Proposal UBI adalah tantangan yang patut diuji. Tak ada salahnya untuk memulai uji coba, setidaknya di beberapa kota di Indonesia. Khususnya untuk mengetes kapasitas dan efisiensi fiskal.
Oleh
Edbert Gani Suryahudaya
·5 menit baca
Awalnya dianggap sebagai imajinasi liar, ide UBI (Universal Basic Income) belakangan justru mencuat sebagai solusi bantalan ekonomi karena dampak pandemi. Secara sederhana, dengan UBI setiap orang di usia produktif, tanpa terkecuali, mendapatkan uang yang mampu mencukupi standar minimal kebutuhan dasarnya. Dengan begitu, masalah seperti penargetan bantuan sosial yang tidak tepat sasaran bisa dihilangkan.
Oleh pendukungnya, UBI dilihat berguna, tidak hanya di situasi darurat seperti sekarang, tetapi juga dalam jangka panjang untuk menghapuskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan secara signifikan.
Meskipun terdengar menggiurkan, lebih penting untuk mencerna akar mengapa ide lama ini menemui urgensinya. Salah satu yang memprovokasi ide ini belakangan ialah mantan kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Andrew Yang.
Persoalan utama dari ekonomi kontemporer bermuara pada teknologi otomatisasi yang sudah dan akan semakin mengambil banyak porsi lapangan pekerjaan. Cepat atau lambat, masalah ini tidak hanya menjadi milik negara maju, tetapi juga negara berkembang. Terlebih ketika global supply chain ke depannya justru akan semakin mempertimbangkan diversifikasi tempat. Negara yang melihat itu sebagai peluang investasi perlu memikirkan dampak yang sama pada ketenagakerjaan.
Persoalan utama dari ekonomi kontemporer bermuara pada teknologi otomatisasi yang sudah dan akan semakin mengambil banyak porsi lapangan pekerjaan.
Covid-19, dengan demikian, hanya akan mengakselerasi perubahan yang sudah terjadi secara lebih cepat. Protokol untuk menghindari penyebaran virus yang mengharuskan kontak fisik seminimal mungkin, misalnya, kemungkinan akan lebih banyak diimplementasikan sebagai perhitungan risiko. Pengusaha akan semakin serius memikirkan penggunaan robot untuk menjaga resiliensi sistem produksi mereka. Tidak lagi hanya soal efisiensi, tapi juga karena kesehatan.
Panggilan zaman?
Karena semakin terdesaknya manusia dengan robot, isu redistribusi semakin relevan untuk digaungkan. Dalam konteks itu, UBI ternyata mendapat dukungan dari pemilik perusahaan teknologi raksasa seperti Elon Musk maupun Mark Zuckerberg.
Fakta menarik lain datang dari survei yang dilakukan oleh Broockman et.al. yang menunjukkan para pengusaha bidang teknologi mendukung ide untuk menaikkan pajak demi mewujudkan redistribusi kekayaan secara lebih adil. Dengan berkumpulnya modal besar di industri teknologi, bukan tidak mungkin dukungan mereka pada satu partai politik akan mengubah arah politik secara signifikan.
Perkembangan dunia usaha memang menuntut solusi redistribusi yang lebih relevan dengan zaman. Torben Iversen dan David Soskice (2015) berargumen kemajuan knowledge economy telah mereduksi sentralisasi tawar-menawar upah sehingga mengubah pola redistribusi. Para pekerja tidak lagi saling bergantung dengan erat seperti halnya dalam pola produksi pabrik, di mana masing-masing saling bergantung untuk menghasilkan satu produk.
Setiap individu bisa berkreasi sendiri, tanpa secara signifikan bergantung pada bagian lainnya. Kesadaran kolektif untuk redistribusi dalam pengupahan dengan demikian sulit terjadi. Preferensi pekerja sendiri terus berubah dengan semakin mempertimbangkan mobilitas dan fleksibilitas.
Alhasil, diperlukan terobosan baru dari kebijakan agar mereka yang tertinggal tidak selamanya tertinggal. Terutama bagaimana bisa menghapuskan kemiskinan di tengah kemajuan teknologi yang begitu masif. Itulah mengapa UBI menjadi relevan. UBI dipandang mampu membebaskan individu dari belenggu keterbatasan yang mendasar sehingga mampu memilih dari alternatif yang tersedia, dan dalam derajat tertentu, menunjang mereka untuk mengembangkan diri.
Situasi Indonesia
Bahkan sebelum otomatisasi masif di Indonesia, gejala akan semakin banyak orang yang tertinggal begitu telanjang di depan mata. Selain tingkat ketimpangan yang masih cukup tinggi, lapangan pekerjaan yang berkualitas tumbuh lambat.
Alhasil, diperlukan terobosan baru dari kebijakan agar mereka yang tertinggal tidak selamanya tertinggal.
Di tahun 2019, pekerja Indonesia di sektor informal (55,72 persen) mendominasi pekerja di sektor formal (44,28 persen). Dampaknya, mayoritas pekerja di Indonesia tidak memiliki jaminan sosial maupun upah yang memadai.
Kerapuhan ini membuat jutaan masyarakat sangat rentan pada gejolak seperti pandemi. Hanya dalam dua-tiga bulan sejak pandemi, angka kemiskinan diproyeksikan oleh pemerintah bisa mencapai 9 persen, dengan pengangguran berpotensi menyentuh lebih dari 5 juta orang. Belum lagi ancaman bencana alam dan kesehatan lain seperti malaria yang terus mengintai.
Sehingga secara politik, UBI punya momentum untuk dua alasan. Pertama, mempertimbangkan stagnansi suara partai politik besar di dua pemilu terakhir, ada ruang untuk terobosan yang berkenaan langsung dengan redistribusi dan penghapusan kemiskinan. Ancaman populisme di tengah krisis ekonomi perlu disikapi serius dengan ide-ide segar apabila tidak ingin berujung krisis politik dan sosial yang kontra produktif.
Rasanya, presiden pun patut memikirkan ini sebagai sebuah warisan pemerintahan untuk jangka panjang. Pada titik ini, bisa jadi kepentingan redistribusi secara masif mendapatkan momen politik yang berharga, sekalipun dibenturkan dengan insentif partai politik untuk mempertahankan kuasa.
Kedua, pemilih muda yang semakin besar. Bersamaan dengan bonus demografi, pemilih muda juga terus meningkat dominasinya, setidaknya dalam beberapa tahun ke depan. Pada Pemilu 2019 saja, total pemilih muda telah mengisi kurang lebih setengah dari total pemilih. Kesegaran dan sifat radikal dari UBI berpotensi memiliki daya tarik tersendiri bagi pemilih muda yang juga mendominasi angkatan kerja.
Temuan sementara dari eksperimen di Finlandia memperlihatkan UBI berdampak positif pada kualitas hidup manusia seperti kesehatan fisik dan mental. Sementara eksperimen di Namibia dan India menunjukkan UBI memiliki efek positif mendorong kewirausahaan. Dari temuan-temuan sementara tersebut, UBI memang tidak secara langsung berkenaan terhadap penciptakaan lapangan pekerjaan, tetapi memberikan modal berharga untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Poin ini menjadi daya tarik baik bagi masyarakat maupun pengusaha yang punya kepentingan agar pajak negara bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk redistribusi yang efektif dan tepat sasaran. Lebih penting lagi, dalam konteks Indonesia, banyak yang berkepentingan agar momentum bonus demografi tidak berakhir pada bencana baru.
Lebih penting lagi, dalam konteks Indonesia, banyak yang berkepentingan agar momentum bonus demografi tidak berakhir pada bencana baru.
Proposal UBI adalah tantangan yang patut diuji. Tak ada salahnya untuk memulai uji coba, setidaknya di beberapa kota di Indonesia. Khususnya untuk mengetes kapasitas dan efisiensi fiskal. Karena bisa jadi, UBI adalah bentuk gotong royong yang selama ini kita idamkan.
Edbert Gani Suryahudaya
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS;
Alumnus the London School of Economics and Political Science, Inggris