Ketegangan AS-China dan Jebakan Thucydides
Hubungan di antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan China yang terganggu sejak berkembangnya perang dagang di antara keduanya tahun 2018, menjadi semakin memburuk semenjak berkecamuknya pandemi Covid-19.
Hubungan di antara dua negara adidaya, Amerika Serikat (AS) dan China, yang terganggu sejak berkembangnya perang dagang di antara keduanya tahun 2018 menjadi semakin memburuk semenjak berkecamuknya pandemi Covid-19.
Perang pernyataan saling menuduh siapa yang salah dan bertanggung jawab terhadap malapetaka yang melanda dunia itu jelas tampak oleh kita semua. Kondisi yang memburuk ini bahkan telah menyebabkan munculnya pendapat bahwa hubungan keduanya telah memasuki tahap kritis, bahkan akan berakhir.
Akan tetapi, saya melihat masih terdapat harapan untuk tumbuhnya suasana kondusif guna meredanya ketegangan perdagangan dan ekonomi keuangan menuju hubungan kerja sama yang akan menguntungkan keduanya dan dunia. Syaratnya, ”hanya” bahwa kedua belah pihak bersedia kembali pada akal sehat atau common sense. Masih ada harapan membaiknya hubungan walaupun hanya secercah. Coba kita lihat kemungkinannya.
Perkembangan terakhir AS-China
Hubungan bilateral AS-China sejak adanya rekonsiliasi yang bersejarah tahun 1972 oleh pemerintahan Presiden Nixon dan Ketua Parta Komunis China Mao Zedong telah mengalami pasang surut. Ini baik menyangkut kerja sama maupun persaingan dalam politik, ekonomi, sosial, pertahanan, dan teknologi.
Masih ada harapan membaiknya hubungan walaupun hanya secercah.
Pada 2018, hubungan ini memburuk sewaktu Presiden AS Donald Trump melancarkan perang dagang. Perang dagang berawal dari keputusan AS menaikkan tarif bea masuk impor barang-barang dan jasa-jasa asal China dengan dalih bahwa negara tersebut telah melakukan praktik perdagangan tidak adil yang merugikan AS.
AS menuduh bahwa China telah melakukan pencurian rahasia perdagangan, memberikan subsidi kepada kegiatan ekspor, serta sengaja memperlemah nilai tukar RMB untuk mendorong ekspornya.
Semua ini secara bersama telah menyebabkan hubungan perdagangan bilateral mereka menghasilkan defisit neraca perdagangan bagi AS dalam jumlah besar dan meningkat. Secara bertahap dalam waktu berdekatan, kebijakan peningkatan tarif bea masuk dilakukan, dimulai dari hanya untuk mesin cuci dan panel tenaga surya (solar panel), kemudian terus diperluas dengan nilai impor yang semula hanya 35 miliar dollar AS sampai menjadi 500 miliar dollar AS.
Baca juga : Covid-19 dan Perang Dingin Baru AS-China
China menanggapi kebijakan AS tersebut dengan langkah-langkah serupa; meningkatkan tarif bea masuk impor barang dan jasa dari AS dengan nilai impor yang sepadan meskipun tidak pernah mencapai jumlah yang sama karena impor barang dan jasa China dari AS memang jauh lebih kecil dari yang sebaliknya. Salah satu produk yang besar adalah kedelai, di mana impor China memang besar dan terus meningkat selain untuk makanan penduduk, juga untuk pakan ternak.
Bagi AS, ekspor kedelai sangat penting secara politis karena kedelai adalah salah satu komoditas ekspor AS dari negara-negara bagian yang merupakan basis pendukung Presiden Trump.
Di awal tahun ini muncul harapan baru sebagai hasil sejumlah negosiasi delegasi kedua negara, baik di Beijing maupun Washington DC, selain pembicaraan telepon mereka, termasuk antara Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping. Pada medio Januari lalu telah dihasilkan kesepakatan, dikenal sebagai kesepakatan perdagangan AS-China tahap satu atau Phase One US-China Trade Agreement.
Baca juga: Menanti Perang Berakhir
Kesepakatan ini meliputi penurunan tarif bea masuk dengan setengah dari kenaikan sebelumnya dan tidak akan dilaksanakannya peningkatan tarif menjadi 25 persen untuk sejumlah barang dan jasa, termasuk telepon selular (cell phones), komputer laptop, mainan, dan pakaian. Sementara China berjanji meningkatkan nilai impor dari AS, termasuk komoditas pertanian, energi, barang-barang manufaktur serta melakukan perbaikan ketentuan tentang hak cipta (Intellectual Property Right/ IPR).
Akan tetapi, perkembangan yang memberi harapan ini cepat sirna karena wabah virus korona baru dan kebijakan penanganannya yang diwarnai pertimbangan politik dan menimbulkan permainan saling menuduh tentang siapa yang salah. Hal ini oleh Stephen Roach, pengajar Yale University dan mantan Chairman Morgan Stanley Asia, disebutkan menjadi penyebab berakhirnya hubungan kedua negara.
Covid-19, menurut Roach, menenggelamkan hubungan kerja sama AS dan China (The End of US-China Relationship, Project Syndicate, 27/4/2020).
Pemberitaan di media dan sejumlah ulasan para ahli serta jajak pendapat Pew menunjukkan bahwa masyarakat umum di kedua negara ini semakin diwarnai dengan kejengkelan dan kemarahan mereka satu terhadap yang lain.
Presiden Trump senang menggunakan istilah yang menyalahkan China, bahkan berbau rasialis, seperti sengaja menggunakan istilah ”Wuhan virus”, ”China virus”, bahkan ”kungflu” untuk menyebutkan virus korona meskipun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah memberikan nama Covid-19.
Baca juga: Tinggalkan Unilateralisme, Perkuat Multilateralisme
Selain itu, bersama Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan penasihat Presiden Trump dalam kebijakan perdagangan dan industri, Peter Navarro, mereka selalu menekankan bahwa Covid- 19 berasal dari suatu laboratorium di Wuhan untuk menuduh bahwa virus ini bukan menyebar secara alamiah melalui kelelawar, melainkan buatan manusia atau sengaja diciptakan.
Semua itu membuat China semakin teguh memegang posisinya untuk melawan tuduhan-tuduhan tersebut, yang kemudian menimbulkan pendapat, seperti dikemukakan Stephen Roach di atas.
Saya juga terpengaruh ikut mengkhawatirkan seperti saya utarakan dalam tulisan ”Digital Renmimbi and US-China Competition” (Independent Observer, 5-11/6/2020). Dalam tulisan tersebut, saya menunjukkan bahwa hubungan kedua negara adidaya ini memasuki perangkap Thucydides, poking Thucydides trap, minimal ke dalam suatu perang dingin baru.
Saling melengkapi
Mudah-mudahan saya tidak mengada-ada untuk mengajukan pendapat yang berubah dari pesimisme di atas. Saya coba mengungkapkan mengapa demikian, dimulai dengan pemberitaan tentang sesuatu yang agak aneh.
Yaitu bahwa Robert Lighthizer, Duta Besar Perwakilan Dagang AS (US Trade Representative/USTR) yang tugasnya memimpin delegasi AS dalam negosiasi masalah-masalah perdagangan diberitakan telah menyatakan bahwa dia sendiri tidak jelas mengenai apakah sasaran dari perang dagang yang dilancarkan AS sejak 2018 itu. Pernyataan itu dikemukakan Lighthizer dalam suatu acara di Chatham House, London (South China Morning, 10/7/2020). Kalau hal ini suatu kebijakan yang serius, tentunya pernyataan demikian tidak akan ada.
Selain itu, terdapat hal-hal yang lebih jelas mendorong untuk melunakkan ketegangan dan meningkatkan kerja sama bilateral sekiranya kedua belah pihak mengamati besaran-besaran ekonomi keuangan yang berkembang di kedua negara selama ini.
Dalam kaitan ini, Cheah Cheng Hye, co-chairman dari suatu perusahaan manajemen di Hong Kong menunjukkan dalam tulisannya ”US-China relationship can be saved despite corona virus and trade war” (SCMP, 1/7/2020), bahwa hubungan keduanya lebih bersifat saling tergantung (complementary) daripada saling bersaing (competitive).
Baca juga: Hikmah di Balik Perang Dagang AS-China
Apalagi saat ini AS sedang mengalami krisis ekonomi dan sosial yang berat dan akan lebih berat lagi kalau hubungan ini berkembang menjadi perang dingin baru. Perang dingin, apalagi perang fisik, jelas akan merugikan kedua belah pihak serta negara-negara lain di dunia.
Perang dingin, apalagi perang fisik, jelas akan merugikan kedua belah pihak serta negara-negara lain di dunia.
Ditunjukkan pula bahwa dalam menghadapi pandemi kebijakan yang dilakukan kedua pemerintahan sebetulnya lebih mirip dari pada sebaliknya. Pemerintah AS bersama bank sentral AS (The Fed) lebih banyak melakukan intervensi dalam perekonomiannya dengan melaksanakan stimulus fiskal yang sangat luar biasa besarnya dan menggunakan cara pembiayaan yang dikenal sebagai kebijakan moneter non-konvensional (unconventional monetary policy).
Di dalamnya termasuk debt monetization yang intinya membiayai pinjaman pemerintah dengan dana yang berasal dari bank sentral atau The Fed. Yang berkembang di China juga serupa, pemerintah bersama bank sentral China (People Bank of China/PBOC) melakukan stimulus fiskal besar-besaran dengan cara pembiayaan serupa.
Cara ini merupakan kelanjutan dari apa yang dikenal sejak AS menghadapi krisis keuangan karena masalah pinjaman di bawah standar dalam perumahan (subprime mortgage loans) tahun 2007/2008. Pada waktu krisis keuangan di AS tersebut tahun 2009 berkembang sistemik dan menjadi krisis keuangan global (Global Financial Crisis) dan diikuti dengan resesi berkepanjangan (the great recession), cara ini dilaksanakan sejumlah negara besar.
Teknik penanganan tersebut kemudian dipraktikkan oleh bank-bank sentral lain di Eropa dan Asia, terutama bank sentral Inggris (Bank of England/BoE), bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB), bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ).
Teknik ini menyangkut proses sekuritisasi pinjaman, di mana hak tagih pinjaman dikumpulkan dan dijadikan dasar untuk mengeluarkan instrumen keuangan, seperti sekuritas dan diperdagangkan di pasar uang. Suatu bentuk baru dari apa yang dalam ekonomi pembangunan awalnya dikenal sebagai deficit financing.
Sementara itu, China yang merupakan mitra dagang AS terbesar melakukan pelunakan sistem state capitalism-nya dengan langkah-langkah deregulasi dan tindakan lain yang membuka pasar. Dengan demikian, kedua negara ini melaksanakan kebijakan yang cenderung menjadi serupa.
Selain itu, China merupakan sumber barang dan jasa konsumen dengan harga yang lebih murah, sumber dana pinjaman, wisatawan, mahasiswa (mahasiswa China merupakan sepertiga dari mahasiswa asing di AS), dan tenaga kerja yang berkualitas buat AS.
Secercah harapan
China dengan 400 juta penduduk yang berpenghasilan menengah (middle class) adalah pasar terbesar di dunia, merupakan 31 persen sumber pertumbuhan konsumsi dunia dan sumber permintaan terhadap ekspor barang dan jasa AS meskipun, menurut statistik hubungan dagang bilateral antara AS-China, menunjukkan defisit neraca perdagangan AS sebesar 345 miliar dollar AS tahun 2019.
Jumlah tersebut tidak memperhitungkan penjualan perusahaan-perusahaan AS di China, seperti Apple, Nike, Starbuck, General Motor, Procter and Gamble, dan sebagainya yang merupakan penghasilan devisa serupa dengan ekspor AS. Nilai penjualan mereka memang tidak dikategorikan sebagai ekspor AS. Tulisan Cheah Cheng Hye menyebutkan, kalau semua ini diperhitungkan, sebetulnya hubungan perdagangan kedua negara lebih kurang berimbang.
Butir-butir di atas menunjukkan bahwa hubungan kedua negara adidaya ini sebenarnya lebih bersifat saling tergantung, bukan kompetitif. Sekiranya panalaran dan akal sehat dijadikan dasar hubungan, tentu jawabannya adalah diperkuatnya hubungan kerja sama, bukan persaingan yang menghasilkan ketegangan hubungan dan perang dagang seperti yang kita lihat sekarang.
Terakhir, saya akan masuk kepada sesuatu yang agak spekulatif. Pandemi Covid-19 yang berkembang pada waktu masih berkecamuknya perang dagang telah menumbuhkan tindakan saling menyalahkan, di mana pertimbangan politik lebih dikedepankan kedua belah pihak. Akan tetapi, dalam hal terakhir ini pun sebenarnya masih ada harapan untuk tumbuh kembalinya hubungan kerja sama saling menguntungkan.
Presiden Trump menghadapi tantangan yang besar dan berat untuk dapat terpilih lagi dalam pemilu presiden AS, November mendatang. Kritik yang semakin keras dilancarkan terhadap China digunakan sebagai salah satu upaya untuk menarik pemilih buat memenangkan dirinya. Sekiranya Presiden Trump terpilih kembali—bukan harapan penulis—saya kira retorika anti-China ini akan dihentikan dan diubah dengan upaya peningkatan kerja sama.
Sementara kalau mantan wapres Joe Biden yang menang pada November nanti, dari rekam jejaknya selama ini, termasuk tentu saja sebagai wakil Presiden Barrack Obama, Presiden Biden akan membawa AS kembali pada globalisasi dan multilateralisme yang menjadi ciri kebijakan luar negeri AS sampai diganti oleh Presiden Trump. Dengan demikian, menurut saya, ketegangan yang meningkat ini merupakan langkah politik yang akan ditinggalkan setelah Presiden AS yang baru terpilih pada November nanti.
Kalaupun ketegangan selama ini semula saya khawatirkan masuk sebagai kasus Thucydides trap, mudah-mudahan juga bukan yang tergolong berakhir dengan perang. Sebagaimana dikemukakan Prof Graham Allison dalam bukunya, dari 16 persaingan kekuatan antarnegara yang merupakan Thucydides traps dalam sejarah, 12 berakhir dengan peperangan. Artinya, ada empat yang tidak. Itulah yang mendasari harapan saya dalam masalah ketegangan AS-China, meski hanya secercah.
Dengan demikian, menurut saya, ketegangan yang meningkat ini merupakan langkah politik yang akan ditinggalkan setelah Presiden AS yang baru terpilih pada November nanti.
J Soedradjad Djiwandono Guru Besar Ekonomi Emeritus Universitas Indonesia