Kluster-kluster baru penularan Covid-19 bermunculan, justru saat pemerintah mulai melonggarkan pembatasan sosial. Dari pasar, permukiman, hingga perkantoran.
Oleh
Editor
·2 menit baca
Kluster-kluster baru penularan Covid-19 bermunculan, justru saat pemerintah mulai melonggarkan pembatasan sosial. Dari pasar, permukiman, hingga perkantoran.
Hal ini sungguh kabar yang memprihatinkan meski sebenarnya sudah bisa diperkirakan. Ketergesaan melonggarkan pembatasan sosial, ketidakjelasan komunikasi, dan ketidakpatuhan pada protokol kesehatan menjadi faktornya.
Hingga Rabu (29/7/2020), Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan menginformasikan, ada 701 kluster penularan Covid-19 di Indonesia. Satgas Penanganan Covid-19 mengelompokkannya menjadi kluster pasar dan tempat pelelangan ikan, pesantren, transmisi lokal atau permukiman, fasilitas kesehatan, seminar, mal, tempat ibadah, serta perkantoran.
Di Jakarta, 68 kluster perkantoran—terutama lembaga pemerintah—sepanjang Juni-Juli ini bertambah 397 kasus. Total ada 440 kasus dari semula 43 kasus positif sebelum 4 Juni 2020: tanggal dimulainya masa transisi pembatasan sosial yang seiring masa normal baru dari pemerintah pusat.
Tingginya angka penularan ini bisa dikaji dari banyak sisi. Pelonggaran pembatasan sosial, masa transisi, era normal baru, atau apa pun namanya membuat orang kembali beraktivitas. Perkantoran, mal, dan tempat ibadah mulai dibuka, memungkinkan orang kembali berinteraksi. Mereka mungkin sudah menjaga jarak, memakai masker, dan rajin cuci tangan, tetapi ada saja titik-titik rentan penularan: saat menunggu serta naik kendaraan umum, saat masker dibuka untuk makan dan minum, saat diskusi intens, dan seterusnya.
Belum lagi dari sisi gedung. Ruangan ber-AC dengan sistem sirkulasi tertutup tentu lebih berpotensi menularkan virus daripada ruangan terbuka. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan, virus bisa bertahan di ruang tertutup.
Faktor lain adalah meningkatnya surveilans. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka penularan di lembaga pemerintah, bahkan di Kementerian Kesehatan. Menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti, sepanjang 6 Juni-26 Juli 2020, tim surveilans DKI Jakarta telah ke pasar, perkantoran, dan rumah ibadah serta menemukan 54 persen kasus positif tanpa gejala. Hasil penelusuran pada yang pernah berkontak dengan mereka menyumbang 3.694 kasus.
Pemeriksaan massal dan keterbukaan macam ini yang kita butuhkan untuk bisa segera mengendalikan penularan Covid-19. Karena itu, pemerintah perlu menggalakkan pemeriksaan massal di pelbagai ruang publik. Hasilnya bisa jadi akan mengejutkan. Namun, bukankah ini yang seharusnya kita lakukan sejak awal?
Melihat kondisi saat ini, agaknya sulit bagi pemerintah untuk kembali membatasi gerak. Pilihan terbaik adalah mengajak pengelola perkantoran, mal, pasar, dan permukiman mengadakan uji massal serta mengarantina mereka yang positif tanpa gejala. Ini diiringi sosialisasi, kasus positif bukanlah aib, sekaligus memberikan stimulus bagi yang taat. Tentu saja dengan tetap mengikuti protokol kesehatan dan memperbaiki sarana publik agar layak sehat.