Suriah kembali menggelar pemilu di tengah perang saudara. Seperti sebelumnya, pemilu ini dihelat hanya untuk melanggengkan kekuasaan Bashar al-Assad.
Oleh
Editor
·3 menit baca
Suriah kembali menggelar pemilu di tengah perang saudara. Seperti sebelumnya, pemilu ini dihelat hanya untuk melanggengkan kekuasaan Bashar al-Assad.
Pemilu tersebut digelar, Minggu (19/7/2020), untuk memilih 250 anggota parlemen. Meski disebut sebagai pemilu, jangan membayangkan hajat politik itu digelar seperti umumnya di negara demokrasi. Ada 1.658 kandidat yang disetujui pemerintah untuk memperebutkan 250 kursi Majelis Rakyat. Dari 250 kursi, sebanyak 167 kursi ditetapkan sebagai jatah partai yang berkuasa, Partai Baath Sosialis Arab, yang dipimpin Presiden Bashar al-Assad. Artinya, partai Assad mendapat posisi mayoritas yang solid di parlemen. Komite Peradilan Tinggi untuk Pemilu, penyelenggara pemilu, menyiapkan lebih dari 7.400 tempat pemungutan suara. Namun, tidak diumumkan berapa jumlah pemilih yang berhak memilih.
Pemilu parlemen di Suriah digelar tiap empat tahun sekali. Sebelum tahun ini, pemilu parlemen berlangsung pada 2012 dan 2016. Di sela-selanya, Suriah menyelenggarakan pemilu presiden pada 2014. Tak relevan memperdebatkan apakah pemilu itu digelar dengan menganut asas dan prinsip demokrasi atau tidak. Terlalu banyak persoalan, mulai dari masalah keterwakilan oposisi, partisipasi warga, cakupan wilayah, hingga proses pemantauan secara independen, yang membuat pemilu di Suriah sangat jauh dari demokratis. Oposisi menyebut pemilu itu hanya lelucon dan menghasilkan parlemen boneka. Wajar jika sebagian besar masyarakat internasional juga tak mengakui hasilnya.
Bagi Assad, penyelenggaraan pemilu selama perang saudara itu penting tak hanya untuk melegitimasi jabatan, tetapi juga untuk memperlihatkan wilayah kontrol kekuasaan. Pemilu presiden pada 2014, misalnya, digelar di 40 persen wilayah negara mengingat sekitar 60 persen wilayah masih dikuasai oposisi. Pada pemilu tahun 2016, masih banyak wilayah dikontrol oposisi. Berkat bantuan militer Rusia dan Iran, pasukan Assad merebut banyak wilayah sehingga pemilu tahun ini bisa digelar di 70 persen wilayah Suriah.
Namun, akibat perang berkepanjangan itu, pemilu kali ini berlangsung di tengah penderitaan rakyat Suriah. Lebih dari 400.000 orang tewas, lebih dari lima juta warga menjadi pengungsi. Inflasi tak terkendali, nilai mata uang Suriah terjun bebas di pasar gelap. Harga bahan pangan melonjak dua kali lipat, setahun terakhir. Ditambah dampak pandemi Covid-19, pukulan ekonomi itu makin berat bagi rakyat Suriah. Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut lebih dari 80 persen rakyat Suriah hidup dalam kemiskinan.
Setelah pemilu, parlemen baru Suriah berencana mengesahkan konstitusi baru. Assad juga bakal mengumumkan perdana menteri baru. Parlemen baru itu juga akan mengesahkan para kandidat untuk pemilu presiden berikutnya. Hampir pasti Assad bakal menjadi salah satu kandidatnya. Bulan lalu, Menteri Luar Negeri Suriah Walid al-Muallem mengatakan, Assad akan terus berkuasa ”selama rakyat Suriah menginginkan dia bertahan”. Di negara itu, pemilu adalah sarana untuk melanggengkan kekuasaan Bashar al-Assad.