiklan tentang kelebihan dan kekurangan medsos sebagaimana mereka lebih dahulu memahami kekurangan dan kelebihan media konvensional. Ternyata medsos tak bisa sepenuhnya menggantikan fungsi media massa sebagai ruang publik.
Baca juga: Saatnya Media Sosial Kembali
Ternyata medsos menyajikan sesuatu yang berbeda. Ternyata khalayak dan pengiklan tetap butuh media yang lebih dapat memverifikasi kelayakan konten dan khalayaknya. Ternyata pengiklan juga alergi hoaks, ujaran kebencian, dan kegaduhan politis.
Fakta-fakta ini merupakan peluang bagi para pengelola media massa untuk kembali meyakinkan masyarakat dan pengiklan. Satu hal yang sebenarnya juga dilakukan perusahaan platform dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan media konvensional. Tentu dengan syarat media massa konsisten dengan good journalism dan mampu beradaptasi dengan evolusi ekologi media yang sedang terjadi.
Keseimbangan baru yang dimaksud adalah bahwa yang akan terjadi bukannya disrupsi total dalam pengertian media massa akan sepenuhnya punah tak berbekas digantikan oleh media baru. Yang terjadi adalah bahwa media massa dalam versi yang baru akan hidup berdampingan dengan: media sosial, mesin pencari, e-dagang, dalam suatu ekosistem yang transparan, adil, dan setara.
Tentu dengan syarat media massa konsisten dengan good journalism dan mampu beradaptasi dengan evolusi ekologi media yang sedang terjadi.
Namun, keseimbangan baru tidak akan sekonyong-konyong terwujud tanpa kerja keras dan peluh keringat para pengelola media massa. Pertanyaannya adalah apa yang sulit diperoleh khalayak di medsos dan apakah media massa mampu mengisi kekosongan itu? Kuncinya jelas diferensiasi.
Media massa harus mampu menyajikan sesuatu yang secara umum sulit didapatkan khalayak dari medsos, yakni konten berkualitas dan diskusi yang bermartabat.
Dengan demikian, masyarakat akan memahami apa perbedaan fungsi media baru dan media massa dan dalam konteks apa masing-masing digunakan masyarakat. Pada akhirnya, kunci yang sebenarnya adalah pengiklan.
Platform digital boleh cuek terhadap kritik masyarakat. Namun, jika para pengiklan sudah ikut-ikutan memboikot, apakah platform digital masih akan cuek? ”Stop Hate for Profit” merupakan momentum bagi media massa untuk kembali ke gelanggang persaingan dengan jati dirinya sendiri.
(Agus Sudibyo, Anggota Dewan Pers; Dosen ATVI Jakarta).