Cadangan Strategis Pangan
Kita harus memikirkan pengelolaan Cadangan Strategis Pangan, baik oleh masyarakat, pemerintah daerah, maupun pusat, bagaimana memanfaatkan lahan kosong seperti taman kota, tepi jalan ditanami tanaman pangan.
Ketika Presiden Jokowi menugaskan Menteri Pertahanan Prabowo Soebianto untuk membuka lahan di Kalimantan Tengah dalam rangka membangun cadangan strategis pangan (CSP), banyak yang mempertanyakan mengapa tugas tersebut diberikan kepada Kementerian Pertahanan.
Penjelasan perihal CSP dari perspektif historis/empiris semoga dapat menjadi perhatian kita bersama. Sejarah kita mencatat, ketika Sultan Agung mempersiapkan diri untuk menyerang kedudukan Belanda di Batavia, raja Mataram ini membangun jaringan produksi beras dari pusat Mataram sampai Karawang.
Oleh karena itu apabila kita merujuk pada konsep ini, CSP pada dasarnya adalah konsep logistik militer. Menurut informasi konsep CSP juga terdapat pada dinasti kekaisaran di negeri China dan Jepang.
Presiden Jokowi yang ingin menyelesaikan kemungkinan adanya krisis pangan bertemu dengan pemikiran Menhan Prabowo yang ingin memperkuat pertahanan di bidang pangan. Intuisi seorang mantan prajurit akan tergerak, apabila suatu ketika terjadi perang, prajurit kita dan keluarga serta rakyatnya mendapat logistik pangan dari mana? Pemikiran itu berlanjut dan Menhan Prabowo berusaha mengisi kekosongan dengan membangun lumbung pangan nasional di Kalimanatan Tengah.
Presiden Jokowi yang ingin menyelesaikan kemungkinan adanya krisis pangan bertemu dengan pemikiran Menhan Prabowo yang ingin memperkuat pertahanan di bidang pangan.
Perlintasan kelembagaan
Setelah perang kemerdekaan, baik militer maupun sipil masing-masing mengurus logistik pangan sendiri. Pada tahun 1966 diintegrasikan dalam Komando Logistik Nasional (Kolognas). Oleh karena Kolognas dibubarkan, pada 1967 dibentuk lembaga yang mengurus logistik pangan militer dan sipil, yakni Badan Urusan Logistik (Bulog). Tugas Bulog kemudian diintegrasikan lagi dengan pembangunan pangan/perberasan sebagai stabilisator harga.
Operasi Bulog selanjutnya dikaitkan dengan Bank Indonesia, pada saat panen menggelontorkan kredit melalui Bulog untuk menggerakkan ekonomi petani dan pada paceklik menyedot uang dari masyarakat dengan penjualan melalui operasi pasar. Selain itu Bulog juga mengurangi peredaran uang pada awal bulan dengan menyalurkan ransum beras kepada PNS/TNI/Polri.
Sistem terintegrasi logistik militer, sipil dan pembangunan pertanian menjadi salah satu faktor penting dalam rangka pencapaian swasembada beras tahun 1984-1993. Bulog yang didirikan Presiden Soeharto merupakan lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang bisa menjalankan bisnis logistik pangan pemerintah. Sebaliknya, Pertamina sebagai perusahaan negara diperbolehkan mengatur sebagian hulu hilir yang berhubungan dengan minyak dan gas bumi.
Setelah reformasi kedudukan regulator dan operator dipisah. Untuk Pertamina dibentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), sedang untuk Bulog terlupakan. Presiden Soeharto membentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan (Menpangan) 1993, sebenarnya dalam rangka persiapan pemisahan antara regulator dan operator.
Pada saat terjadi krisis moneter 1997/1998, sistem terintegrasi yang dibangun selama 30 tahun tersebut dipreteli satu per satu dan lembaga Bulog pun nyaris dibubarkan. Untuk itu Menpangan AM Saifuddin bersama dua orang stafnya menghadap Presiden Habibie yang menggantikan Soeharto, untuk menjelaskan tentang tugas dan fungsi Bulog. Akhirnya Presiden Habibie sepakat Bulog mengurus hal-hal yang berkaitan non pasar.
Mungkin karena pemahaman tugas Bulog seperti di atas, Presiden Habibie menyetujui usulan Menpangan untuk menggunakan program Operasi Pasar Khusus (OPK) yang ada di Bulog untuk melakukan penyaluran beras bersubsidi kepada golongan masyarakat yang masih mempunyai sedikit daya beli, tetapi tidak mampu membeli beras Operasi Pasar Umum.
Untuk golongan masyarakat yang tidak mempunyai daya beli, prosedur tetapnya dilayani oleh Kementerian Sosial. Sebagaimana diketahui program OPK merupakan cikal bakal program penyaluran Raskin/Rastra.
Selanjutnya, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Inpres No 9 Tahun 2001 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan yang menugaskan Bulog untuk menyerap produksi petani, hasil penyerapannya digunakan untuk memperkuat stok cadangan, dan stok tersebut digunakan untuk jaminan penyaluran kepada golongan masyarakat miskin dan rawan pangan. Inpres kebijakan perberasan ini merupakan tonggak sejarah terintegrasinya kebijakan antara hulu, tengah dan hilir lagi.
Pada tahun 2004, ketika kebijakan impor beras bebas mulai dibatasi, dampaknya harga beras mulai bergerak naik. Untuk itu Menteri Koordinator Perekonomian Boediono menetapkan adanya cadangan beras pemerintah (CBP) sebesar 1 juta ton untuk mengatasi gejolak harga beras.
Realisasinya, pemerintah hanya menyediakan anggaran Rp 2,5 T untuk membeli cadangan beras Perum Bulog, kemudian hasil penjualan CBP langsung masuk ke rekening pemerintah. Dari kasus ini mulai dibedakan antara pembiayaan operasional Perum Bulog untuk penyaluran raskin dan untuk CPB.
Perkembangan terakhir pada 27 November 2019, pemerintah mengeluarkan peraturan skema baru pengadaan dan pengelolaan stok yang menyebabkan berakhirnya sistem kebijakan perberasan terintegrasi, penyaluran program Raskin/Rastra digantikan dengan sistem kupon. Dengan skema baru ini pada dasarnya pemerintah secara fisik tidak lagi memiliki CBP karena hanya membayar selisih harga pokok beras dan harga penjualan oleh Perum Bulog.
Dengan skema baru ini pada dasarnya pemerintah secara fisik tidak lagi memiliki CBP karena hanya membayar selisih harga pokok beras dan harga penjualan oleh Perum Bulog.
Cadangan strategis pangan
Untuk dibedakan, “cadangan strategis pangan” yang orientasinya lebih menekankan kepada kedudukan cadangannya, sedang “cadangan pangan strategis” yang orientasinya lebih kepada jenis pangannya. Jenis pangan dapat berubah sesuai dengan kenaikan pendapatan penduduk.
Pertahanan nasional dalam pengertian militer, menurut Wikipedia merupakan kekuatan bersama (sipil dan militer) yang diselenggarakan oleh suatu negara untuk menjamin integritas wilayahnya, perlindungan dari orang dan/atau menjaga kepentingan-kepentingannya.
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1994) pengertian cadangan merupakan sesuatu yang disediakan dan akan dipakai pada masa yang akan datang. Dengan demikian makna CSP adalah persediaan pangan yang berada di masyarakat dan yang dikuasai oleh pemerintah untuk kebutuhan besok, lusa dan kebutuhan lainnya dalam rangka perlindungan dari masyarakat dan negara dalam rangka menjaga kepentingan-kepentingannya.
Dari pemahaman dan pemaknaan diatas, maka CSP dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, cadangan pangan kuadran 1 (lini 1), yaitu cadangan pangan yang harus ada untuk dapat segera dikonsumsi yang berada di rumah tangga penduduk. Biasanya cadangan pangan ini dalam keadaan normal sekitar 10 hari, namun dalam keadaan tidak normal seperti saat ditimpa musibah pandemi persediaan dapat meningkat menjadi 20-30 hari.
Kedua, cadangan pangan kuadran 2 (lini 2), merupakan cadangan pangan yang berada di distributor untuk memenuhi permintaan pembeli rumah tangga. Jumlah cadangan di ini diperkirakan sejumlah permintaan rumah tangga untuk menjaga kontinuitas pasokannya.
Ketiga, cadangan pangan kuadran 3 (lini 3), merupakan cadangan pangan yang berada di alat pengolah/penggilingan, persediaan yang berada di petani berupa gabah dan yang ada disawah yang akan segera panen, serta persediaan yang ada di Bulog. Jumlah persediaan di kuadran 3 dapat mencapai 2-3 bulan untuk kebutuhan permintaan pasar dan lain-lain.
Keempat, cadangan pangan kuadran 4 (lini 4), berupa cadangan pangan tersembunyi yang berada di hutan dan rawa-rawa, di kebun penduduk dan perkebunan, di pekarangan, di taman kota, dipinggir jalan raya dan jalan tol, di jurang-jurang pinggir kali dan lembah dan sebagainya.
Dahulu di hutan-hutan masih ditumbuhi berbagai tumbuhan umbi-umbian seperti uwi, gembili, suweg, gadung, garut dan sebagainya yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat apabila terjadi kemarau panjang. Sewaktu terjadi perang gerilya di Vietnam melawan Amerika Serikat, digunakan cadangan pangan yang tersedia di hutan.
Sewaktu terjadi perang gerilya di Vietnam melawan Amerika Serikat, digunakan cadangan pangan yang tersedia di hutan.
Terkait CSP kita, pertama, pemanfaatan areal lumbung pangan nasional sebaiknya tidak hanya untuk CSP kuadran 3 (budi daya padi, jagung, singkong), tetapi juga perlu dipikirkan cadangan pangan kuadran 4, yakni untuk hutan cadangan pangan. Jenis tanaman disesuaikan dengan kedaan agroklimat setempat.
Kedua, ternyata banyak hal yang masih harus dipikirkan dan dikerjakan bersama. Yang jelas kita harus memikirkan pengelolaan CSP, baik oleh masyarakat, pemerintah daerah, maupun pusat. Taman kota, tepi jalan perkotaan, tepi jalan raya dan jalan tol sebaiknya mulai dipikirkan untuk sebagian dapat ditanami tanaman yang menghasilkan pangan seperti sukun, kelapa, kurma, nangka dan sebagainya.
Ketiga, CSP yang terbesar itu ternyata berada di masyarakat. Oleh karena itu perlu dukungan kebijakan yang kondusif agar berkembang, kecuali pemerintah memang ingin mengambil alih semuanya.
(Sapuan Gafar Sekretaris Menpangan 1993-1999, Alumni Lemhannas KRA XVII 1984)