Membidik Peluang Kerja Sama Ekonomi RI-Afrika
Guna membidik peluang kerja sama ekonomi Indonesia-Afrika pada masa pandemi dan ”new normal”, diperlukan bebeapa strategi, di antaranya mengidentifikasi produk Indonesia yang memiliki daya saing tinggi.
Krisis Covid-19 sedang memengaruhi ekonomi seluruh dunia, termasuk negara-negara di Benua Afrika. Beberapa sektor utama ekonomi Afrika sedang mengalami guncangan sebagai akibat pandemi. Sektor pariwisata, transportasi udara, dan minyak mengalami dampak terburuk.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi global bisa turun menjadi 0,5 persen akibat pandemi Covid-19. Ekonomi global akan memasuki resesi tahun 2020 ketika terjadi pengaruh langsung dan tidak langsung dari krisis, seperti guncangan permintaan dan penawaran, kemorosotan komoditas, serta penurunan pariwisata.
Per 1 Juli 2020, penyebaran virus telah mencapai ke 50 negara Afrika dengan 404.796 kasus, 192.600 sembuh, dan 10.147 kematian atau 2,5 persen, di mana persentase tersebut lebih rendah daripada persentase kematian dunia.
Salah satu kawasan di dunia yang akan berdampak sangat buruk terhadap perekonomian akibat Covid-19 adalah Benua Afrika. Menurut Institut Brookings, Afrika merupakan benua yang sedang berperang melawan kemiskinan karena sepertiga penduduknya atau sekitar 445 juta hidup di bawah garis kemiskinan.
Sektor informal merupakan sektor yang paling terpukul akibat pandemi, padahal sektor informal berkontribusi terbesar terhadap lapangan kerja. Seperti yang diperkirakan oleh ILO bahwa 66 persen total pekerjaan di Afrika berada di sektor informal yang menyediakan sekitar 80 persen lapangan kerja dan berkontribusi terhadap lebih dari 50 persen produk domestik bruto (PDB).
Salah satu kawasan di dunia yang akan berdampak sangat buruk terhadap perekonomian akibat Covid-19 adalah Benua Afrika.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah berjuang keras dengan cara terbaik untuk mengatasi pandemi Covid-19. Saat ini Afrika masih mengalami masa pandemi dan beberapa negara di Afrika telah memasuki masa new normal dan melakukan bisnis melalui sarana virtual.
Sebelum terjadi pandemi, pertumbuhan produk domestik bruto semua negara Afrika diproyeksikan mencapai 3,4 persen tahun 2020. Namun, akibat pandemi, Komisi Ekonomi Afrika memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Afrika akan turun menjadi 1,8 persen.
Pendapatan dari ekspor bahan bakar mengalami penurunan sekitar 101 miliar dollar AS, juga remitansi dan pendapatan dari sektor pariwisata, aliran investasi asing langsung, modal asing akan mengalami penurunan disertai pengetatan pasar keuangan domestik, dan perlambatan investasi intra Afrika yang berdampak terhadap kehilangan pekerjaan yang diproyeksikan sekitar 20 juta orang.
Moratorium utang Afrika
Membayar atau tidak membayar di tengah pandemi adalah pertanyaan beberapa negara Afrika yang sedang berenang di lautan utang luar negeri. Para pemimpin Afrika menyerukan pembatalan utang guna menyelamatkan perekonomian.
Perdana Menteri Etiopia meyampaikan agar negara-negara kreditor memperhatikan fakta bahwa 64 negara di dunia pada 2019, sekitar separuhnya merupakan negara Afrika sub-Sahara menghabiskan anggaran lebih besar untuk pembayaran utang luar negeri daripada kesehatan sehingga negara-negara tersebut tidak siap menghadapi situasi pandemi.
Menurut IMF, terdapat tujuh negara di Afrika, yaitu Eritrea, Gambia, Mozambique, Republik Kongo, Sao Tome and Principe, Sudan Selatan, dan Zimbabwe, sudah berada dalam kondisi debt distress sebelum dimulainya situasi pandemi. Sementara itu, sembilan negara lain, termasuk Etiopia, Ghana, dan Kamerun, sudah masuk dalam kategori high risk of debt distress.
Mengantisipasi meningkatnya beban ekonomi negara-negara miskin dan sebagai respons para pemangku kepentingan utama, termasuk IMF dan Bank Dunia telah mendorong moratorium pembayaran utang guna memberi ruang bernapas bagi ekonomi Afrika. Dewan eksekutif IMF menyetujui bantuan layanan utang untuk 25 negara anggota IMF, 19 di antaranya berasal dari Afrika.
Kelompok Bank Dunia yang memberikan pinjaman kepada negara-negara berpenghasilan menengah akan menangguhkan pembayaran 20 miliar dollar AS layanan utang, termasuk 8 miliar dollar AS dari kreditor sektor swasta. Negara-negara G-20 sepakat menunda pembayaran layanan utang bilateral hingga akhir tahun 2020 untuk 76 negara paling rentan yang memenuhi syarat untuk pinjaman paling lunak dari Bank Dunia, termasuk 40 negara Afrika sub-Sahara.
Sejak akhir 1990, terutama setelah diluncurkan program Belt and Road Iniciative, Tiongkok menjadi pemberi pinjaman terbesar bagi negara-negara berpenghasilan rendah, termasuk Afrika, di mana utang Afrika terhadap Tiongkok sebesar 145 miliar dollar AS. Menteri Keuangan Tiongkok Liu Kun menyampaikan, Tiongkok akan mendukung penangguhan pembayaran utang oleh negara-negara miskin dan akan memberikan kontribusi yang diperlukan sesuai konsensus yang dicapai pada G-20.
Peluang kerja sama ekonomi Indonesia dan Afrika
Selama ini Indonesia berupaya menjaga momentum penguatan hubungan ekonomi dengan negara-negara di Afrika. Babak baru hubungan ekonomi Indonesia dan Afrika dimulai dengan pelaksanaan Indonesia-Afrika Forum (IAF) tahun 2018 yang dilanjutkan dengan penyelenggaraan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue (IAID) tahun 2019. Kedua event tersebut sukses memperkuat hubungan ekonomi Indonesia-Afrika dalam menciptakan kesepakatan bisnis dengan nilai masing-masing 586,56 juta dan 822 juta dollar AS.
Selama ini Indonesia berupaya menjaga momentum penguatan hubungan ekonomi dengan negara-negara di Afrika.
Presiden Joko Widodo saat membuka Rapat Kerja Kepala Perwakilan RI(09/01) menyampaikan arahan, khususnya dalam mengatasi defisit neraca perdagangan, agar para duta besar menggarap potensi pasar lain yang merupakan pasar nontradisional di luar pasar Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok, seperti pasar negara-negara Afrika, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Eropa Timur.
Nilai ekspor produk Indonesia terhadap Afrika pada 2019 sebesar 4, 6 miliar dollar AS berkontribusi 2,7 persen terhadap semua ekspor Indonesia ke dunia. Meskipun nilai ekspor Indonesia berada di atas Malaysia dan negara lainnya, nilai tersebut masih berada di bawah dua negara ASEAN lainnya, yaitu Thailand dan Singapura, sedangkan negara pengekspor utama ke Afrika didominasi Tiongkok sebesar 105,58 miliar dollar AS (19,32%), India (5,6%), Perancis (5,5%), dan AS (5,3%).
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia ke Afrika Januari-April 2020 mencapai 1,49 miliar dollar AS mengalami penurunan 5,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019. Penurunan tersebut berasal dari penurunan ekspor minyak kelapa sawit, kertas, dan kendaraan bermotor, disinyalir akibat pandemi yang terjadi saat ini.
Adapun lima produk ekspor terbesar Indonesia ke pasar Afrika adalah minyak kelapa sawit, kertas, sabun, produk turunan sawit, dan kendaraan bermotor. Di antara lima produk tersebut hanya minyak kelapa sawit yang mendominasi pasar Afrika dibandingkan dengan negara lainnya. Sementara lima produk terbesar yang diimpor oleh Afrika dari dunia adalah obat-obatan, kendaraan bermotor, gandum, kendaraan angkut, dan telepon genggam, yang belum banyak berasal dari Indonesia.
Selain peluang di bidang perdagangan, Afrika menjadi lahan investasi yang dibidik oleh beberapa negara dengan pemain utama Tiongkok. Kesepakatan bisnis yang tercipta saat IAID membuka peluang investor Indonesia untuk turut memanfaatkan berbagai tawaran menarik dari negara-negara di Afrika dalam turut mengelola sumber daya alam Afrika yang belum banyak terjamah.
Indonesia sebagai penggagas Konferensi Asia Afrika memiliki kedekatan historis dengan Benua Afrika memiliki leverage yang tinggi dalam kerangka penguatan kerja sama Selatan-Selatan dan Gerakan Non-Blok. Pertambangan, agro-industri, tekstil, farmasi, infrastruktur, dan digital startup merupakan beberapa peluang yang dapat dibidik oleh investor Indonesia dalam melebarkan sayap bisnisnya di Benua Afrika.
Di antara lima produk tersebut, hanya minyak kelapa sawit yang mendominasi pasar Afrika dibandingkan dengan negara lainnya.
Guna membidik peluang kerja sama ekonomi Indonesia-Afrika pada masa pandemi dan new normal, diperlukan beberapa strategi. Pertama, mengidentifikasi produk Indonesia yang memiliki daya saing tinggi untuk berpeluang memasuki pasar Afrika, khusus pasar Tanzania telah terindentifikasi 22 jenis produk yang berpeluang memasuki pasar, di antaranya produk farmasi, alas kaki bahan karet dan plastik, miyak kelapa sawit, kendaraan bermotor, dan ban kendaraan bermotor.
Kedua, mempertemukan secara intensif pengusaha Indonesia dengan pengusaha Afrika secara virtual, Ketiga, menyediakan direktori digital bagi produk yang telah teridentifikasi sebagai bahan promosi kepada para pengusaha terkait,
Keempat, menciptakan perjanjian dagang dengan negara-negara Afrika, seperti preferential trade agreement (PTA) yang saat ini sedang diupayakan oleh Pemerintah Indonesia,
Kelima, penyederhanaan tata ekspor dengan harmonisasi pada peraturan, perundangan, dengan sistem terpadu, Keenam, pemberian insentif khusus oleh LPEI dengan menyediakan pinjaman bunga rendah kepada pengusaha Indonesia yang melaksanakan investasi ke Afrika.
(Ratlan Pardede, Duta Besar RI untuk Tanzania, Rwanda, Burundi, dan Comoros)