Menunggu Tuah Kawasan Industri
Semangat Presiden Joko Widodo menjadikan industri sebagai mesin pertumbuhan seharusnya jadi momentum untuk membenahi kawasan industri. Pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan lingkungan memerlukan biaya pemulihan mahal.
Dalam kunjungannya ke Jawa Tengah baru-baru ini, Presiden Joko Widodo menyempatkan meninjau lokasi kawasan industri di Kabupaten Batang yang digadang-gadang akan menampung relokasi tujuh industri dari China dan ratusan industri asing dari sejumlah negara.
Presiden sangat menyesalkan 33 industri China yang hengkang dari negerinya beberapa waktu lalu dan lebih memilih Vietnam sebagai tempat berlabuh dan tidak satu pun yang melirik Indonesia. Kawasan Industri Batang merupakan satu dari 27 kawasan industri yang akan dikembangkan pemerintah sampai tahun 2024.
Menurut Presiden Jokowi, kehadiran industri sangat penting dalam menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Bagaimanakah kinerja kawasan industri selama ini? Sudahkah memenuhi prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan?
Pertumbuhan dan lapangan kerja
Kawasan industri menjadi penggerak pusat pertumbuhan, sebuah konsep yang digagas pertama kali oleh Francois Perroux, ekonom Perancis. Pusat pertumbuhan, dengan industri sebagai pemantik, diharapkan memberikan manfaat bukan hanya bagi daerah sekitar pusat pertumbuhan, melainkan juga mengalir ke daerah belakang (hinterland), atau dikenal dengan trickle down effect (tetesan ke bawah) dalam bentuk tumbuhnya kesempatan kerja, kesempatan berusaha, dan pemasok bahan baku.
Pusat-pusat pertumbuhan berbasis industri terbukti mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Tahun 1992, majalah Time mencatat bahwa sumbangan sektor industri pada produk domestik bruto (PDB) di Indonesia mencapai 25 persen dan karena itu negara kita waktu itu sudah digolongkan sebagai ”A New Tiger of Asia” (”Macan Baru Asia”).
Baca juga : Negara Berpendapatan Menengah Atas, Mengapa Baru Sekarang?
Catatan Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa 20 persen tenaga kerja terserap di sektor industri. Adapun tetesan ke bawah (daerah belakang) tampak terutama pada tumbuhnya lapangan pekerjaan.
Tahun 1990-an, kita menyaksikan ribuan pekerja pelaju (komuter) dari Sayung, Demak, bersepeda menuju pusat pertumbuhan di Genuk, Kota Semarang, Jawa Tengah, yang menjadi lokasi zona dan kawasan industri.
Ratusan pelaju juga mengalir dari jalur Kaliyoso ke Solo dan dari Wates ke Yogyakarta. Fenomena yang sama juga terjadi di kawasan industri Rungkut (Surabaya), Sidoarjo (Jawa Timur), Pulogadung (Jakarta), dan daerah lainnya.
Bagi daerah sekitar industri, selain kesempatan kerja, juga tumbuh kesempatan berusaha dengan menjamurnya sektor informal, seperti warung, toko, bengkel, usaha tambal ban, usaha kos-kosan, dan penyediaan air bersih.”Footloose”
Baca juga : Kontroversi Naik Kelas
Meski demikian, peran sebagai pemasok bahan baku tidak berjalan sesuai dengan harapan. Hubungan hulu dan hilir (backward-forward linkage) sangat minim karena jenis-jenis industri yang dibangun di pusat pertumbuhan pada umumnya tidak berkaitan dengan bahan baku yang tersedia di daerah belakang, seperti perikanan, pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Industri-industri yang demikian disebut sebagai footloose atau tidak mempunyai basis dengan ekonomi lokal. Fenomena ini yang sering dikritik almarhum Prof Mubyarto, tokoh ekonomi kerakyatan, bahwa kehadiran industri tidak memberikan nilai tambahan lokal yang berarti karena tidak berbasis pada ekonomi lokal.
Baca juga : Bersama Kita Kuat: Saatnya Kekuatan Menengah Memimpin
Daerah belakang yang berbasis pertanian, perikanan, dan peternakan ibarat jatuh tertimpa tangga. Di satu sisi, sumber daya dalam bentuk tenaga kerja dan modal tersedot ke pusat pertumbuhan dan di sisi lain terus terdesak oleh kegiatan industri melalui alih fungsi lahan dan dampak lingkungan.
Sejumlah industri yang akan menghuni di Kawasan Industri Batang tampaknya merupakan industri yang sudah jadi yang akan bedol deso dari negeri asalnya. Faktor-faktor yang mendorong mereka hengkang bisa pajak yang mahal, peraturan lingkungan yang makin ketat, dan kejenuhan lokasi industri itu sendiri.
Daerah belakang yang berbasis pertanian, perikanan, dan peternakan ibarat jatuh tertimpa tangga.
Adapun faktor penarik kemungkinan untuk mendekati pasar. Dorongan mendekati pasar juga menjadi alasan produsen es krim asal Singapura yang akan membangun pabrik di Kawasan Industri Sidoarjo (Jawa Timur) dan Sumatera Utara. Bentuk relokasi industri seperti itu minim transformasi dengan potensi lokal, baik dalam hal pemenuhan kebutuhan bahan baku, tenaga kerja terampil, maupun alih teknologi.
Menurut catatan Kementerian Riset dan Teknologi/Pendidikan Tinggi (2018), sebanyak 58 persen industri di Indonesia memilih mengambil oper inovasi teknologi dari negara mereka berasal.
Beban lingkungan
Bagi daerah sekitar, kegiatan industri menimbulkan dampak lingkungan berupa pencemaran air, udara, kemacetan, dan kebisingan. Tidak bisa disangkal bahwa hampir semua sungai yang menjadi media pembuangan limbah industri beberapa parameter baku mutunya terlampaui. Kasus pencemaran Sungai Bengawan Solo di Sukoharjo, Solo, dan Blora yang sempat menghentikan operasionalisasi perusahaan daerah air minum (PDAM) menjadi indikasi akan hal tersebut.
Baca juga : Aturan Daerah Efektif Kurangi Sampah Plastik
Menurut data Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri, Kementerian Perindustrian (2019), kontribusi pencemaran dari industri tekstil di daerah aliran sungai (DAS Bengawan Solo mencapai 30 persen. Beban cemaran ini belum termasuk jenis industri lain yang juga memanfaatkan Bengawan Solo sebagai media pembuangan limbah.
Program Citarum Harum merupakan indikasi cuci piring dari beban pencemaran yang berasal dari industri. Diberitakan di media massa, petugas sempat menutup saluran pembuangan limbah beberapa industri di sepanjang Sungai Citarum.
Pencemaran udara dalam bentuk buangan asap menjadi pemandangan yang umum kita saksikan di kawasan industri. Di samping itu, semua daerah industri identik dengan kemacetan dan polusi. Alih fungsi lahan dari tambak dan sawah menjadi industri membawa serta meningkatnya air larian yang berakumulasi menjadi banjir.
Industri-industri yang menghuni di kawasan industri mendapatkan kemudahan dengan tidak perlu membuat kajian kelayakan lingkungan, baik berupa analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) maupun upaya kelola lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL/UPL).
Program Citarum Harum merupakan indikasi cuci piring dari beban pencemaran yang berasal dari industri.
Kajian kelayakan lingkungan ini menjadi tanggung jawab otoritas kawasan, sedangkan penghuni industri melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan atas kegiatan masing-masing. Persoalannya adalah kajian lingkungan disusun saat calon penghuni (industri-industri) belum masuk sehingga deskripsi kegiatan tidak bisa digambarkan dengan pasti. Dengan demikian, prakiraan dan evaluasi dampaknya bersifat generik sehingga rencana pengelolaan lingkungannya juga bersifat deskriptif.
Ketika izin lingkungan keluar berdasarkan kajian lingkungan (amdal atau UKL/UPL), industri yang masuk sangat beragam tergantung permintaan. Hampir semua kawasan industri sangat market driven, menerima industri apa saja yang ingin masuk dengan berbagai kemudahan.
Bahkan, ada kawasan industri di sebuah kota yang awalnya dialokasikan untuk pergudangan dalam praktik menerima beragam industri manufaktur. Akibatnya, rencana pengelolaan lingkungan yang disusun tidak pas dengan karakteristik industri yang masuk.
Momentum berbenah
Semangat Presiden Jokowi untuk menjadikan industri sebagai mesin pertumbuhan seharusnya menjadi momentum untuk membenahi kawasan industri. Keterkaitan hulu dan hilir harus didesain sejak dini dan benar-benar diimplementasikan agar nilai tambahan lokal bukan hanya dalam bentuk tenaga kerja. Keterkaitan ini juga menjamin tidak akan menggusur sektor pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan yang menjadi basis mata pencarian sebagian besar masyarakat kita.
Sektor-sektor ini sudah seharusnya bersinergi dalam bentuk hubungan hulu-hilir. Industri yang menjadi mesin pertumbuhan harus menerapkan prinsip produksi bersih yang mengelola lingkungan sejak pemilihan bahan baku, proses produksi, bahan jadi, sampai pada pengiriman.
Pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan lingkungan akan memerlukan biaya pemulihan yang mahal. Sekitar 1993, pertumbuhan ekonomi kita melesat sampai 7 persen. Namun, ketika diperhitungkan dengan kerusakan lingkungan dan deplesi sumber daya alam, menurut World Resources Institute (WRI), angka pertumbuhan riil hanya 5 persen.
Kita tunggu bertebarnya kawasan industri yang mampu menyinergikan pertumbuhan, kelestarian lingkungan, dan rasa keadilan.
Sudharto P Hadi, Guru Besar Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro.