Setiap tanggal 23 Juli, bangsa ini merayakan Hari Anak Nasional. Generasi penerus itu kini masih didera banyak masalah, terutama pada masa pandemi Covid-19.
Oleh
Editor
·3 menit baca
Setiap tanggal 23 Juli, bangsa ini merayakan Hari Anak Nasional. Generasi penerus itu kini masih didera banyak masalah, terutama pada masa pandemi Covid-19.
Selama beberapa hari, mulai Senin (20/7/2020), harian ini melaporkan, masih terjadi berbagai kekerasan yang menimpa anak-anak di negeri ini. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tahun 2019 terjadi 4.369 kasus kekerasan terhadap anak, sebagian kasus kekerasan seksual, dan di antaranya dilakukan orang terdekat anak tersebut. Angka kekerasan pada anak tahun lalu itu lebih rendah dibandingkan tahun 2018, yang mencapai 4.885 kasus. Tahun 2017, kekerasan terhadap anak tercatat tak kurang dari 4.579 kasus.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melengkapi, hingga 14 Juli 2020 terjadi 736 kasus kekerasan pada anak dalam keluarga. Sebagian besar dilakukan orangtua. Padahal, seharusnya keluarga adalah tempat paling aman bagi anak. Saat keluarga tak bisa menjadi tempat berlindung, anak-anak yang terluka itu mencari perlindungan ke media sosial, dan sebagian lainnya berbagi pengalaman dengan teman atau melukai diri (Kompas, 20/7/2020).
Persoalan anak di negeri ini tak terbatas pada belum bebasnya dari kekerasan meskipun konstitusi menjamin siapa pun warga negara Indonesia harus bebas dari kekerasan dan tindakan diskriminasi. Anak-anak dari keluarga kurang mampu didera persoalan lain, misalnya pendidikannya belum tentu tuntas sembilan tahun, bahkan di antaranya terpaksa atau dipaksa harus bekerja. Pandemi Covid-19 membuat anak-anak itu kian menderita. Mereka menjadi korban pertama ketika orangtuanya kehilangan penghasilan.
Selama pandemi Covid-19, pemerintah membuat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), termasuk belajar dari rumah, dengan berbasis jaringan (internet). Tidak semua anak yang bersekolah bisa menjangkau kebijakan itu. Tak hanya di daerah tertinggal, sebagian anak di perkotaan pun tak bisa menjangkau pembelajaran jarak jauh. Mereka tak punya akses menikmati internet, tidak memiliki prasarana, atau tak memiliki dana untuk membeli paket data.
Sebagian anak Indonesia mengalami situasi yang tak mudah pada masa pandemi, bahkan sebelumnya. Jumlahnya bisa jadi bukanlah mayoritas dari seluruh generasi penerus negeri ini. Namun, mereka adalah anak-anak Indonesia, yang seluruh warga Nusantara memiliki kewajiban untuk membantunya. Anak-anak itulah masa depan kita, masa depan bangsa.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, mereka yang berusia kurang dari 18 tahun adalah anak-anak. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk negeri ini pada semester I-2020 tak kurang dari 268,58 juta jiwa. Badan Pusat Statistik menghitung, jumlah anak sekitar 30,1 persen dari jumlah penduduk atau tak kurang dari 80,84 juta jiwa.
Keluarga menjadi tempat pertama bagi perlindungan anak. Di sisi lain, pemerintah tak mungkin bisa mengurus anak-anak telantar atau keluarga tak mampu. Kita sebagai bangsa harus bersama menjaga anak-anak bangsa ini, dimulai dari anak-anak yang kurang beruntung di sekitar kita.