Di Peron Stasiun Sirkirji
Apakah sekarang Turki baru dengan Kemalisme-nya sudah dianggap tua dan lapuk? Apakah kisah peron Stasiun Sirkirji, Istanbul, yang menjadi saksi bisu berakhirnya Kekhalifahan Ottoman Turki, bisa terjadi lagi?
Peron Stasiun Sirkirji (Sirkeci), Istanbul, Turki, menjadi saksi bisu berakhirnya, untuk selama-lamanya, Kekhalifahan Ottoman (Utsmaniyah) Turki. Ini adalah sebuah akhir tragis dari sebuah bab panjang dalam sejarah Turki. Sejak itu, Turki menjadi sebuah republik, Republik Turki, yang didirikan oleh Mustafa Kemal Ataturk.
Gelar Ataturk—yang berarti bapak bangsa Turki, sebagai bentuk pengakuan atas kepemimpinannya dalam pembentukan Turki modern—diberikan oleh Parlemen setelah kelahiran Republik Turki, 23 Oktober 1923.
Sebelum kemerdekaan didahului oleh penandatanganan Perjanjian Lausanne, Swiss, 24 Juli 1923. Perjanjian yang menentukan batas-batas wilayah Republik Turki sebagai kelanjutan dari Kekhalifahan Ottoman ditandatangani oleh wakil Turki di satu pihak; dan pihak lain adalah Inggris, Perancis, Italia, Jepang, Yunani, Romania, dan Kerajaan Serbs, Kroasia, serta Slovania (Yugoslavia). Penandatanganan Perjanjian Lausanne menandai berakhirnya PD I.
Kurang dari setahun sebelumnya, 1 November 1922, Majelis Nasional Agung Turki menghapus Kekhalifahan Ottoman. Padahal, baru empat tahun sebelumnya, Sultan Mehmed VI naik takhta. Setelah Sultan Mehmed VI diturunkan dan kesultanannya dihapus, Majelis Agung Nasional Turki pada 19 November 1922 mengangkat Abdul Mecit sebagai khalifah. Mulai 24 November 1922, Abdul Mecit mulai memerintah dari Istanbul (Eugene Rogan, 2015).
Akan tetapi, tidak seperti para pendahulunya ketika Kekhalifahan Ottoman masih jaya, Abdul Mecit hanya menduduki takhta selama 16 bulan. Oleh karena pada 3 Maret 1924, Majelis Nasional Agung Turki mengeluarkan undang-undang yang mengakhiri hidup kekhalifahan, memutuskan ikatan antara Turki (baru) dan Kekhalifahan Utsmaniyah. Undang-undang tersebut juga mengakhiri Abdul Mecit sebagai khalifah. Dan, Abdul Mecit serta seluruh keturunannya dilarang tinggal di wilayah Republik Turki (John Freely, 1996).
Penghapusan kekhalifahan menjadi topik penting media pada masa itu. Koran Le Temps (5 Maret 1924), misalnya, menganggap situasi baru ini sebagai revolusi dalam struktur politik, sosial, dan agama negara Turki. Koran ini juga menyatakan keputusan Majelis Nasional Agung sebagai hasil dari ideologi nasionalis dan sekuler Mustafa Kemal Ataturk (Gazia Dogan, 2016).
Inilah bab terakhir yang tragis itu.
Pada malam harinya, Abdul Mecit dan seluruh anggota keluarganya yang sebelumnya tinggal di Dolmabache Sarayi, Istana Dolmabache, sebuah bangunan indah yang berdiri di tepi Selat Bosphorus, harus meninggalkan tempat itu. Mereka diantar ke Stasiun KA Sirkirji (Sirkeci). Di stasiun sudah menuggu KA Simplon Express.
Kereta itu akan membawa mereka ke tempat pembuangan. Ketika akhirnya KA Simplon Express bergerak meninggalkan Stasiun Sirkirji membawa Abdul Mecit dan keluarganya meninggalkan Istanbul, saat itulah lembaran terakhir Kekhalifahan Ottoman ditutup. Ditutup untuk selamanya.
Mereka tidak pernah kembali lagi ke Turki. Khalifah terakhir, Abdul Mecit, meninggal di Paris, 23 Agustus 1944, dan dimakamkan di Madinah.
Turki baru
Sejarah Turki modern dimulai dengan lahirnya Republik Turki, 1923. Sistem politik Turki modern didominasi oleh Kemalisme dan secara langsung atau tidak langsung diperintah oleh militer.
Dalam Modernization of Turkey under Kamal Ataturk dinyatakan berdirinya Republik Turki menandai awal orientasi ideologi baru, yakni ”Turki Sekuler Modern”. Namun, modernisasi Turki tidak dapat dicapai selama monarki konstitusional masih tetap ada. Karena itu, pembaruan pertama yang dilakukan adalah penghapusan sultan dan kemudian diikuti penghapusan kekhalifahan pada tahun 1924.
Menurut M Jameelah (1975), penghapusan kedua hal tersebut—sultan dan kekhalifahan—mengejutkan dunia Muslim karena keduanya adalah simbol persatuan di antara umat Muslim seluruh dunia. Namun, Ataturk berpendapat perubahan radikal tersebut harus dilakukan untuk memberikan kedaulatan kepada bangsa Turki. Dalam pandangan Ataturk, penghapusan kedua hal tersebut akan membuka era baru bagi struktur ketatausahaan (administratif) Turki. Pendek kata, menurut Ataturk, semua dilakukan untuk kemajuan bangsa Turki.
Kemalisme menjadi inti dari Republik Turki modern pada 1930-an. Menurut Gazia Dogan, istilah Kemalisme, sebagai ideologi, diciptakan oleh Ahmet Cevat, seorang ahli bahasa Turki, penerjemah, dan penulis, pada tahun 1930. Dalam artikelnya, about the Great Turkish Revolution, ”tentang Revolusi Turki Hebat”, Ahmet Cevat menggambarkan Mustafa Kemal sebagai ”Panduan Besar”. Pada Desember 1930, Ali Naci Karacan, seorang wartawan, menyatakan di koran Inkilap (Revolusi) bahwa ”harus ada Kemalisme di Turki sebagai ideologi seperti komunisme di Uni Soviet dan fasisme di Italia”.
Baca juga : Ataturk, Hagia Sophia, dan Erdogan
Dua komponen utama Kemalisme adalah nasionalisme dan sekularisme. Pemikiran politik Barat-lah yang menginspirasi para pendiri Republik Turki. Ataturk melihat bahwa masyarakat Ottoman pasca-PD I banyak mengalami kemunduran, baik secara politik, sosial, maupun kultural. Untuk dapat menegaskan diri di antara kekuatan Eropa lainnya, masyarakat membutuhkan perubahan radikal.
Misi Ataturk adalah menjadikan bangsa Turki setara dengan bangsa Eropa secara sosial, pendidikan, dan kultural serta menjadikan Turki bagian dari komunitas internasional bangsa-bangsa modern. Dengan kata lain, Ataturk ingin ”menjadikan Turki negara Eropa” (Trias Kuncahyono, 2018).
Karena sebagian besar rakyat Turki belum terpapar ide-ide seperti itu, Ataturk memaksakan cita-cita ini pada negara dan masyarakat. Kemalisme, dengan demikian, tetap ideologi dominan negara dan politik dan dilindungi oleh militer.
Apa yang terjadi di Turki pada waktu itu, menurut Erik J Zürcher (2010), bukan hasil perkembangan alamiah yang tidak dapat dielakkan, tetapi merupakan hasil dari tindakan yang disengaja dari para pemimpin yang dimotivasi secara ideologis. Jadi lahirnya Turki baru, Turki modern dengan Kemalisme tidak hanya terjadi secara bertahap, tetapi juga pemenuhan suatu takdir, layaknya anak ayam yang harus sabar berada di dalam telur, sampai saatnya tiba kulit telur pecah dan keluar, menikmati dunia baru. Ini juga menggambarkan pencapaian fase sejarah yang lebih tinggi.
Proses panjang itu pernah dijelaskan oleh Ataturk pada 15 Oktober 1927. Di depan para wakil rakyat Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi/CHP), di Ankara, Ataturk menyampaikan pidato yang sangat terkenal, Büyük Nutuk (Pidato Akbar Terbuka), selama lebih dari 36 jam disampaikan selama enam hari berturut-turut. Ia menjelaskan proses lahirnya Republik Turki, negara Islam pertama dalam sejarah yang menjadi negara-bangsa modern dan demokrasi.
Menurut Aysel Morin & Ronald Lee (2010), Nutuk menandai titik balik nasionalisme Turki dengan memperkenalkan serangkaian mitos dan konsep baru yang kuat ke dalam wacana publik, seperti republik, demokrasi, kedaulatan bangsa, dan sekularisme. Ataturk menyebut konsep tersebut sebagai ”harta yang sangat berharga” milik bangsa Turki, ”fondasi” negara baru mereka, dan prasyarat ”eksistensi” mereka di masa depan. Dan, pidato itu dipandang sebagai salah satu sumber utama sejarah Turki modern, terutama oleh kaum Kemalis ortodoks.
Turki Erdogan
Zaman terus bergerak, perubahan-perubahan pun terus terjadi. Turki tak terkecuali. Pada 28 Juni 1996, untuk pertama kalinya sejak pembentukan Republik Turki pada tahun 1923, perdana menteri Turki adalah seorang pemimpin yang mengakui identitas personal dan filosofi politiknya adalah didasarkan pada Islam (M Hakan Yavuz, 2003).
Dengan memenangi 21,3 persen dari seluruh total suara (menguasai 158 kursi di Parlemen yang beranggotakan 550 orang), Partai Kesejahteraan (Refah Partisi/RP) pimpinan Necmettin Erbakan dapat membentuk pemerintahan koalisi bersama dengan Partai Jalan Benar (Dogru Yol Partisi/DYP) pimpinan Tansu Çiller.
Koalisi antara perdana menteri pro-Islamik Necmettin Erbakan dan Tansu Çiller yang sekularis ini, menurut M Hakan Yavuz, mencerminkan ketegangan dualistik yang melekat dalam identitas Turki kontemporer dan janji untuk datangnya era baru dalam interaksi masyarakat-bangsa Turki.
Namun, ”perubahan” itu tak berlangsung lama karena militer yang sejak berdirinya Republik Turki bertugas mengawal Kemalisme melakukan ”kudeta lunak” pada 28 Februari 1997. Sejarah seperti berulang. Pada tahun 2002, apa yang pernah terjadi pada tahun 1996 terjadi lagi.
Dari 18 partai politik yang ikut pemilu Parlemen, hanya dua partai yang memenuhi ambang batas (10 persen) untuk bisa duduk di Parlemen: Partai Pembangunan dan Keadilan (Adalet ve Kalkinma Partisi/AKP) yang meraih 34,26 persen (363 kursi) dan CHP yang memperoleh 19,40 persen (178 kursi). Inilah awal AKP memegang kekuasaan hingga kini.
Kemenangan AKP pimpinan Recep Tayyip Erdogan ini merupakan tantangan besar bagi Kemalis. Ada interpretasi kemenangan AKP ini, antara lain, sebagai sikap kelelahan rakyat terhadap kudeta militer yang setiap kali terjadi. Selain itu, juga karena adanya proses konsolidasi demokrasi, yang menciptakan ruang publik untuk pemilu yang bebas dan adil. Akibatnya memang menghasilkan dua kekuatan besar yang berhadap-hadapan: nasionalis sekuler dan Islamis, menerima perlunya pemilihan dan supremasi hukum sebagai jalan ke depan menuju demokratisasi (Md Muddassir Quamar, 2020).
Baca juga : Popularitas Erdogan di Tengah Kekosongan Kepemimpinan Arab
Setelah berkuasa, Erdogan dengan AKP mampu mengatasi militer dan memperoleh dukungan dari spektrum politik yang luas. Namun, Muddassir Quammar mencatat, perilaku otoriter Erdogan—yang telah memerintah negara itu sejak tahun 2003, pertama sebagai perdana menteri (hingga 2014) dan kemudian sebagai presiden (2014 sampai saat ini)—menimbulkan keprihatinan serius akan masa depan Turki dan demokrasi.
Ada beberapa perkembangan dalam 18 tahun pemerintahan Erdogan—yang dideskripsikan oleh beberapa orang sebagai ”Sultan neo-Ottoman”—yang menunjukkan meningkatnya ketidakpuasan di antara bagian masyarakat. Insiden seperti persidangan Ergenekon (2008-2013), protes Gezi Park (2013), dan kudeta gagal Juli 2016 menggarisbawahi keresahan di sebagian masyarakat, kaum cerdik pandai, dan militer.
Sementara dalam catatan Ceren Şengül (2020), Erdogan kelihatan jelas niatnya untuk menciptakan ”Turki baru”. Pertanyaannya adalah ”Turki baru” seperti apa yang akan diciptakan Erdogan menjelang ulang tahun ke-100 Republik Turki pada tahun 2023.
Kaum Kemalis juga melihat bahwa warisan Mustafa Kemal Ataturk—sekularisme—dalam bahaya. Meski hingga saat ini secara konstitusional Turki masih negara sekuler, kaum Kemalis mengatakan Turki akan berubah menjadi ”Iran yang lain”.
Kalau dahulu, Turki baru, yang diarsiteki Mustafa Kemal Ataturk, lahir karena Turki lama (Ottoman) dianggap tidak hanya sudah tua (didirikan akhir abad ke-13 dan bertahan hingga abad ke-20), tetapi juga lapuk (Erik J Zürcher, 2010), apakah sekarang Turki baru dengan Kemalisme-nya juga sudah dianggap tua dan lapuk. Dan, karena itu, Erdogan dengan partainya akan membangun—sudah dimulai—Turki yang lebih baru lagi sesuai dengan visi dan misinya serta ideologi yang dipegangnya selama ini?
Rasanya kisah seperti yang terjadi di peron Stasiun Sirkirji bisa terjadi lagi.