Apabila pada 28 Juni 2020 Kompas berusia 55 tahun, saya sudah menjadi pembaca setia selama 54 tahun. Keluarga kami mulai berlangganan Kompas pada tahun 1966 saat saya masih duduk di kelas VI SD.
Berita yang masih saya ingat pada tahun itu adalah penangkapan Letkol Untung (Cakrabirawa) lengkap dengan fotonya. Kami enam bersaudara sudah terbiasa membaca Kompas, juga lay out-nya, sehingga ketika kami masing-masing berkeluarga bacaannya tetap Kompas.
Bagi saya pribadi, membaca Kompas merupakan kebutuhan primer, seperti ada yang kurang jika belum baca Kompas. Apabila bepergian ke luar kota dini hari, saat loper koran belum datang, saya membeli Kompas di perjalanan, di stasiun kereta api, atau di bandara. Sebelum ada cetak jarak jauh, jika bertugas di luar Pulau Jawa (misalnya Riau, Samarinda, Makassar), saya tetap menunggu Kompas meskipun baru bisa saya baca pada pukul 15.00. Bahkan, saat dirawat di rumah sakit pun, Kompas tidak saya lewatkan.
Profesi saya sebagai dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) mengharuskan saya untuk selalu mengakses media massa, termasuk membaca Kompas. Sejak dulu, saya mengkliping artikel yang saya anggap penting dan relevan dengan mata kuliah yang saya ampu. Tugas mahasiswa, bahkan ujian akhir semester, sering saya ambil dari rubrik-rubrik di Kompas.
Kepada mahasiswa, saya selalu katakan bahwa Kompas dapat dikategorikan sebagai quality paper untuk membedakannya dengan popular paper karena berita-berita Kompas memenuhi kriteria kualitas berita yang aktual, akurat, obyektif, dan berimbang.
Tesis magister saya tentang karikatur, di antaranya Oom Pasikom, dan untuk itu saya pernah mewawancarai GM Sudarta pada 1996. Sekalipun sekarang ada Kompasonline, saya masih tetap lebih suka membaca koran Kompas secara fisik. Ada sensasi tertentu ketika membuka lembar demi lembar yang membuat saya puas.
Sebagai orang yang mempelajari ilmu jurnalistik, terkadang ada hal yang kurang pas dalam penulisan berita di Kompas, tetapi saya masih bisa menoleransi. Selamat ulang tahun yang ke-55, semoga tetap terbit dengan pemberitaan yang berkualitas.
Dr Siti Karlinah
Jalan Gama, Kompleks Perumahan Unpad, Cigadung 2, Kode Pos 40191
Naik Turun Iuran BPJS
Harian Kompas sudah sering membahas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan secara mendalam, termasuk soal iuran. Setiap ada kenaikan iuran, selalu ada pro-kontra, apalagi baru-baru ini. Iuran dinaikkan, dibatalkan, lalu naik lagi.
Pertanyaannya, benarkah iuran BPJS Kesehatan mahal dan memberatkan rakyat?
Lazimnya, secara teori disebut mahal jika ada ketidakseimbangan antara manfaat dan biaya yang harus ditanggung. Pertanyaan berikutnya, apakah benar biaya yang ditanggung peserta lebih besar daripada manfaat?
Tentu jawabannya relatif. Namun, pengalaman banyak teman yang pernah menerima manfaat BPJS Kesehatan, misalnya paket kemoterapi dan radiasi bagi penderita kanker, cuci darah bagi penderita gagal ginjal, pasang ring untuk penderita jantung koroner, bahkan paket pemeliharaan warga manula yang sakit diabetes, dirasakan manfaatnya sangat besar. Sungguh tidak terbayang jika harus menanggung biaya sendiri.
Yang menjadi masalah adalah, kenapa saat kita sedang menghadapi pandemi Covid-19, saat ekonomi masyarakat sedang terpuruk, iuran BPJS Kesehatan dinaikkan?
Bagi pemerintah, memang tidak mudah menjelaskan masalah ini. Namun, kondisi yang dihadapi juga sangat berat (biaya penanganan Covid-19 sangat besar), sementara solusi tidak banyak. Tampaknya, dengan sangat terpaksa, pemerintah mengambil keputusan yang tidak populer.
Di sisi lain, sesungguhnya ini momentum menyadari betapa pentingnya kesehatan.
BHAROTO
Jalan Kelud Timur, Semarang