Jiwa Seni dan Keadilan Sosial PK Ojong
Selain humanisme dan keadilan sosial, semangat yang dibawa PK Ojong dan juga Jakob Oetama (duet yang memiliki kekhasan watak, ibarat duet Soekarno dan Hatta), rupanya juga ada jiwa seni dari mereka.
Sangat sering terjadi, pendiri Kompas, Petrus Kanisius (PK) Ojong, ini kepergok terlibat pembicaraan dengan karyawan-karyawan rendah di perusahaannya, yang tengah menyandarkan sepeda motornya di parkiran Redaksi Kompas di Palmerah Selatan Jakarta pada tahun 1970-an.
”Apa kabar istrimu? Anakmu sudah sekolah?” Suatu ketika terdengar ia mengucapkan pertanyaan itu kepada seorang pesuruh, yang ia pergoki saat pagi-pagi Ojong ketemu di parkiran motor. Itu terjadi sekitar pukul 07.00 saat satu dua karyawan mulai berdatangan ke kompleks perusahaan media, yang menempati bekas sebuah bangunan Perusahaan Obat Konimex di Palmerah. Sebelum itu, Kompas berkantor di impitan bangunan di Pintu Besar Selatan Jakarta Kota sejak terbit pertama 28 Juni 1965.
Hampir setiap kali kepergok seperti itu, Ojong selalu berbaju sederhana, baju putih lengan pendek yang sedikit longgar di bagian lengannya. Kacamata dengan bingkai tebal, dengan celana gelap, tidak mirip pejabat tertinggi sebuah perusahaan. Ojong pada tahun-tahun awal berdirinya Kompas tahun 1970-an, sering dipergoki datang lebih awal dari para karyawannya, sembari menyapa terutama yang pangkatnya rendahan.
Sejak Kompas ”dilarang terbit” pertama kalinya oleh Pemerintah Orde Baru, pada 1 Oktober 1965 dan diperbolehkan terbit lagi pada 6 Oktober 1965, Ojong atau Auwyong Peng Koen pendiri Kompas ini lebih banyak memusatkan perhatiannya untuk mengelola bisnis Kompas, dan menyerahkan kebijakan redaksionalnya kepada partnernya, Jakob Oetama.
Ojong pada tahun-tahun awal berdirinya Kompas tahun 1970-an, sering dipergoki datang lebih awal daripada para karyawannya, sembari menyapa terutama yang pangkatnya rendahan.
Pembatasan pemberitaan akibat Gerakan 30 September 1965 dan isu Dewan Jenderal pada 1 Oktober itu membuat Ojong lebih menyibukkan di belakang layar. Apalagi, Auwyong yang mantan pendiri Star Weekly dan Kengpo pada 50-an, kurang disukai penguasa Orde Baru.
Pada 1970-an, sampai hampir tahun 2000-an, mungkin hanya Kompas yang memiliki semangat keadilan sosial, seperti tecermin dalam beberapa jaminan kesejahteraan pada para karyawannya. Tradisi uang makan yang sama besarnya, dari karyawan yang berpangkat rendahan sampai pemimpin redaksi adalah salah satu di antara semangat sosialis itu.
Uang makan harian sama besar yang diterimakan setiap akhir minggu atau awal minggu itu sering menjadi seloroh keakraban di antara para karyawan. ”Biar pangkatmu tinggi, uang makan kita sama besar, ha-ha-ha….,” kelakar karyawan Kompas dan awal-awal Kompas Gramedia waktu itu.
Selain uang makan yang sama besar dari pesuruh sampai bos, juga ada uang sampingan yang bikin tersenyum penerimanya. Seperti, uang jas hujan dan payung, setiap kali Jakarta memasuki musim hujan. Uang keadilan sosial seperti ini hilang, sejalan dengan perkembangan zaman, ketika Kompas dikelola para manajer muda pada era setelah 2000-an.
Kesejahteraan sosial yang humanis yang tentu saja digariskan pada awal berdirinya Kompas oleh PK Ojong alias Auwjong Peng Koen, juga terasa misalnya, ada ekstra feeding seperti ini: karyawan-karyawan percetakan ataupun pracetak dan bahkan tenaga penunjang redaksi yang bekerja malam hari sampai lewat tengah malam mendapat tambahan telur dua glundung tiap hari, untuk tambahan gizi agar badan sehat.
Hawa tinta cetak dan juga mesin cetak tidak jarang membuat para karyawan cetak ataupun jilid, pada mudah terserang sakit. Telur dan juga susu gratis dari ceret ”dapur umum” percetakan adalah menu sehari-hari, di samping ceret teh gratis.
Di kalangan pekerja redaksi yang biasa melobi para pejabat juga kecipratan semangat keadilan sosial dalam bentuk lain. Semisal, wartawan istana ataupun mereka yang sering bergaul dengan pejabat, baik di dalam atau di luar negeri, mendapat ”jatah uang jas”. Bentuknya? Setiap periode tertentu, menjelang tugas ke luar negeri, wartawan boleh mendapatkan sejumlah uang untuk membeli setelan jas agar tidak tampil memalukan di kalangan narasumbernya.
Ketika hampir seluruh wartawan Kompas masih mengendarai sepeda motor, umumnya sepeda motor skuter, pekerja-pekerja lapangan ini juga mendapat bantuan gratis bahan bakar sepeda motornya. Caranya, pemilik kendaraan membawa sepeda motornya mendatangi bengkel khusus milik Kompas di lingkungan perusahaan, tinggal menyiduk bensin yang ada di drum, tanpa perlu bayar. Asal jangan bawa pulang ke rumah dengan jeriken.
Asal jangan bawa pulang ke rumah dengan jeriken.
Ojong sangat keras terhadap tindak korupsi, seperti menguntit fasilitas ataupun ambil keuntungan dari ”bisnis di dalam lingkungan Kompas” untuk kepentingan pribadi. Seorang pesuruh yang sebenarnya setia sejak awal berdirinya Kompas, Pak T, dipecat gara-gara ketahuan menjual tumpukan koran Kompas yang tak habis dibagikan karyawan-karyawannya tiap hari.
Karyawan Kompas di tahun 1970-an dan 1980-an mendapat jatah gratis koran Kompas dan juga majalah-majalah terbitan Kompas Gramedia, seperti Intisari dan juga Bobo, Donald Bebek (dua terakhir ini sudah tak terbit lagi). Nah, tumpukan sisa yang tak terbagi ini kalau dikorupsi? Pak Ojong tak segan-segan memecatnya.
Juga, jika ternyata kedapatan ada karyawan yang melakukan semacam ”insider trading” seperti pengadaan material untuk bangunan kantor, atau bisnis lain di lingkungan kantor. Ojong sangat anti-pemanfaatan keuntungan pribadi di lingkungan Kompas Gramedia.
Uang cuti bagi karyawan, selain rutin jatah cuti dua minggu per tahun, diterimakan setiap karyawannya menjalani masa cuti. Bahkan, secara periodik setiap lima tahun sekali (giliran pertama diterimakan setelah karyawan memasuki masa kerja ke-10), karyawan juga berhak mendapatkan uang ”cuti besar” yang jumlahnya lebih besar daripada uang cuti rutin tahunan.
Ojong sangat anti-pemanfaatan keuntungan pribadi di lingkungan Kompas Gramedia.
Dan setiap cuti besar lima tahunan, karyawan mendapat hak tambahan berlibur dua minggu di luar jatah cuti rutinnya. Akan tetapi, jika cuti besar tidak diambil dua tahun setelahnya? Cuti besar itu hangus. Karena itu, tidak jarang, karyawan ambil cuti besar agar mendapat uangnya, kemudian pada praktiknya masih setengah-setengah kerja di kantor.
Jatah kendaraan berupa sepeda motor pun, diterimakan pada karyawan atau wartawan yang bekerja di lapangan. Mendapat pinjaman tanpa bunga dari kantor untuk beli sepeda motor, dan dipotong setiap bulan dari gaji, dalam jumlah yang relatif tidak besar. Demikian juga bagi pejabatnya, ada tunjangan membeli kendaraan jabatan, yang dipotong dari gaji setiap bulannya. Ini juga kurang lebih sampai tahun 2000-an.
Karyawan, tak peduli ia pesuruh, petugas keamanan (waktu itu belum musim cara outsourcing seperti masa kini) ataupun wartawan dan pejabat lain, juga mendapatkan fasilitas pinjaman perumahan dari kantor dengan jumlah kelipatan dari gaji pokoknya selama sekian kali, sesuai masa kerjanya. Uang pinjaman perumahan dari perusahaan ini, di masa kini sudah ditiadakan, dan karyawan memperoleh fasilitas perumahan dari pinjaman bank.
Pensiun karyawan, sampai tahun diterima karyawan 2000 mendapatkan pensiun seperti layaknya pegawai negeri, sampai pensiunan karyawan tersebut meninggal, dan jandanya meninggal. Dan rasanya, semangat keadilan sosial pada awal berdirinya Kompas seperti yang ditradisikan oleh kepemimpinan PK Ojong—yang hari-hari ini dirayakan 100 tahun usianya jika ia masih hidup—tidak terjadi di perusahaan media nasional yang lain saat itu.
Uang pinjaman perumahan dari perusahaan ini, di masa kini sudah ditiadakan, dan karyawan memperoleh fasilitas perumahan dari pinjaman bank.
Selain humanisme dan keadilan sosial, semangat yang dibawa PK Ojong dan juga Jakob Oetama (duet yang memiliki kekhasan watak, ibarat duet Soekarno dan Hatta), rupanya juga ada jiwa seni dari mereka. Ojong, selain memiliki hobi keramik-keramik antik (yang kemudian dijadikan koleksi milik Kompas sampai sekarang), ia juga memiliki selera tinggi di lukisan.
Ada puluhan benda seni Kompas, yang disimpan di gudang bawah tanah milik Kompas di Bentara Budaya Jakarta, di seberang gedung Kompas Gramedia, yang tak ternilai harganya. Lantaran, tidak hanya keramik-keramik kuno yang dimiliki, tetapi juga koleksi lukisan kelas maestro Indonesia ada di dalamnya. Beberapa di antaranya, sekitar 20 lukisan karya maestro lukis Affandi, Sudjojono, Hendra Gunawan, Trubus, Amri Yahya dan lainnya.
”Akan tetapi, koleksi Kompas yang tingkat master yang tiada duanya adalah lukisan-lukisan Bali,” ungkap salah satu kurator Bentara Budaya, yang kini sudah selesai masa tugasnya Ipong Purnomosidi, ”Bahkan (budayawan) Soedjatmoko pernah mengatakan ke Pak Jakob Oetama, koleksi lukisan Bali milik Kompas ini semuanya karya maestro, seperti Nyoman Lempad, Ida Bagus Made, Anak Agung Gde Sobrat, Ketut Kobot dan sebagainya,” tutur Ipong pula.
Selain mengoleksi dengan selera tinggi, hasil kurasi dan pilihan kurator yang juga karikaturis mendiang GM Sudarta (Oom Pasikom), juga Kompas melalui PK Ojong membeli lukisan-lukisan itu tidak asal beli putus, habis perkara seperti para kolektor top.
Selain humanisme dan keadilan sosial, semangat yang dibawa PK Ojong dan juga Jakob Oetama (duet yang memiliki kekhasan watak, ibarat duet Soekarno dan Hatta), rupanya juga ada jiwa seni dari mereka.
”Kompas memesan langsung dari para pelukisnya, dengan cara memberikan bantuan alat lukis pada senimannya,” tutur Ipong Purnomosidi pula. Kualitas hebat para maestro lukis Bali ini, menurut Ipong, tecermin dalam hal kualitas dan eksplorasi gagasannya.
”Cara melukisnya pun, sesuai tradisi Bali. Metode yang diterapkan adalah teknik seperti yang dipakai dalam lukisan wayang Kamasan, wayang tradisional Bali. Dengan suasana pemandangan kehidupan dan keseharian Bali,” ungkap Ipong, yang dirinya adalah juga pelukis lulusan Akademi Seri Rupa Indonesia, Yogyakarta, seperti juga kurator sebelumnya, GM Sudarta, almarhum.
Selera seni yang dirintis PK Ojong itu juga menular kepada Jakob Oetama, yang sampai kini pun memiliki lukisan-lukisan berkelas di rumahnya. Juga, di kalangan karyawannya, termasuk mas GM Sudarta, almarhum, adalah juga kolektor seni, dari lukisan, benda antik, sampai koleksi benda budaya seperti ukiran dan keris… *
(Jimmy S Harianto, Wartawan Kompas 1975-2012; Kini Tinggal di Jakarta)