Kerja-kerja kreatif kesusastraan tak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seorang pengarang, kecuali dia termasuk segelintir dari pengarang beruntung yang diberkati.
Oleh
Anindita S Thayf
·4 menit baca
Sejak tahun 1952, Pramoedya Ananta Toer telah mengeluhkan soal kondisi finansial pengarang Indonesia.
Lewat dua esai, Hidup dan Kerja dan Keadaan Sosial Para Pengarang: Perbandingan Antarnegara, Pramoedya membandingkan pendapatan pengarang di China dengan pengarang di Indonesia. Saat itu, pengarang China mendapatkan bayaran Rp 1.000-Rp 3.000 untuk tiga halaman tulisan mereka, sementara pengarang Indonesia hanya dihargai Rp 30. Kondisi inilah yang, menurut Pramoedya, membuat pengarang di Indonesia mesti pontang-panting mencari pekerjaan lain agar bisa hidup.
Enam puluh delapan tahun kemudian, lewat esai Hancurnya Ekosistem Penulis?, Afrizal Malna masih mengeluhkan hal serupa. Kendati Afrizal termasuk pengarang yang sangat beruntung karena bisa berutang bayaran tulisannya ke redaksi media sebagai bekal perjalanannya ke luar negeri, dia tetap mengeluh tulisan-tulisannya di media daring tak dapat imbalan. Baginya, itu lebih semacam sedekah tulisan.
Enam puluh delapan tahun kemudian, lewat esai Hancurnya Ekosistem Penulis?, Afrizal Malna masih mengeluhkan hal serupa.
Situasi seputar kondisi finansial pengarang yang sedemikian redup rupanya tak hanya terjadi di dunia nyata. Dalam sebuah aplikasi permainan Writer Simulator 2, kehidupan pengarang disimulasikan sama tragisnya. Demi mendapatkan uang 200 dollar AS dari kontrak menulis novel setebal 400-an halaman, seorang pengarang harus bekerja selama delapan minggu. Padahal, dari pekerjaan lain sebagai petugas kebersihan, ia bisa dapat jumlah yang sama hanya dalam waktu satu hari.
Selain kondisi finansial yang tak kunjung membaik, beberapa orang mulai mengkhawatirkan keadaan pengarang saat dipaksa berhadap-hadapan dengan teknologi. Menurut mereka, penemuan teknologi yang bisa menciptakan puisi atau prosa dengan hasil tak kalah daripada karya-karya pengarang kelas wahid dunia merupakan ancaman bagi keberadaan pengarang kendati sesungguhnya tak demikian.
Tak bisa ditampik, perkembangan teknologi akan selalu jadi bagian dari perkembangan peradaban umat manusia. Namun, sedahsyat apa pun kecanggihan perkembangan teknologi nantinya, ia tetap tak akan sanggup menangkap apa yang disebut Mario Vargas Llosa sebagai keilahian, yang menuntun pengarang bisa menciptakan karya yang berjiwa.
Ratusan hingga ribuan karya sastra, baik yang tersimpan di perpustakaan maupun museum, telah membuktikan, pengarang selalu mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan teknologi. Sejak manusia menggoreskan tulisan di atas batu, kulit binatang, lontar, hingga kertas; menggunakan pena bulu, mesin ketik, hingga komputer, karya sastra tetap ada berkat kerja keras para pengarang yang berdedikasi. Merekalah pengarang sejati yang tak akan berhenti berkarya dalam situasi apa pun.
Sebagaimana penyair Wiji Thukul yang, dalam salah satu puisinya, berencana menulis dengan darahnya apabila sudah tak ada tinta dan arang. Pun, Sade yang terus berkarya dengan memakai kotorannya dari balik kungkungan penjara isolasinya.
Kondisi kesusastraan kita
Terlepas dari keluhan dan kekhawatiran di atas, kondisi kesusastraan kita kelihatannya baik-baik saja. Banyaknya pentas, festival, kongres, simposium, dan lomba bisa dijadikan tolok ukur bahwa kesusastraan kita masih menggeliat. Para pengarang pun banyak yang rajin tampil dari pentas ke pentas hingga sering kali jumlah karya yang dihasilkannya kalah banyak dengan jumlah acara kesusastraan yang dihadirinya.
Terlepas dari keluhan dan kekhawatiran di atas, kondisi kesusastraan kita kelihatannya baik-baik saja.
Berkat dukungan dana besar pemerintah pula, para pengarang diberikan kemudahan melancong ke luar negeri dalam bentuk program residensi. Jika Chairil Anwar pernah berkata ”yang bukan penyair, tidak ambil bagian”, inilah saatnya para pengarang, mulai dari yang baru menetas sampai yang nyaris pensiun, bisa ambil bagian. Tiada yang lebih sibuk ketimbang pengarang masa kini.
Inilah zaman ketika pengarang yang bersikap serupa pujangga zaman baheula, yang gemar bersunyi-sunyi sendirian mesti dipandang aneh. Ini pula masa ketika dunia kesusastraan telah memasuki alam demokrasi. Siapa pun bisa menjadi pengarang.
Seorang pengarang bukan lagi dia yang menunduk di atas buku dan kertas selama berjam-jam, bertahun-tahun, melainkan bisa saja seorang mahasiswa yang malas membuat sinopsis untuk tugasnya atau selebritas dengan kemampuan menulis pas-pasan. Selama orang itu sanggup membuat kalimat dan menggerakkan ceritanya dari awal ke akhir, berhasil menjual tulisan itu berbekal kepopuleran atau keberuntungan, jadilah dia pengarang dengan sejuta pembaca.
Buktinya, rak-rak toko buku disesaki nama-nama pengarang baru. Buku-buku karya pengarang angkatan sedasawarsa lalu, apalagi yang lebih tua, seperti Angkatan ’66, ’45, sampai Pujangga Baru, yang nama-namanya mudah dikenali dari buku pelajaran Bahasa Indonesia, tergeser ke rak pinggiran.
Seolah mendukung persaingan ketat tersebut, bermunculan media daring yang menyediakan sarana untuk menulis dan menerbitkan buku secara online. Yang dulu tampak sulit, kini penuh kemudahan.
Maka, menjamurlah pelatihan kepenulisan, baik yang bermentorkan pengarang yang baru menghasilkan satu-dua karya hingga pengarang senior yang kesulitan berkarya lagi. Bermunculan pula aplikasi menulis berpanduan komputer. Pada hari ini, seseorang tidak perlu lagi mengalami kesulitan mengarang sebagaimana tokoh bocah dalam cerpen Seno Gumira, Pelajaran Mengarang.
Dari yang melimpah itu, hanya sebagian kecil berlatar belakang pendidikan sastra.
Menengok kembali pada keluhan Pramoedya, yang sudah sering pula disampaikan banyak pengarang lain, kondisi finansial pengarang yang buruk ibarat takdir hidup orang miskin yang sulit diubah. Kerja-kerja kreatif kesusastraan tak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seorang pengarang, kecuali dia termasuk segelintir dari pengarang beruntung yang diberkati.
Namun, di antara begitu banyak ketidakpastian masa depan dari pekerjaan ini, hanya ada satu yang pasti. Sebagaimana ungkap Llosa dalam Surat-surat kepada Seorang Novelis Muda, bahwa menjadikan menulis sebagai cara terbaik untuk hidup akan selalu terasa lebih baik bagi siapa pun yang merasakan panggilannya.