Pancasila adalah nilai luhur bangsa yang bisa ditransformasikan menjadi vaksin bagi korupsi yang menggerus nilai-nilai peradaban bangsa. Jika diterapkan, Pancasila selalu memberikan jalan pembebasan bagi bangsa.
Oleh
Indra Tranggono
·4 menit baca
Korupsi lebih berbahaya daripada Covid-19. Licik, membahayakan, dan mematikan. Negara terancam bangkrut. Kebudayaan terancam stagnan. Kehidupan sosial-ekonomi terancam luluh lantak. Peradaban bisa longsor. Semua karena korupsi.
Menurut para pakar virus, sejatinya Covid-19 ringkih dan rapuh. Mereka luluh lantak dihajar detergen. Namun, jika manusia lengah, mereka bisa lincah dan gesit menembus dan menyusup sel-sel darah. Lalu mengirim para korban ke liang lahat.
Namun, sejahat, selicik, dan seberbahaya apa pun, Covid-19 masih bisa diatasi. Manusia bisa bertahan hidup dan sehat jika memenuhi protokol kesehatan. Selain itu, kehadiran vaksin jadi tameng.
Virus korupsi jauh lebih canggih daripada Covid-19. Ia mampu mengubah mental jujur menjadi mental mencuri/culas. Memang sudah ada ”protokol kesehatan” secara etik, moral, norma, dan hukum, tetapi belum efektif secara operasional.
Etika, moralitas, dan norma sosial mengajari orang mengambil jarak dari korupsi. Hukum memaksa orang tak melakukan korupsi sekaligus memberikan sanksi.
Namun, banyak orang justru dengan bangga mengambil ”jarak dekat” pada korupsi. Bahkan, mereka meleburkan diri menjadi aktor korupsi. Mereka pun rajin cuci tangan ketika kasus korupsinya terbongkar.
Layaknya virus, para aktor korupsi sangat cerdas, licik, dan keji merusak ”sel-sel darah” dalam tubuh negara. Daya tahan tubuh dan organ-organ negara pun terganggu. Negara pun demam. Sakit-sakitan.
Virus korupsi mampu melemahkan sistem. Lembaga-lembaga penegak hukum didorong jadi loyo dan kurang darah (ingat upaya pelemahan KPK secara sistemik yang terus dilakukan di setiap rezim). Dampaknya negatif. Penegakan hukum masih tebang pilih.
Para pencuri uang negara yang punya akses kuat pada kekuasaan cenderung tak tersentuh. Saat terjadi penangkapan para koruptor berbeking kuat, selalu ada banyak drama di baliknya.
Dalam sistem penegakan hukum yang sarat drama, keadilan pun membeku atau sengaja dibekukan jadi teks, yang hanya hadir di atas panggung, tetapi tak mewujud dalam realitas kehidupan. Di situ keadilan dikendalikan banyak aktor, sutradara, pimpinan produksi, dan sponsor.
Akibatnya, keadilan hanya hadir secara psikologis (jadi kesan) yang menimbulkan citra kebaikan, tetapi tak hadir secara sosiologis, di mana masyarakat semestinya dapat makna dan nilai.
Korupsi selalu terjadi dalam sistem yang lemah atau dilemahkan dan dirusak. Kata kunci dalam korupsi adalah kekuasaan. Perihal etika, moral, dan norma tak lebih dari ”cetak biru” nilai dan perilaku. Karena itu, sejatinya kejujuran dan keadilan seseorang diuji justru ketika ia berkuasa. Bukan ketika mereka jadi pengkhotbah moral.
Korupsi selalu terjadi dalam sistem yang lemah atau dilemahkan dan dirusak.
Dalam praktiknya, sering terjadi orang-orang yang semula terkesan bersih, alim, dan jujur ternyata berperilaku korup ketika berkuasa. Artinya, seluruh nilai kebaikan, kebenaran, keadilan, keindahan, dan kepatutan/kepantasan sering tidak berdaya di dalam praktik kehidupan. Nilai-nilai itu hanya berhenti sebagai pengetahuan kolektif. Ini disebabkan oleh kedigdayaan kekuasaan.
Kekuasaan yang tak terkoreksi dan terkontrol mampu mengubah manusia jujur, sederhana, dan bersih jadi makhluk keji dan rakus. Sistem yang dilemahkan dan dibikin buruk selalu memberi buah pahit bagi rakyat: kemiskinan, kemunduran budaya, dan peradaban.
Korupsi selalu terjadi karena didukung persekongkolan jahat. Di sini ada aktor-aktor yang berasal dari sektor negara (penyelenggara negara) yang bersekongkol dengan komunitas hitam hukum dan komunitas hitam ekonomi (pinjam istilah Bibit Samad Rianto, Wakil Ketua KPK, 2009-2011).
Politik, yuridis, kultural
Layaknya virus Covid-19, korupsi bisa dibasmi dengan vaksin. Setidaknya ada tiga jenis vaksin: vaksin politik untuk kekuasaan, vaksin yuridis untuk penegakan hukum, dan vaksin kultural untuk membangun nilai-nilai keadaban.
Kekuasaan adalah jantung atau episentrum korupsi. Menganalogikan dengan pandemi Covid-19, kekuasaan bisa disebut ”zona merah”. Di situ uang menggumpal. Di situ kekuasaan bisa diakali. Di situ persekongkolan banyak terjadi.
Vaksin yang dibutuhkan adalah penegakan sistem pemerintahan/penyelenggaraan negara yang rigid, konsisten, tegas, antinepotisme/feodalisme, dan bersanksi. Ini bisa dibangun dari kultur politik berperadaban. Tentu, butuh aktor politik berkapasitas negarawan atau kesatria konstitusi.
Vaksin yuridis berupa sistem penegakan hukum yang tak tersentuh diotak-atik atau dilemahkan kekuasaan, uang, dan berbagai kenikmatan. Aparat hukum yang dibutuhkan adalah mereka yang punya kapasitas pendekar: cakap secara teknis, berani, tangguh. Juga berintegritas dan berkomitmen atau berorientasi pada tanggung jawab sosial yang diwujudkan dalam pelayanan yang benar, baik, dan bermanfaat.
Aparat hukum harus dipahami sebagai pendekar keadilan yang suka tak suka mesti menghadapi komunitas hitam (para bedebah). Mereka harus berani bertarung mengalahkan golongan hitam. Narasi kepahlawanan harus ditorehkan.
Vaksin kultural bisa diwujudkan dalam sistem pendidikan formal dan nonformal berbasis logika, etika, estetika, moral, dan norma. Tak perlu jauh mencari orientasi. Penerapan sistem budaya bisa mengacu pada nilai-nilai yang dikandung Pancasila.
Pancasila adalah roh kebudayaan dan peradaban bangsa. Jika Pancasila dijalankan secara ketat, konsisten, dan terukur, moralitas sosial akan secara otomatis mewujud di masyarakat. Terbangunlah masyarakat etis yang berorientasi pada nilai-nilai vertikal (ketuhanan), dan horizontal (kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial).
Pancasila adalah nilai luhur bangsa yang bisa ditransformasikan menjadi vaksin bagi korupsi yang menggerus nilai-nilai peradaban bangsa. Jika diterapkan, Pancasila selalu memberikan jalan pembebasan bagi bangsa untuk terbebas dari virus korupsi.
Dengan berbasis nilai-nilai Pancasila, para pemimpin bisa melakukan langkah-langkah besar, baik secara legislatif, yudikatif, maupun eksekutif, demi mewujudkan harapan bangsa: makmur, adil, bebas dari virus korupsi.