Dalam film Legend (2015) dikisahkan dua bersaudara Ronnie dan Rennie Kray. Sang kakak mantan petinju dan adik psikopat. Keduanya kejam luar biasa. Mereka memimpin kelompok gangster di London era 1950-an.
Dalam suatu pertemuan, penasihat geng menyebutkan bahwa ”The Firm”, sebutan untuk kelompok mereka, sedang di puncak kejayaan. Para pengusaha berduyun-duyun bergabung, meminta perlindungan The Firm. Posisi ”terhormat” ini buah dari rangkaian aksi kekerasan dan teror mereka.
Jelaslah bahwa bagi mereka yang memilih karier sebagai preman atau gangster, segala aksi premanisme dan tindakan melawan hukum lainnya merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara rutin. Dengan ”disiplin”.
Bukan hanya untuk melibas pesaing agar tidak berani mengganggu atau semacam shock therapy untuk pesaing potensial, melainkan juga pembuktian eksistensi, pengaruh, kedigdayaan, dan upaya konsisten agar posisi tawar terhadap ”klien”, yaitu para pengguna jasa, tetap tinggi. Jika dianalogikan ke dalam konteks pemasaran dan promosi, kelompok preman harus konsisten membangun citra brutal dan sadis agar brand sebagai penguasa dunia hitam senantiasa kuat.
Beberapa waktu lalu, saya membaca headline ”Negara Tak Boleh Kalah” di Kompas yang memuat pernyataan petinggi Kepolisian RI bahwa segala aksi premanisme harus ditumpas dan Polri sebagai alat negara harus hadir dan mengatasinya. Ketika itu, baru saja terjadi tawuran antarkelompok preman yang memakan korban jiwa.
Sebagai warga yang memahami bahwa urusan pelayanan, pengamanan, dan perlindungan sepenuhnya diperankan kepolisian, saya memiliki harapan lebih jauh: polisi sebaiknya tidak hanya mampu bereaksi ketika aksi premanisme terjadi, tetapi juga mampu mencegah agar brand preman atau gangster tidak semakin kuat. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu terpaksa, apalagi tertarik, membeli jasanya.
Apalagi ketika preman menawarkan jasa perlindungan, sesuatu yang menjadi tugas polisi. Di sini akan berlaku hukum, jika brand yang satu menguat, brand yang lain melemah.
Denni, Karawaci, Tangerang
Regulasi Gawai
Pada 18 Oktober 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan Peraturan Menteri (PM) Nomor 11 Tahun 2019 terkait pengendalian gawai ilegal berdayakan International Mobile Equipment Identity (IMEI) dan seharusnya sudah berlaku per 18 April 2020.
Intinya, mulai 18 April 2020 tidak ada lagi gawai ilegal yang bisa diperdagangkan di Indonesia karena otomatis terblokir jika IMEI-nya tak terdaftar di sistem milik regulator.
Pejabat terkait mengatakan, regulasi ini akan menyelamatkan kebocoran devisa negara dari peredaran gawai ilegal, Rp 2 triliun per tahun.
Ironisnya, meski pembahasan regulasi itu melibatkan tiga kementerian, Perindustrian, Perdagangan, serta Komunikasi dan Informatika, dan sudah berlangsung bertahun-tahun silam, hingga hari ini PM No 11/2019 itu belum efektif.
Peredaran gawai ilegal tetap marak. Di samping itu, terindikasi ada pelanggaran hukum karena kecerobohan tersebut bisa dikategorikan ”memperkaya pihak lain” (importir nakal). Apalagi kecerobohan itu karena hal sepele: regulator tidak serius saat mengembangkan sistem untuk mencegat gawai ilegal sehingga hasilnya jauh dari harapan.
Kabarnya, sistem tersebut sebagian besar hasil sumbangan swasta asing dan operator telekomunikasi. Jika ini benar, sangat memprihatinkan. Ingin selamatkan kebocoran devisa Rp 2 triliun, tetapi tidak mau keluar modal. Miris!
Sutikno Teguh
Kompleks Taman Holis Indah, Bandung 40214