Istilah new normal sering sekali dilontarkan akhir-akhir ini. Mulai dari penguasa, turun ke pendengungnya, lalu menjalar di masyarakat.
Oleh
Lynda Ibrahim
·5 menit baca
Istilah new normal sering sekali dilontarkan akhir-akhir ini. Mulai dari penguasa, turun ke pendengungnya, lalu menjalar di masyarakat. Walau tak pernah didefinisikan ketat, orang menangkap artinya sebagai norma baru dalam beraktivitas selama pandemi.
Indonesia tidak sendiri dalam menghadapi buah simalakama antara kesehatan atau perekonomian. Bedanya, mungkin, negara lain yang bingung sempat memberlakukan karantina ketat (lockdown) disertai sanksi, bukan pembatasan berbasis imbauan tak bergigi. Rentetan keterlambatan dan ketidaktegasan pemerintah akhirnya bermuara pada terbelahnya rakyat mulai dari yang paranoia sampai yang memandang sebelah mata.
Senin, 15 Juni 2020, menandai dibukanya kembali usaha non-esensial dan relaksasi moda transportasi umum di Jakarta. Sementara car free day (CFD) di pusat kota dapat giliran dimulai lagi pada 21 Juni. Debat publik memanas, terutama karena penularan justru meroket pasca-Lebaran dan tes acak di kerumunan kerap berakhir positif, sementara pemerintah masih lemah dalam penelusuran kontak (contact tracing) pasien.
Bahkan, setelah menuai protes dan CFD dipecah ke 32 titik di Jakarta pada 28 Juni, Dinas Perhubungan DKI sendiri menyampaikan terpantaunya hampir 90.000 warga hadir di CFD. Artinya, ada 2.800-an manusia per titik selama 4-5 jam durasi CFD tersebut.
Adu opini di media sosial sering berakhir dengan debat kusir dan saling sindir. Yang setuju ekonomi dibuka dianggap buta ilmu kesehatan. Yang menentang dicap mati nurani karena membiarkan ”orang kecil” susah cari makan. Selain ancaman virus baru, publik ditambahi beban membela pilihan hidup sambil menahan hati melihat perilaku kelompok sebelah yang mereka anggap membahayakan. Kedua pihak ada benarnya, keduanya juga sama-sama tidak nyaman.
Setiap keramaian berpotensi jadi sumber penularan virus tak kasatmata yang belum ada vaksinnya secara resmi, ini fakta ilmiah. Fasilitas kesehatan Indonesia terbatas, ini realitas lapangan. Berkumpulnya 2.800-an orang per titik CFD selama beberapa jam, walau bergerak di ruang terbuka, tetaplah konsentrasi massa yang besar dalam kerangka pandemi yang belum ada penangkal dan penyembuhnya.
Di sisi lain, pengoperasian pusat perbelanjaan bukan sebatas memanjakan konsumen, melainkan juga soal pekerjaan ribuan penjaga toko serta petugas kebersihan dan satpam. Pengusaha yang mulai aktif pun bukan serta-merta drakula pemburu laba. Banyak yang sampai menjual aset usaha dan pribadi demi membayar THR dan tidak mem-PHK selama ini. Sebagian khawatir protokol operasional baru (baca: biaya baru) tak mumpuni mencegah penularan di antara karyawan dan pelanggan. Ada rasa tidak nyaman.
Solusi optimal sebenarnya ada, yaitu selama wabah, pemerintah menanggung biaya hidup warga negara sehingga tak ada yang perlu keluar rumah mencari uang. Tetapi, kita lihat sendiri seperti apa pelaksanaan bantuan sosial (bansos) sejak Maret.
Saya termasuk orang yang memberanikan diri masuk mal lagi atas nama rasa penasaran akan penerjemahan new normal di sana. Tepat 15 Juni lalu, saya mendatangi Pondok Indah Mall (PIM) di Jakarta Selatan, pilihan utama permukiman sekitar. Sejak ambil karcis parkir di gerbang, suhu saya dicek petugas satpam sebelum dicek lagi di pintu gedung dan sebagian pintu toko.
Toko-toko besar memalang akses sehingga tersisa satu titik masuk yang dijaga SPG bersenjatakan pengukur suhu dan pembersih tangan. Semua toko camilan menutup baki penyaji, sementara meja restoran dan pijakan eskalator dibubuhi garis demarkasi. Semua anggota staf sampai petugas kebersihan memakai masker dan perisai muka (face shield). Banyak kasir masih dilindungi lagi oleh partisi. Mungkin karena saat itu jam pertama pada hari pertama, pengunjung sedikit.
Beberapa hari kemudian, saya menengok Senayan City di Jakarta Pusat, destinasi warga beragam permukiman. Pengunjung harus memindai kode dan mengisi data di pintu, yang saya asumsikan sebagai bentuk contact tracing. Saya menemukan toko pakaian yang tak lagi menyediakan bilik mencoba. Protokol lainnya setara dengan PIM. Mungkin karena sudah hari kesekian, mal agak ramai walau belum seperti prapandemi.
Di kedua mal ada gerai yang memilih tetap tutup dan pengunjung yang memakai face shield. Yang duduk makan kerap mengedarkan pandangan, entah belum terbiasa dengan protokol baru atau khawatir diabadikan dan diviralkan. Saat saya mendadak bersin karena AC terlalu dingin, orang di sekitar tersentak. Ada rasa tidak nyaman.
Saya sendiri belum berani berlama-lama di gedung dengan sirkulasi udara tertutup, apalagi sampai makan yang mengharuskan membuka masker. Setelah menunaikan daftar urusan dan mengitari demi observasi, saya pulang. Ada rasa tidak nyaman. Itulah rasa yang tersisa selama dan sepulang beraktivitas di ruang publik, termasuk mal, setelah new normal.
Tak nyaman saat menggenggam botol pencoba (tester) krim tubuh, meraba baju, atau menyentuh pegangan eskalator karena tak tahu siapa yang menyentuh sebelumnya.
Tak nyaman saat harus mengeraskan suara menembus masker saat menjelaskan sesuatu kepada orang lain. Tak nyaman karena indera pencium terhalang masker, indera penglihat terlapisi perisai, dan indera peraba tersarung plastik. Tak nyaman karena setiap saat harus menjustifikasikan kepada diri sendiri atau orang-orang terkasih bahwa memang perlu keluar dan bukan sekadar lemah iman berdiam di rumah.
Mungkin rasa tidak nyaman itu juga, disadari atau tidak, yang membuat sebagian orang yang mengunggah bukti kedatangan mereka ke tempat publik, seperti restoran, mal, atau CFD, menyertakan pembelaan diri berlapis ganda. Bertahan sebelum diserang sesama rakyat. Terpecah belah dalam lingkaran ketidaknyamanan.
Jika saja penanganan pandemi di negara ini lebih dini, transparan, dan bebas delusi, mungkin semua ketidaknyamanan di atas bisa ditepis dengan keyakinan bahwa kalaupun sampai, amit-amit, terjadi penularan, kita pasti tertangani dengan baik. Mungkin ada yang sudah, tetapi saya belum punya keyakinan itu. Jadi, apabila sekarang ditanya arti kenormalan baru, bagi saya semua ini lebih terasa sebagai serangkaian ketidaknyamanan baru.