Akun media sosial harus dirawat dan diamankan karena bisa menjadi media pelantang dari pikiran atau ucapan penggunanya. Di sisi lain, otoritas keamanan siber perlu meningkatkan kemampuan dalam menghadapi para peretas.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kasus peretasan akun media sosial kian sering terjadi. Kasus terakhir menimpa 130 akun Twitter, antara lain milik mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.
Selama ini penyebab peretasan adalah kelalaian pemilik mengamankan akun, serangan masif ke perusahaan penyedia layanan media sosial, dan rekayasa psikologis sehingga orang tanpa sadar menyediakan akses (social engineering). Dalam kasus Twitter, pembobol melakukan rekayasa psikologis terhadap sejumlah karyawan perusahaan penyedia platform media sosial itu. Di negara tetangga Australia, survei tentang motivasi tindakan peretasan menemukan 59 persen alasan peretasan bertujuan kriminal. Peretas menyerang platform media sosial untuk mendapatkan keuntungan finansial.
Meski demikian, sejumlah ahli memperingatkan tentang peningkatan kasus peretasan akun-akun media sosial yang mempunyai tujuan lebih dari sekadar mendapat keuntungan uang. Bentuk-bentuk peretasan itu, antara lain, bertujuan membuat kekacauan pasar finansial, gangguan hubungan antarnegara, dan gangguan terhadap event politik.
Kita bisa membayangkan dampak peretasan akun milik seorang tokoh penting. Kemudian, peretas mengunggah konten, semisal isu SARA, sehingga muncul kekacauan sosial.
Contoh lain, semisal akun media atau pejabat otoritas keuangan diretas, kemudian ia mengunggah konten yang membingungkan pasar. Kita masih ingat ketika akun kantor berita AP diretas pada 2013 sehingga muncul berita Gedung Putih dibom. Pasar saham kacau balau dan anjlok hingga 150 poin. Kerugian valuasi pasar mencapai 136 miliar dollar AS.
Tantangan makin besar karena belakangan peretasan akun makin sering terjadi. Tahun 2018, Facebook dan Instagram diretas. Twitter sendiri sebelum kasus pekan lalu telah beberapa kali diretas. Tahun lalu malah akun CEO Twitter diretas. Awal tahun ini, sejumlah akun resmi milik perusahaan platform media sosial juga diretas sekelompok orang di Timur Tengah. Pekan lalu, tokoh seperti Bill Gates, Elon Musk, dan calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden, pun ikut diretas.
Tantangan makin besar karena belakangan peretasan akun makin sering terjadi.
Melihat permasalahan itu, kita tidak bisa menyandarkan keamanan akun pada perusahaan platform media sosial semata. Pemilik akun harus mengamankan secara mandiri dan selalu menyadari potensi risiko serangan. Oleh karena itu, kita perlu memandang akun media sosial bukan sekadar fasilitas mati. Akun-akun itu adalah peralatan ”hidup” yang harus dirawat dan diamankan karena bisa menjadi media pelantang dari pikiran atau ucapan pengguna.
Di sisi lain, otoritas harus mulai aktif melakukan penyadaran tentang keamanan digital. Perangkat hukum harus diperbarui meski sering tertinggal atau ketinggalan dari kejadian sebenarnya ketika sudah selesai dibuat. Otoritas keamanan siber juga perlu meningkatkan kemampuan dibandingkan dengan para peretas. Peningkatan kemampuan ini terus-menerus ibarat perlombaan yang tak pernah bakal usai.