”Food Estate”, Pertanian Kecil dan Ketahanan Nasional
Untuk memperkokoh ketahanan pangan, orientasi meminggirkan pertanian dan petani harus diubah. Pertanian dan petani harus ditempatkan sebagai persoalan bangsa, seperti pesan Presiden Soekarno di kampus IPB tahun 1952.
Diskusi ihwal langkah pemerintah mengembangkan food estate masih ramai. Pokok diskusi mengerucut pada dua hal. Pertama, langkah Presiden Jokowi menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai leading sector pengembangan food estate.
Pokok pertanyaan: mengapa bukan Menteri Pertanian? Bahkan ada yang mengaitkan ini dengan masalah politik. Bagi saya, isu leading sector bukan soal utama. Bukankah Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) bertindak sebagai leading produksi di food estate? Di luar itu, Mentan SYL juga tengah bergulat dengan hal yang mirip: mengembangkan lahan rawa.
Yang seharusnya jadi isu, menurut saya, justru yang kedua: akankah food estate kali ini berhasil? Tentu terlalu dini mengajukan pertanyaan ini. Selain dinilai bersifat menghakimi, program juga masih baru dan didesain multiyears–tecermin dari masuknya food estate dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.
Namun, pertanyaan ini amat relevan lantaran serangkaian kegagalan yang pernah terjadi pada program serupa di pemerintahan sebelum Presiden Jokowi. Dari program rice estate di Sumatera Selatan tahun 1970, pengembangan lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah tahun 1995, food estate di Merauke, hingga pencetakan sawah oleh BUMN di era Menteri BUMN Dahlan Iskan, belum satu pun yang mencatatkan keberhasilan.
Namun, pertanyaan ini amat relevan lantaran serangkaian kegagalan yang pernah terjadi pada program serupa di pemerintahan sebelum Presiden Jokowi.
Tentu pemerintah telah mempelajari secara saksama program-program itu, lalu menjadikan kegagalan sebagai cermin untuk mendesain ulang program agar berhasil. Sejauh informasi yang terekspose ke publik, food estate di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas, Kalteng, akan dikelola oleh sebuah badan, berbasiskan korporasi petani dan teknologi, aktivitas terintegrasi hulu-hilir mengintegrasikan pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam satu kawasan.
Memanfaatkan sebagian bekas lahan gambut sejuta hektar, program dikembangkan secara gradual: dimulai 30.000 hektar hingga 600.000 hektar.
Desain program seperti ini, pertama, adalah sebagai bagian bentuk kehati-hatian. Mengembangkan kawasan budidaya dalam luasan besar selain perlu waktu dan sentuhan teknologi, juga membutuhkan biaya yang besar.
Kedua, sudah saatnya negara hadir secara riil menjamin pangan warga. Jika selama ini negara hadir hanya lewat kebijakan, kali ini terjun nyata secara fisik di lahan sebagai operator tak langsung via korporasi. Ini penting karena selama ini aneka kebutuhan pangan 276 juta warga ditumpukan pada petani kecil.
Coba simak statistik sederhana produksi aneka pangan pada 2018 ini: 59,2 ton gabah kering giling, 30 juta ton jagung, 1,2 juta ton gula, dan 982.598 ton kedelai. Jika harga padi Rp 5.000 per kilogram GKG, jagung Rp 4.000 per kilogram, gula Rp 10.000 per kilogram, dan kedelai Rp 7.500 per kilogram, maka total nilai empat komoditas ini Rp 435 triliun.
Siapakah produsen empat komoditas itu? Tidak lain adalah pertanian skala kecil. Tak banyak kekuatan korporasi di Indonesia yang bisa melebihi kekuatan petani kecil. Hebatnya lagi, mereka memakai modal sendiri, tidak menanggung utang, bahkan gagal panen pun ditanggung sendiri.
Apa sumbangsih negara buat petani? Boleh dibilang amat minimal. Baik untuk penyediaan infrastruktur dasar, seperti bendungan, irigasi, jalan, dan transportasi maupun jaminan input produksi berkualitas (bibit, pupuk, obat-obatan) serta akses pada modal kerja.
Aneka skema asuransi telah dikenalkan, tapi belum menjangkau semua petani dalam arti luas. Yang amat menyedihkan: petani tak dijamin menerima harga menguntungkan. Apabila harga panen jatuh, petani berjuang sendiri. Sebaliknya, saat baru menikmati sedikit kenaikan harga, konsumen ribut. Pembelaan negara pun bias ke konsumen.
Apa sumbangsih negara buat petani? Boleh dibilang amat minimal.
Dipinggirkan
Pertanian kecil sebenarnya kekuatan ekonomi domestik yang tangguh. Ini terbukti saat menghadapi krisis 1998, 2008, dan pandemi Covid-19. Sayangnya, kekuatan ini lebih banyak disia-siakan. Indikatornya sederhana: pemilikan tanah petani kian mengecil. Ini ditandai oleh terus mengecilnya porsi aktivitas pertanian dalam menopang pendapatan keluarga.
Perbankan lebih banyak menyedot uang dari perdesaan ketimbang menyalurkan, harga produk hasil pertanian terus tertekan karena diatur ketat. Di sisi lain, warga desa mesti menebus produk nonpertanian yang harganya terus membubung. Jika ada investasi di desa bukan untuk membangun, tapi menyedot tenaga dan bahan mentah murah.
Wajah seperti ini jauh berkebalikan dari yang terjadi di negara-negara maju. Di Jepang dan di AS, misalnya, kepemilikan lahan petani terus meluas: menjadi rata-rata 10 hektar di Jepang dan 200 hektar di AS. Mereka dimuliakan, dilindungi, dan dijamin kehidupannya lewat puluhan, bahkan ratusan, undang-undang.
Gerak ekonomi negara-negara maju ini sepenuhnya ditopang sektor industri, tetapi tak serta-merta pertanian ditinggalkan. Mereka memeluk erat doktrin (dengan modifikasi) penasihat keamanan Presiden AS Richard Nixon, Henry Kissinger: Control oil and you control nations, control food and you control the people.
Apa yang salah dengan negara kita? Menurut Agus Pakpahan (2012) dalam buku Pembangunan sebagai Pemerdekaan, karut-marut pertanian sekarang karena ada ”sesat pikir” yang memandang pertanian dan petani bukan hal utama sehingga posisinya kian terpinggirkan. Dalam aneka teks perundang-undangan, posisi pertanian dan petani penuh sanjung-puja, tetapi dalam praktik ditaruh di belakang.
Ada Undang-Undang (UU) Pokok Agraria yang menjamin akses petani pada lahan, tapi UU itu masuk peti es. Investor diberikan akses pada ratusan ribu hektar lahan, sementara petani dibiarkan mengalami ”guremisasi”. Akibatnya, struktur ekonomi dualistik warisan kolonial tetap langgeng. Ini mengusik nurani dan keadilan.
Diakui atau tidak, peminggiran pertanian dan petani ini telah menyumbang pada kokoh-tidaknya ketahanan pangan nasional. Ini bisa dilihat setidaknya dari Global Food Security Index (GFHI) dan Global Hunger Index (GHI) 2019. GFSI Indonesia di urutan ke-62 dunia dari 113 negara.
Diakui atau tidak, peminggiran pertanian dan petani ini telah menyumbang pada kokoh-tidaknya ketahanan pangan nasional.
Di Asia Tenggara, kita hanya lebih baik dari Filipina, Kamboja, Myanmar, dan Laos. Indonesia menghadapi masalah serius pada pilar natural resources and resiliences, serta keamanan dan kualitas pangan.
Adapun GHI, Indonesia di urutan ke-70 dari 117 negara. Di Asia Tenggara, kita hanya lebih baik dari Filipina, Laos, Kamboja, dan Bangladesh. Ini karena jumlah kasus tengkes (stunting), anak kurus, dan kurang gizi masih sangat tinggi. Meski terus membaik, GHI Indonesia masih masuk kategori serius.
Untuk memperkokoh ketahanan pangan, orientasi meminggirkan pertanian dan petani harus diubah. Pertanian dan petani ditaruh di tempat terhormat. Apa itu? Pertanian dan petani—dengan produk utama pangan—harus ditempatkan sebagai persoalan bangsa, persis kala Presiden Soekarno meletakkan batu pertama kampus IPB pada 1952.
Orientasi harus mewujud dalam aneka turunan kebijakan: anggaran, kelembagaan, perdagangan, dan lainnya. Tatkala ketahanan pangan baik—yang tecermin dari ketersediaan, distribusi, akses, dan konsumsi—keresahan sosial-politik akan teredam.
Tatkala kondisi sosial-politik membaik, ketahanan nasional akan tegak. Dari food estate ini kita bisa berharap negara memulai langkah baru: tradisi memuliakan pertanian dan petani lewat korporasi.
Untuk memperkokoh ketahanan pangan, orientasi meminggirkan pertanian dan petani harus diubah. Pertanian dan petani ditaruh di tempat terhormat.
(Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-Sekarang))