Mencermati Angka Pengangguran
Secara umum, program pemerintah menangani dampak Covid-19, termasuk di bidang ketenagakerjaan, sudah berada di jalur yang benar. Yang diperlukan adalah penajaman program yang didasarkan detail permasalahan di pasar.
Pandemi Covid-19 telah memengaruhi semua aspek pembangunan ekonomi, termasuk pasar tenaga kerja. Karena permintaan tenaga kerja merupakan ”turunan” permintaan terhadap output, maka ketika produksi terganggu, permintaan tenaga kerja langsung terkena dampaknya.
Penurunan permintaan tenaga kerja ditandai oleh banyaknya pekerja yang dirumahkan (tetap dibayar ataupun tidak), atau terpaksa bekerja secara bergiliran, bahkan tak sedikit pula yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Kementerian Ketenagakerjaan mencatat per Mei 2020, setidaknya ada 1,7 juta pekerja terkena PHK. Sementara itu, ILO menduga pandemi Covid-19 akan berdampak pada 25 juta pekerja di Indonesia dan 2,8 juta di antaranya akan mengalami PHK atau dirumahkan.
Baca juga: Lonjakan Jumlah Penganggur Tidak Terhindarkan
Bertolak dari situ banyak pihak menduga akan terjadi ”ledakan” jumlah penganggur dan peningkatan angka pengangguran secara drastis. Kementerian Keuangan memperkirakan tahun ini jumlah penganggur akan bertambah 4-5 juta orang. Artinya, angka pengangguran kita bisa naik dari 5,28 persen (Agustus 2019) ke sekitar 7-8 persen pada 2020.
Beberapa lembaga internasional bahkan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah sehingga berimplikasi pada proyeksi pengangguran yang jauh lebih tinggi.
Bertolak dari situ banyak pihak menduga akan terjadi ”ledakan” jumlah penganggur dan peningkatan angka pengangguran secara drastis.
Mengingat implikasinya yang sangat besar pada kesejahteraan, perkembangan angka pengangguran pada masa pandemi perlu dicermati. Bukan saja jika terjadi kenaikan drastis, tetapi juga kalau angkanya ternyata ”biasa-biasa saja”. Mengapa demikian? Dengan skala berbeda, apa yang terjadi saat ini sebenarnya mirip situasi pasar kerja pada krisis 1998. Saat itu pun beberapa lembaga membuat proyeksi pengangguran.
Departemen Tenaga Kerja (waktu itu) memperkirakan angka pengangguran akan meningkat dari 4,68 persen (1997) menjadi 14,8 persen. Angka proyeksi Bappenas dan ILO 13,6 persen dan 10,0 persen. Kenyataannya, ketika tahun berikutnya (1999) BPS memublikasikan angka pengangguran 1998 secara resmi, hasilnya jauh di bawah itu semua, yaitu ”hanya” 5,2 persen!
Apa yang terjadi? Mengapa angka pengangguran (relatif) rendah, padahal pertumbuhan ekonomi merosot tajam (hingga minus 13,2 persen) ketika terjadi krisis? Bukankah berdasarkan rumus employment elasticity penyerapan tenaga kerja akan turun ketika pertumbuhan ekonomi negatif?
Baca juga: Jaminan Kerja Korban PHK Korona
Kunci jawaban untuk berbagai pertanyaan itu adalah tunjangan penganggur (unemployment benefit). Ketiadaan tunjangan penganggur di Indonesia (dan negara berkembang pada umumnya) menyebabkan hanya orang yang punya uang yang mampu hidup tanpa penghasilan (dari bekerja). Uang yang dimaksud dapat berupa pesangon, tabungan, hasil penjualan aset, atau pemberian orang lain (termasuk pemerintah). Tanpa itu, untuk bertahan hidup orang tak punya pilihan kecuali bekerja. Bekerja apa saja, dengan upah berapa saja.
Meski demikian, bukan berarti krisis saat itu tak berdampak pada pasar tenaga kerja. Dampak itu bukan pada lonjakan jumlah/angka penganggur. Hasil analisis penulis berdasarkan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) menunjukkan bahwa pada saat krisis terjadi perubahan status pekerjaan pada cukup banyak pekerja, dari formal menjadi informal. Kemungkinan besar ini karena pekerja yang terkena PHK beralih profesi jadi pekerja sektor informal untuk bertahan hidup.
Krisis ekonomi juga menyebabkan terjadinya peningkatan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). Cukup banyak orang yang sebelumnya tak aktif di pasar kerja berubah jadi angkatan kerja aktif di pasar kerja, baik sebagai pekerja maupun pencari kerja. Dampak krisis juga dirasakan dalam bentuk penurunan jam kerja pada pekerjaan utama.
Situasi krisis membuat intensitas kegiatan produksi/usaha jauh berkurang yang berimplikasi pada berkurangnya intensitas penggunaan tenaga kerja. Di luar itu semua, dampak krisis paling penting adalah terjadinya penurunan penghasilan di kalangan mereka yang berstatus pekerja.
Baca juga : Ketahanan Nasional dan Protokol Krisis
Dengan kata lain, pada masa krisis 1998, banyak orang tetap bekerja karena tak punya pilihan lain, tetapi kesejahteraannya merosot. Akibatnya angka pengangguran yang relatif ”biasa saja” tak secara baik menggambarkan ”penderitaan ekonomi” masyarakat pada masa sulit itu.
Pelajaran
Belajar dari pengalaman krisis 1998 itu, ledakan jumlah penganggur sebagai dampak pandemi Covid-19 sebenarnya belum tentu terjadi. Peningkatan angka pengangguran mungkin saja terjadi, tetapi belum tentu sebesar hasil proyeksi yang dibuat berbagai lembaga.
Sangat mungkin masalah di pasar tenaga kerja justru tak terlihat dari tingginya angka pengangguran. Dalam kondisi demikian, menyusun kebijakan ketenagakerjaan hanya dengan mengacu pada angka pengangguran bisa menimbulkan risiko berupa tak efektifnya program/kebijakan penanganan dampak pandemi di pasar tenaga kerja.
Seperti disinggung sebelumnya, ketiadaan tunjangan penganggur membuat tak semua orang sanggup menganggur. Orang yang terkena PHK dengan pesangon, misalnya. Untuk sementara waktu mereka akan sanggup menganggur dan hidup dengan mengandalkan uang pesangon.
Sangat mungkin masalah di pasar tenaga kerja justru tak terlihat dari tingginya angka pengangguran.
Orang yang punya tabungan juga demikian. Meski kehilangan pekerjaan, mereka masih dapat bertahan hidup dengan menggunakan uang tabungan. Demikian juga orang yang punya aset untuk dijual atau orang yang punya sanak famili yang yang bisa membantu. Mereka semua akan tetap bisa bertahan hidup meskipun tidak memiliki pekerjaan.
Akan tetapi, ketika uang pesangon habis atau bagi mereka yang terkena PHK tanpa pesangon, dirumahkan tanpa upah/gaji, tak punya tabungan, tak punya aset untuk dijual, atau tidak punya famili yang bisa membantu, mereka tak punya pilihan lain kecuali bekerja (apa saja), yang penting dapat uang untuk bertahan hidup.
Mereka adalah orang-orang yang terlalu miskin untuk menganggur. Mereka orang-orang yang secara statistik masuk kategori ”pekerja”, tetapi tak mampu keluar dari jerat kemiskinan. Mereka pekerja miskin. Tanpa bermaksud menggeneralisasi, secara sederhana keberadaan mereka dapat dilihat dalam wujud pelaku sektor informal, khususnya usaha mikro atau ultramikro.
Baca juga: UMKM Tetap Menjadi Katup Pengaman Ekonomi
Bansos dari pemerintah memang akan membantu, dan secara teori akan menurunkan dorongan untuk mau ”bekerja apa saja”. Akan tetapi, nilainya tetap terlalu kecil untuk membuat mereka mampu bertahan hidup tanpa bekerja. Artinya meski sudah ada bansos, mereka tetap harus bekerja.
Dalam masa pandemi, jumlah pekerja miskin diperkirakan akan jauh lebih banyak dibandingkan jumlah penganggur. Selain lebih banyak jumlahnya, kesejahteraan mereka lebih rendah dibandingkan dengan para penganggur. Oleh karena itu, akan kurang tepat kalau perhatian pemerintah di bidang ketenagakerjaan hanya terfokus kepada para penganggur.
Perlu sinergi
Secara umum, program pemerintah untuk menangani dampak Covid-19, termasuk di bidang ketenagakerjaan, sudah berada di jalur yang benar. Di satu sisi, pemerintah berusaha mendorong daya beli masyarakat melalui berbagai program bansos. Di sisi lain, stimulus diberikan kepada para pelaku usaha (langsung ataupun tak langsung) agar usaha mereka tetap berjalan dan permintaan terhadap tenaga kerja tetap terjaga.
Secara umum, program pemerintah untuk menangani dampak Covid-19, termasuk di bidang ketenagakerjaan, sudah berada di jalur yang benar.
Yang diperlukan adalah penajaman program yang didasarkan pada detail-detail permasalahan di pasar tenaga kerja. Jika nanti ternyata angka pengangguran tak setinggi yang diproyeksikan, pemerintah tak boleh ”santai” dan menganggap persoalan sudah terpecahkan. Perlu dilihat lebih dalam, misalnya, apakah terjadi peningkatan proporsi pekerja informal, apakah terjadi peningkatkan jumlah pekerja miskin dan sebagainya.
Mengingat proporsi pekerja informal di Indonesia masih sangat besar (lebih besar daripada pekerja formal), kebijakan ketenagakerjaan tak dapat dilepaskan dari upaya membantu pelaku usaha kecil dan mikro yang umumnya berstatus informal. Dalam kondisi demikian, kerja sama dan sinergi antar-kementerian/lembaga terkait menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan.
(Edy Priyono, Dosen FEB Universitas Indonesia dan Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden)