Memotret Sektor Pertanian secara Utuh
Peran perempuan dalam kegiatan budidaya pertanian semakin menentukan. Hasil SUTAS 2018 memperlihatkan bahwa jumlah petani perempuan mencakup sekitar seperempat dari total jumlah petani yang sebanyak 34 juta orang.
Sektor pertanian dihadapkan pada isu kelangkaan data berkualitas tinggi untuk mendukung analisis dan perumusan kebijakan berbasis bukti yang akurat dan efektif.
Selain masalah klasik akurasi data produksi sejumlah komoditas pertanian strategis, ketersediaan data yang memotret aspek sosial ekonomi sektor pertanian secara komprehensif dan terintegrasi adalah isu mendesak yang harus dicarikan jalan keluarnya.
Hal ini menjadi penting karena di tengah transformasi struktur ekonomi nasional yang sangat cepat selama beberapa dekade terakhir, peran penting sektor pertanian tetap tidak dapat dielakkan.
Pada 2020, sektor ini, termasuk di dalamnya perikanan dan kehutanan, berkontribusi sekitar 13 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan menyerap sekitar 29 persen dari total tenaga kerja yang bekerja. Lebih dari itu, hasil Survei Pertanian Antar-Sensus (SUTAS) 2018 juga memperlihatkan bahwa jumlah rumah tangga usaha tani mencapai 28 juta rumah tangga atau sekitar 40 persen dari total jumlah rumah tangga di Indonesia, yang mayoritas tinggal di daerah perdesaan.
Isu kemiskinan juga masih menjadi fenomena sektor pertanian dan perdesaan di mana jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan mencakup 60,26 persen dari total penduduk miskin pada Maret 2020. Selain itu, mayoritas penduduk miskin perdesaan menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Hal ini tecermin dari persentase kepala rumah tangga miskin dengan lapangan pekerjaan sektor pertanian yang mencapai 64 persen pada 2019.
Kondisi ini tidak terlepas dari fakta bahwa sebagian besar petani kita merupakan petani skala kecil.
Kondisi ini tidak terlepas dari fakta bahwa sebagian besar petani kita merupakan petani skala kecil. Hasil SUTAS menunjukkan bahwa rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar mencakup sekitar 58 persen dari total jumlah rumah tangga pertanian.
Namun, terminologi petani gurem ini sebetulnya perlu dikaji ulang dalam menggambarkan pertanian skala kecil. Jika mengacu pada standar Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), pertanian skala kecil tidak hanya terkait luas lahan garapan, tetapi juga aspek lain, seperti jumlah ternak dan skala pendapatannya.
Peran penting sektor pertanian menunjukkan bahwa pembangunan wilayah perdesaan yang difokuskan pada penguatan sektor pertanian secara holistik, bukan hanya aspek budidaya dan produksi komoditas pangan, menjadi sangat krusial bukan hanya untuk perekonomian nasional yang lebih inklusif, melainkan juga pengurangan angka kemiskinan melalui peningkatan taraf hidup masyarakat perdesaan.
Terkait hal ini, ketersediaan data yang memotret aspek sosial-ekonomi sektor pertanian secara holistik dan terintegrasi merupakan sebuah keniscayaan. Data tersebut tentu saja juga harus dikumpulkan melalui proses pengumpulan data yang didasarkan pada metodologi yang kuat. Dengan demikian, informasi yang akurat dan tepat waktu sebagai dasar analisis dan pengambilan kebijakan yang berdasarkan bukti dapat disediakan.
Sayangnya, terdapat kesenjangan antara kebutuhan informasi untuk mendukung analisis dan perumusan kebijakan terkait sektor pertanian-perdesaan dan suplai data yang ada. Dengan kata lain, data tersebut tidak tersedia karena tidak adanya sistem pengumpulan data yang memotret sektor pertanian secara komprehensif dan terintegrasi.
Contoh konkret terkait hal ini adalah kelangkaan data berkualitas tinggi dan terkini untuk perhitungan indikator-indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) terkait pertanian, khususnya indikator 2.3.1, 2.3.2, 2.4.1, 5.a.1.a, dan 5.a.1.b yang dicakup dalam Tujuan 2 (Tanpa Kelaparan) dan Tujuan 5 (Kesetaraan Jender).
Dalam konteks SDGs, kebutuhan data pertanian ternyata tidak hanya berfokus pada kuantitas produksi, tetapi juga aktor atau pelakunya (petani). Terkait hal ini, ketersediaan data mikro berbasis individu dan jender merupakan sebuah keharusan untuk menjawab isu-isu global, seperti peran perempuan dalam sektor pertanian.
Dalam konteks SDGs, kebutuhan data pertanian ternyata tidak hanya berfokus pada kuantitas produksi, tetapi juga aktor atau pelakunya (petani).
Faktanya, peran perempuan dalam kegiatan budidaya pertanian semakin menentukan. Hasil SUTAS 2018 memperlihatkan bahwa jumlah petani perempuan mencakup sekitar seperempat dari total jumlah petani yang sebanyak 34 juta orang. Itu artinya, kontribusi mereka dalam menggerakkan perekonomian perdesaan, yang umumnya bercorak pertanian, sangat signifikan.
Sayangnya, secara umum petani perempuan jauh tertinggal daripada petani laki-laki, baik dari sisi modal manusia maupun akses terhadap sumber daya ekonomi, khususnya lahan pertanian.
Agris dan Sitasi
Kelangkaan data ini telah mengurangi kapasitas Indonesia dalam memonitor progres capaian SDGs yang diukur melalui lima indikator tersebut. Indonesia bahkan termasuk negara yang tidak mampu menyediakan indikator-indikator tersebut untuk kompilasi FAO yang akan digunakan dalam evaluasi global pencapaian SDGs dan keterbandingan antarnegara.
Sebagai jalan keluar, BPS menggagas pelaksanaan Agricultural Integrated Survey (Agris) atau Survei Pertanian Terintegrasi (Sitasi) pada 2021 yang diawali uji coba di tiga provinsi (Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat) pada 2020 yang diharapkan menjadi titik awal bagi ketersediaan data sektor pertanian yang komprehensif dan terintegrasi.
Dalam praktiknya, survei yang menyasar unit usaha pertanian (rumah tangga dan non-rumah tangga) ini akan terintegrasi dengan Sensus Pertanian yang dilaksanakan setiap 10 tahun sekali. Diketahui, Sensus Pertanian yang berskala masif didedikasikan untuk mengumpulkan data dasar. Kebutuhan data rinci dan tematik terkait sektor pertanian pada tahun-tahun antarsensus akan disuplai oleh Agris/Sitasi yang menggunakan hasil sensus sebagai kerangka sampel.
Agris/Sitasi akan menerapkan Modul Kor dan Modul Tematik. Modul Kor dilaksanakan setiap tahun untuk mengumpulkan informasi pokok, sementara Modul Tematik yang terdiri dari modul ekonomi; tenaga kerja; metode produksi dan lingkungan; serta mesin, peralatan, dan aset; akan dirotasi secara periodik pada tahun-tahun antarsensus.
Diketahui, Sensus Pertanian yang berskala besar untuk mengumpulkan data dasar.
Jika terlaksana, Sgris/Sitasi akan mampu memberikan informasi yang kaya terkait indikator-indikator SDGs pertanian, kondisi sosial ekonomi petani, kondisi pekerja sektor pertanian, dampak lingkungan yang dihasilkan oleh sektor pertanian, dan kepemilikan aset petani. Untuk mencapai hal ini, BPS tentu saja tidak dapat bekerja sendiri dan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.
(Kadarmanto, Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan pada Badan Pusat Statistik)