Sabtu, 25 Juli 2020, tepat 100 tahun PK Ojong, salah satu pendiri ”Kompas”. Peringatan seabad menjadi momentum untuk terus memperjuangkan Indonesia yang bebas dari korupsi, penyelewengan kekuasaan, dan pelanggaran HAM.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
”...Tugas pers bukanlah untuk menjilat yang berkuasa tapi justru untuk mengkritik yang sedang berkuasa. Selama beberapa tahun silam ini, pers sudah terlampau banyak menjilat…”
Kutipan itu saya ambil dari Kompasiana, sebuah rubrik bergengsi di harian Kompas, 6 April 1966. Pada masanya (tahun 1966-1971), Kompasiana adalah rubrik yang ditulis sendiri oleh Petrus Kanisius (PK) Ojong, salah seorang pendiri jarian Kompas bersama Jakob Oetama. Kedua tokoh yang saling melengkapi itu yang membangun fondasi harian Kompas yang sudah berusia 55 tahun.
Sabtu, 25 Juli 2020, tepat 100 tahun PK Ojong. Ia lahir 25 Juli 1920 dan meninggal dunia 31 Mei 1980. Rubrik Kompasiana adalah salah satu warisan jurnalistik dari Ojong. Sebelum mendirikan Kompas, Ojong adalah Pemimpin Redaksi Star Weekly. Majalah itu ditutup penguasa karena sikap kritisnya.
Ojong menulis sendiri kolomnya. Hampir tiap hari. Temanya beragam. Namun, isu soal hukum dan keadilan adalah tema sentral dari gagasan Ojong. Dari tema itu, ia pun meloncat dari gagasan ke aksi nyata, Ojong ikut terlibat dalam pendirian Lembaga Bantuan Hukum.
Dari buku PK Ojong-Kompasiana Esei Jurnalistik tentang Berbagai Masalah, Gramedia, 1981, terdapat 443 esai yang ditulis Ojong. Dari jumlah 443 itu, tema hukum dan keadilan sebanyak 72 artikel, menyusul soal masalah politik dan ideologi sebanyak 64, kepemimpinan sebanyak 57, media massa dan pers berjumlah 53. Selain itu, temanya bervariasi mulai dari asimilasi, layanan publik, kesenian dan kebudayaan, sampai masalah Kota Jakarta.
Hampir tiap hari Ojong menulis kolom itu. Gaya bahasanya pendek, lugas. Kritik disampaikan tanpa tedeng aling-aling. Cenderung konfrontatif. Tentunya, gaya jurnalisme Ojong tak bisa dilepaskan dalam konteks politik pada waktu itu. Konteks politik peralihan Orde Lama ke Orde Baru.
Semasa Orde Lama, profesinya sebagai wartawan terbentur. Mingguan Star Weekly ditutup bersama sejumlah media massa lain. Star Weekly dipimpin Ojong untuk menentang politik Orde Lama. Pengalaman itu boleh jadi ikut membentuk gaya jurnalisme Kompasiana pada masanya.
Gaya jurnalisme Ojong relatif sejalan dengan Mochtar Lubis, Pemimpin Redaksi Indonesia Raya. Ojong dan Mochtar Lubis punya keprihatinan yang sama soal maraknya korupsi dan model penyalahgunaan kekuasaan. Dalam buku Jurnalisme dan Politik di Indonesia, 2011, yang ditulis David T Hill, Mochtar Lubis mengonstruksikan Indonesia Raya sebagai ”koran utama pembongkar aib ibu kota”.
David Hill menulis, gaya Indonesia Raya sensasional dengan kebijakan redaksional investigatif yang agresif. Soal korupsi, misalnya, disinggung Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan yang memicu perdebatan, di Pusat Kebudayaan Jakarta, 6 April 1977, ”Kita biarkan elite kita ini memperkaya diri mereka dari tahun ke tahun, melakukan korupsi dan mencuri hak milik rakyat, semakin lama semakin besar.” Kemudian Mochtar Lubis mengutip Gandhi, ”Earth provides enough for everyone’s need, but nor for everyman’s greed’s. (Bumi menyediakan cukup untuk kebutuhan setiap orang, tetapi tidak bagi keserakahan setiap manusia.”
Sementara Ojong menulis pada Kompasiana, 6 April 1966, ”Menteri-menteri itu makin berpesta pora, sedang rakyat disuruh berkorban dengan gaji bulanan yang tidak cukup untuk dua minggu.” Soal korupsi yang merajalela, Tajuk Rencana Kompas, 14 September 1965, menulis, ”Soal pentjoleng ekonomi sekarang, ramai dibitjarakan lagi. Dibitjarakan lagi, sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. Jang ditunggu oleh rakjat sekarang bukanlah ’pembitjaraan lagi’, tapi tindakan kongkrit: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, tembak!”
Sebagai jurnalis yang bersikap hitam-putih, kukuh pada pendirian, Ojong akhirnya ”pasrah” berhenti menulis Kompasiana, sebuah rubrik yang banyak penggemarnya, tahun 1971. Bagi Ojong, menulis adalah tindakan politik yang harus sesuai dengan hati nuraninya.
Mochtar Lubis dalam testimoninya di buku Hidup Sederhana Berpikir Mulia karya Helen Iswara halaman 328 sempat bertanya kepada Ojong mengapa berhenti menulis. Dan Mochtar Lubis menceritakan pengakuan Ojong, ”Saya merasa tiada gunanya. Kalau kita hendak menulis seperti yang kita yakini kita harus menulis, maka kehidupan surat kabar akan terancam. Jika harus menulis seperti kehendak yang berkuasa, kita tidak dapat hidup damai dengan hati nurani kita. Bukankah lebih baik tidak menulis saja.”
Ojong dan Mochtar Lubis telah tiada. Peringatan seabad Ojong menjadi momentum untuk terus memperjuangkan Indonesia yang bebas dari korupsi, bebas dari penyelewengan kekuasaan, dan bebas dari pelanggaran hak asasi manusia. Sebuah perjuangan berat yang membutuhkan tenaga di tengah gejala fraternization antara pemerintah dan parlemen yang juga dikritik Ojong dalam Kompasiana.
Tantangan media berubah sesuai dengan zaman yang berubah pula. Bukan lagi oleh ancaman pembredelan dari pemerintah, melainkan kemarahan dari kelompok masyarakat yang tidak suka atau tidak siap dengan kritik. Pers dihadapkan pada tantangan di tengah disrupsi digital dan pandemi Covid-19.
Namun, dalam kondisi yang sulit, pers, organisasi pencerah, tetap diperlukan untuk menjalankan kontrol sosial. Pers haruslah tetap menjadi kekuatan tengah yang menyuarakan keprihatinan bangsa (conscience of nation) dan praktik korupsi yang masih marak.