Nasionalisme Bukan Musiman
Seorang pelaku industri musik pernah mengingatkan, lagu cinta Tanah Air sebaiknya diperdengarkan tidak hanya pada hari besar kebangsaan, melainkan agar setiap saat. Karena, katanya, nasionalisme itu bukan musiman.
Lagu pop bertema cinta Tanah Air hadir dari masa ke masa. Tema bisa berupa pemujaan terhadap kekayaan dan keindahan negeri, heroisme, romantisisme, hingga dramatika perjuangan. Biasanya pada bulan Agustus, lagu-lagu patriotik semacam itu akan ramai diperdengarkan.
”Merah putih teruslah kau berkibar…. Di ujung tiang tertinggi di Indonesiaku ini...” Itu sepotong lirik lagu ”Bendera” karya Eross Candra yang dibawakan band Cokelat. Lagu tersebut menjadi lagu tema film Bendera arahan sutradara Nan T Achnas, yang beredar tahun 2002.
Bisa dikatakan ”Bendera” merupakan energi muda lagu patriotik milik anak muda era 2000-an. Lagu digarap dengan rasa pop rock, lengkap dengan gitar yang garang dari Edwin, gitaris Cokelat. ”Bendera” menjadi rock yang patriotik atau bisa juga dikatakan lagu patriotik yang nge-rock.
Bendera dan warna merah putih sebagai representasi Republik Indonesia memang menjadi tema kuat dalam lagu patriotik. Sekitar 25 tahun sebelum ”Bendera”, generasi 1970-an mempunyai lagu ”Kebyar-Kebyar” karya Gombloh yang dinyanyikannya sendiri dengan berapi-api. ”Indonesia merah darahku, putih tulangku… Bersatu dalam semangatmu….”
Lagu ini tidak hanya muncul musiman saat perayaan tujuh belasan, tetapi juga menjadi lagu penyemangat saat rasa nasionalisme perlu dipompakan, antara lain saat berlangsung pertandingan olahraga di mana atlet Indonesia berlaga mewakili negerinya. Ketika itulah secara spontan dan massal ”Kebyar-Kebyar” dinyanyikan para penonton untuk memberi semangat kepada atlet.
Mundur lagi 25 tahun sebelum ”Kebyar-Kebyar”, kita mengenal ”Berkibarlah Benderaku” karya Saridjah Bintang Soedibjo atau Ibu Sud. Lagu wajib ini dinyanyikan oleh berlapis-lapis generasi.
”Berkibarlah Benderaku” lahir pada masa revolusi fisik tahun 1947. Kala itu, militer Belanda menduduki studio RRI Jakarta dan memerintahkan tokoh RRI Jusuf Ronodipuro untuk menurunkan bendera Merah Putih dari tiangnya. Jusuf menolak sehingga Belanda menurunkan sendiri sang sangka Merah Putih. Diilhami oleh peristiwa tersebut, Ibu Sud kemudian menulis lagu yang lirik awalnya ”Berkibarlah benderaku, lambang suci gagah perwira...”
Ditulis dalam tempo di marcia dengan birama 4/4, ”Berkibarlah Benderaku” merupakan lagu dengan ekspresi con bravura atau gagah berani, penuh semangat, heroik, patriotik. Persis dengan syair lagu yang isinya memberi semangat cinta Tanah Air. ”Siapa berani menurunkan engkau/ Serentak rakyatmu membela/ Sang merah putih yang perwira/ Berkibarlah Slama-lamanya..”
Catatan zaman
Lagu memang bisa menjadi catatan zaman. Ia merekam semangat yang sedang menaungi situasi batin kehidupan. Pada era 1960-an, ketika negeri ini harus menghadapi konflik-konflik bersenjata, lahir sejumlah lagu heroik dan dramatik seputar perjuangan bersenjata. Pada masa itu, setidaknya tercatat ada operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat, selain terjadinya konfrontasi dengan Malaysia yang disusul dengan operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora).
Titiek Puspa menulis lagu ”Pantang Mundur” yang diinspirasi oleh peristiwa mengharukan yang ia lihat di Lapangan Banteng, Jakarta, pada 1963. Ketika itu, seperti pernah diceritakan Titiek Puspa, ia melihat upacara pelepasan pasukan yang akan diterjunkan ke operasi Trikora di Irian Barat (saat itu). Ia melihat seorang ibu muda yang sedang mengandung, melepas suaminya yang akan dikirim ke medan perjuangan.
Pemandangan yang di matanya begitu menyentuh itu melahirkan lagu dengan lirik awal ”Kulepas dikau pahlawan/ Kurelakan dikau berjuang...” Pada bagian lain tertulis, ”Putra pertama lahir sudah/ Kupintakan nama padamu pahlawan".
Bagaimanapun, lagu-lagu itu ditulis dengan kaidah-kaidah yang lazim dalam lagu pop yang notabene banyak dinikmati kaum muda. Lagu dibuat dengan mempertimbangkan narasi romantik. Dari setting romantik ini, lagu kemudian bicara tentang heroisme dan patriotisme.
Masa perjuangan menjadi lanskap dramatik dan romantik dalam lagu. Ada latar kisah dua manusia. Di satu pihak, ada tokoh yang berjuang di medan perang. Di sisi lain, ada kekasih yang gelisah menunggu dengan tetap memberi semangat dan doa.
Selain lagu Titiek Puspa di atas, ada sejumlah lagu lain bertema serupa, antara lain lagu ”Di Keheningan Malam” yang dinyanyikan Anna Mathovani. Lagu ini secara spesifik menunjuk Kalimantan Utara sebagai medan perang. Ketika itu terjadi konfrontasi dengan Malaysia.
Baca juga: Antara ”Bolo-bolo”, ”Obok-obok”, dan ”Naik Delman”
Lagu yang sama juga dibawakan Trio Parsito. Lagu berbicara tentang kekasih yang tengah bergerilya di rimba perbatasan Kalimantan. ”Lama nian tiada berita dari medan gerilya...” Sang kekasih dalam kemenungguan itu mendoakan sang pahlawan, ”Oh Tuhan yang kuasa/ Oh lindungilah dia/ Pahlawanku di rimba raya Kalimantan Utara…”
Ada pula ”Berikan Daku Harapan” karya M Jusuf yang dipopulerkan Tuty Subardjo. Dikisahkan dalam lirik, sebelum berjuang mereka saling berjanji setia. Sang kekasih melepas memberi semangat: ”Tunaikan tugasmu doaku slalu/ Menangkan tugasmu, restu sluruh bangsamu.” Kemudian pada bagian lain tertulis: ”Jauh di mata kau kunanti/ Pergi ke perbatasan/ Tapi s’lalu dekat dihati/ Kubangga duhai pahlawan...”
Sosok Pahlawan
Tokoh dalam lagu yang disebut-sebut sebagai pahlawan pada lagu-lagu patriotik era 1960-an itu sudah lebih jelas menunjuk pada pelaku di medan perjuangan senjata. Lagi-lagi seperti sudah lazim dalam lagu pop, sosok itu ditempatkan pada latar kehidupan sehari-hari. Lirik lagu cenderung berupa deskripsi fisik, seperti gagah dan ganteng.
Pada era Ismail Marzuki, lagu tentang sosok pahlawan digarap dengan nuansa komedik, seperti lagu ”Kopral Jono”. Gaya serupa juga digunakan Soetedjo dalam ”Sersan Mayorku”. Kedua sosok itu digambarkan sebagai serba tampan, gagah, membuat orang terpesona. Kopral Jono disebut dalam lagu ”Aksimu bung very good seperti mas Robin Hood/ Dengan jambulmu semua gadis bertekuk lutut.”
Adapun dalam ”Sersan Mayorku” sang tokoh disebut gagah, manis sopan santunnya, dan direkomendasikan untuk dipilih sebagai calon menantu. Sang Sersan yang disebut dalam lagu adalah seorang penerbang, juru terbang Angkatan Udara: ”Aku namakan dia/ Juru terbangku Si Gatotkaca...” Nama lain sang Sersan adalah ”Burung Garuda yang istimewa...”
Baca juga: Terdengar Seruling Benny Likumahuwa...
Sosok hero seperti si Kopral dan sang Sersan itu, dalam lagu lain digambarkan oleh Lilis Suryani dalam ”Kisah Si Baju Loreng”. Dalam lagu digambarkan seseorang yang sedang duduk di tepi pantai: ”Seorang anggota ABRI memakai baju loreng/ Lengkap dengan baretnya/ Aduh gagah perkasa...”
Sosok hero itu oleh Titiek Puspa digambarkan sebagai sosok yang ditunggu-tunggu meski dalam impian. Seperti ia nyanyikan dalam lagu ”Bertemu Seorang ABRI”. Begini liriknya, ”Kan kutunggu, kutunggu datangmu pahlawan/ Walau hanya di dalam impian/ Kan kukalungkan bunga s’bagai tanda jasa/ Dikau ABRI pahlawan bangsa....”
Memuja Tanah Air
Selain bertutur tentang perjuangan, lagu cinta Tanah Air juga menggambarkan keindahan dan kekayaan negeri. Juga harapan akan kehidupan yang rukun, tenteram, dan damai sebuah negeri.
Di antara lagu-lagu cinta Tanah Air yang menjadi standar dan terdengar hingga hari ini adalah karya Ismail Marzuki ”Rayuan Pulau Kelapa” dan ”Indonesia Pusaka”. Ada pula ”Nyiur Hijau” karya Maladi serta ”Tanah Airku” gubahan Ibu Sud. Ungkapan keindahan dan rasa cinta Tanah Air kemudian bermunculan di ranah lagu pop dengan berbagai versi dan cara ungkap.
Band pop seperti Koes Plus pada album Volume 5 (1972) memopulerkan lagu ”Nusantara”. Kemudian sejak Volume 8 dan seterusnya, Koes Plus menulis lagu bertema Nusantara secara berseri. Lirik lagu masih berpola penggambaran keindahan panorama, kekayaan alam negeri yang serba indah, subur, dan makmur. Akan tetapi, cara ungkapnya menggunakan idiom kaum muda dengan segala gaya mereka. Misalnya pada ”Nusantara” pertama: ”Hutannya lebat seperti rambutku,” atau ”Alamnya ramah seperti senyumku.”
Baca juga: Cinta, Air Mata, dan Jurus Ambyar
Kemudian seperti sudah menjadi kecenderungan dalam industri musik, sukses sebuah lagu akan diikuti lagu-lagu serupa. Panbers membuat lagu dalam bahasa Inggris ”Indonesia My Lovely Country”. Begitu pula Mercy\'s, Rollies, bahkan band rock semacam AKA juga pernah membuat lagu patriotik.
Pada paruh kedua tahun 1970-an, Guruh Soekarnoputra juga melahirkan sejumlah lagu bertema cinta Tanah Air, seperti ”Zamrud Khatulistiwa”, yang dipopulerkan Keenan Nasution. Ajang Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) yang digelar Radio Prambors melahirkan lagu ”Kharisma Indonesia” ciptaan I Ngurah Budiman yang dibawakan Louise Hutauruk.
Ungkapan cinta Tanah Air dalam lagu pop era 2000-an sudah tidak melulu bicara tentang keindahan alam negeri ini. Band Cokelat dalam lagu 100% Love Indonesia (2009) mengungkapkan cinta negeri dengan cara menggunakan dan membeli produk buatan Indonesia.
Kata-kata yang digunakan dalam lirik adalah bahasa sehari-hari. Bukan bahasa yang dindah-indahkan. ”Baju ini Indonesia/ HP ini buatan Indonesia/ Televisi Indonesia/ Semuanya serba Indonesia.... Isi bensin Indonesia/ Kain Batik Indonesia/ Kain songket Indonesia .... Karya anak bangsa buat kita kaya.”
Pada lagu ini, Cokelat berusaha memberi sentuhan kesan bunyi-bunyian dari berbagai daerah, seperti lantunan lagu dari Flores dan Aceh, suara angklung, perkusi kendang Sunda, dan permainan gitar dengan melodi bercengkok Jawa.
Baca juga: Mendengar Jerit dari Belakang Panggung
Ada pula kelompok Project Pop yang membawakan ”Dangdut is the Music of My Country”. Bagi Project Pop, rasa cinta Tanah Air perlu diwujudkan dengan menghargai keberagaman yang ada di sejumlah daerah di Indonesia. Musik dangdut dianggap bisa menyatukan keberagaman tersebut. Lirik disesuaikan dengan karakter Project Pop yang kocak.
”Ada orang Batak, ada orang Jawa/ Ada orang Ambon, ada juga orang Padang/ Ada orang Menado, ada orang Madura/ Ada orang Papua, enggak disebut jangan marah/ Apakah yang dapat menyatukan kita, salah satunya dengan musik/ Dangdut is the music of my country.”
Keberagaman
Sekitar 30 tahun sebelumnya, Rhoma Irama sudah bicara tentang keberagaman negeri dalam lagu ”135 Juta”. Rhoma menyebut Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa. Dalam lagu disebut Sunda, Jawa, Aceh, Padang, Batak, Betawi, Makassar, Bugis, Ambon, Dayak. Karena jumlah suku itu terlalu banyak untuk dimuat dalam lagu, maka Rhoma menulis, ”Dan banyak lagi yang lainnya...” Rhoma juga berpesan agar ”Janganlah saling menghina/ Satu suku-bangsa dengan lainnya/ Karena kita satu bangsa/ Dan satu bahasa Indonesia...”
Keberagaman dan harapan akan keharmonisan kehidupan semacam itu juga diungkapkan Jamal Mirdad pada lagu ”Nusantaraku” gubahan A Riyanto. Lagu ini cukup lengkap berisi penggambaran negeri, pesan-pesan dan harapan akan tata kehidupan yang ideal sebuah bangsa. Negeri yang indah, kaya raya, penduduknya tampan dan cantik, dengan perilaku lemah lembut, dan saling menghargai hak asasi.
Baca juga: Gembira Melepas Djaduk
Disebut pula Pancasila dan bendera Merah Putih sebagai pemersatu. Ada pula pesan untuk menjaga budaya dan lingkungan hidup. Lagu ini beredar pada 1981, dan beberapa waktu lalu lagu yang sama terdengar kembali lewat media sosial. Kali ini dibawakan oleh Lisa A Riyanto dan kawan-kawan. Ketika itu, isu keberagaman sedang ramai dibicarakan orang.
Lagu cinta Tanah Air memang ditulis saat rasa kebangsaan disentuh dan perlu didengar ketika rasa kebangsaan diusik dan terusik. Seorang pelaku industri musik pernah mengingatkan agar lagu cinta Tanah Air seharusnya diperdengarkan, tidak hanya pada hari-hari besar kebangsaan. Lagu cinta Tanah Air perlu terdengar setiap saat. Sebab, katanya, nasionalisme itu bukan semusim, bukan musiman.