Idul Adha, Kontekstualisasi Perjuangan Nabi Ibrahim
Menyikapi beragam tantangan bersama, eliminasi egoisme kelompok dan kesabaran atau keteguhan menghadapi persoalan kehidupan di era adaptasi kebiasaan baru merupakan modal utama yang harus ditumbuhkembangkan.
Oleh
Abd A’la
·5 menit baca
Salah satu nilai penting hari raya Idul Adha adalah penyegaran ingatan kita atas totalitas komitmen, sikap, dan perilaku Nabi Ibrahim (AS) dalam melaksanakan perintah sang Ilahi untuk membangun kehidupan. Hari raya kurban mencerminkan senyatanya praksis eliminasi egoisme manusia dan pada saat yang sama menumbuhkembangkan kebersamaan dan solidaritas sosial.
Semua itu diletakkan dalam kerangka visi dan misi untuk mengemban amanah sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Tugas utama yang dipikul Ibrahim adalah melabuhkan kesejahteraan lahir batin dan kemakmuran hidup umat manusia melalui peneguhan spiritualitas humanistik, hubungan berkelanjutan secara horizontal antara sesama, dan secara vertikal antara manusia dan sang Pencipta, dan peneguhan kelestarian lingkungan dan ekosistem alam semesta.
Membaca secara holistik
Nabi Ibrahim (AS) sangat lekat dengan julukan bapak monoteisme. Melalui kiprahnya, ajaran ini secara eksplisit ia sebarkan kepada umat manusia. Bermula dari negeri Babylon, berlanjut ke Hebron, dan kemudian di Mesir, ia mengembangkan ajaran tersebut dengan penuh kesabaran. Tidak berhenti sampai di sana, ia menuju ke negeri Hijaz, daerah yang saat itu kering kerontang dan nyaris tidak ada tanda-tanda kehidupan. Di lembah yang dikelilingi pegunungan, Ibrahim meneguhkan keesaan Tuhan melalui pembangunan Kabah.
Perpindahan ayah Nabi Ismail dan Nabi Ishak itu dari satu negeri ke negeri lain tidak dapat dipahami sebagai suatu kegagalan, tetapi lebih sebagai keteguhan perjuangan untuk menyebarluaskan perjuangan dalam pengembangan nilai, ajaran, dan paham monoteisme. Keteguhan hati itu yang menjadikan Allah melalui Al Quran menjulukinya sebagai salah seorang tokoh yang bergelar ulul ’azmi.
Hari raya kurban mencerminkan senyatanya praksis eliminasi egoisme manusia dan pada saat yang sama menumbuhkembangkan kebersamaan dan solidaritas sosial.
Peristiwa sekitar 40.000 tahun lalu itu memang merupakan peristiwa besar yang merepresentasikan perjuangan sejati untuk pengembangan monoteisme transformatif. Ajaran ini menegaskan, umat manusia niscaya hanya boleh menyembah Allah, satu-satunya Al-Khaliq, Tuhan semesta alam.
Sementara selain Allah, apa pun dan siapa pun, adalah makhluk ciptaan-Nya yang sama sekali tidak boleh disembah. Dalam perspektif monoteisme Ibrahim dan kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Nabi Muhammad (SAW), keimanan harus ditransformasikan dan dilabuhkan ke dalam kehidupan nyata. Pengakuan atas keesaan Allah sebagai satu-satunya zat yang layak disembah mengharuskan manusia untuk meletakkan manusia yang lain dalam kesetaraan dan kesederajatan.
Seseorang tidak boleh memperlakukan yang lain sebagai Tuhan atau sebaliknya menganggapnya sebagai budak. Semua ini harus dibingkai dalam nilai-nilai kasih sayang, cinta, dan penuh kepedulian. Sikap kepada alam pun harus mencerminkan pandangan dan sikap semacam itu.
Semua itu tergambar jelas dari dalil burhani Ibrahim saat mematahkan klaim Namrud, raja Babylonia saat itu yang memosisikan dirinya setara dengan Tuhan. Despotisme Namrud yang mengaku bisa menghidupkan orang dan juga mematikan orang langsung dipatahkan dengan permintaan Ibrahim untuk membalik sunatullah, hukum alam; membalik rotasi bumi dalam mengelilingi matahari.
Keimanan Ibrahim tidak berhenti sebatas keyakinan semata. Ia menghadirkannya dalam kehidupan nyata. Saat diperintah untuk menjadikan putra tersayang sebagai kurban, ia tetap menjadikan sang anak, Ismail, sebagai manusia yang harus dihormati hak-haknya dan didekati dengan kasih sayang. Ia mengajak sang anak untuk berdialog. Pada saat yang sama, Ibrahim juga secara total menaati perintah sang Pencipta.
Ia membuang egoisme dirinya untuk mematuhi segala ajaran Tuhan. Dalam saat yang ”kritis” itu, Tuhan menunjukkan bahwa di mana pun dan sampai kapan pun, manusia tidak boleh dijadikan kurban, hatta untuk sang Pencipta. Apalagi tentunya untuk sesama. Maka, Allah mengganti kepasrahan total pengurbanan (dan pengorbanan) Ibrahim dengan seekor domba.
Pada sisi ini, eliminasi egoisme Ibrahim dan ”campur tangan” Tuhan dalam peristiwa kurban yang kemudian diabadikan melalui perayaan Idul Adha niscaya dimaknai secara holistik. Lebih dari itu, peristiwa kurban ini tidak bisa dilepaskan dari seluruh perjuangan Ibrahim yang lain. Mulai dari pembuktian kebenaran monoteisme di hadapan Namrud hingga kerja keras Ibrahim bersama Hajar, sang istri, untuk membangun lembah Hijaz sebagai pusat peradaban humanistik yang berbasis nilai-nilai transendental monoteistik.
Ia membuang egoisme dirinya untuk mematuhi segala ajaran Tuhan.
Melalui peradaban semacam itu, Ibrahim melabuhkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Mekkah yang terletak di lembah yang mati kemudian menjadi kawasan yang demikian hidup dan sebagai persinggahan para musafir atau pedagang—apa pun etnis dan identitasnya—yang melintasi daerah tersebut. Solidaritas dan kerja sama antarsesama terbangun secara alami.
Perjuangan Nabi Ibrahim juga terkait erat dengan keteguhan dan kesabaran yang menjadi bagian intrinsik dari kedirian dan kepribadian Ibrahim. Ia tidak pernah mengenal putus asa. Alih-alih, ia selalu bersyukur, yang diwujudkan salah satunya melalui pembangunan Kabah dan kawasan sekitar dan mengembangkannya sebagai kawasan yang hidup. Doa optimistik untuk masa depan kawasan itu juga dipanjatkan ke hadirat sang Ilahi.
Kontekstualisasi nilai
Nilai di balikperjuangan Nabi Ibrahim sangat urgen untuk dihadirkan kembali dengan pembacaan holistik ke dalam konteks kekinian, khususnya di Indonesia. Saat ini, masyarakat dalam adaptasi kebiasaan baru (AKB) sedang mengalami tantangan yang berat. Dari sisi ekonomi, kendati tidak seburuk perkembangan ekonomi global yang diperkirakan minus 6 sampai 7,6, masyarakat menganggap atau merasakan ekonomi Indonesia buruk.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia, Mei lalu (Kompas.com, 9/6/2020), menyebutkan, sebanyak 57,6 persen dari 1.200 responden menilai ekonomi Indonesia buruk dan sebanyak 23,4 menyatakan sangat buruk. Sampai kini pun tampaknya kondisi ini tidak mengalami perubahan signifikan.
Aspek politik juga memprihatinkan. Riak-riak politik identitas tampak di sana sini. Kepentingan kelompok dan sejenisnya dijadikan tujuan yang dibungkus beragam identitas, termasuk simbol agama, dari saat ke saat dan di banyak daerah menguak ke permukaan. Sekecil apa pun gerakan ini, jika pemerintah dan masyarakat salah merespons, akan menjadi semacam gunung es, yang tampak kecil di permukaan, padahal kenyataan yang tidak kelihatan demikian besar.
Dalam bidang sosial kesehatan, terutama ketaatan masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan juga masih sangat rendah. Sebagaimana disampaikan Prof Ridwan Amiruddin, epidemiolog Fakultas Kesehatan Universitas Hasanuddin, berdasarkan hasil survei, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan hanya 35 persen.
Dalam bidang sosial kesehatan, terutama ketaatan masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan juga masih sangat rendah.
Menyikapi beragam tantangan tersebut, eliminasi egoisme kelompok dan kesabaran atau keteguhan menghadapi persoalan kehidupan di era AKB merupakan modal utama yang harus ditumbuhkembangkan. Demikian pula, solidaritas sesama dan selalu bersyukur yang diaktualisasikan dalam optimisme dan berpikir positif niscaya diteguhkan dalam kehidupan pada berbagai aspeknya.
Berbagai elemen masyarakat dan masyarakat bersama pemerintah mutlak mengembangkan kebersamaan dan kerja sama. Semuanya ditujukan untuk masyarakat yang lebih sejahtera dan berkeadilan, bangsa yang bermartabat, dan NKRI yang kokoh. Pada titik ini salah satu nilai penting Idul Adha yang utama harus selalu disegarkan dari saat ke saat.
(Abd A’la, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya; Abdi Pesantren Annuqayah Latee, Sumenep)